Oleh: Peter Tukan
SADAR atau tidak sadar, merasakan atau tidak merasakan, suka atau tidak suka, dan setuju atau tidak setuju, realitas hidup hari ini menyatakan bahwa Tanah Papua yang dijuluki “cenderawasih emas- sorga kecil jatuh ke bumi” sangat sering dilanda konflik multi kepentingan yaitu kepentingan politik, ekonomi-bisnis, militer, ideologi, dan tidak tertutup kemungkinan Tanah Papua dijadikan lahan subur berkembangnya paham-paham Radikalisme, Arabisme dan Terorisme.
Konflik yang hingga kini belum menemukan ujung akhirnya itu, dapat membuyarkan mimpi meraih kehidupan bersama yang manusiawi dalam suasana damai sejahtera yang berkeadilan apabila masyarakat di Tanah Papua tidak menyadari hadirnya “tangan-tangan halus” yang terus mengadu domba orang Papua dengan orang Papua sendiri atau orang Papua dengan orang bukan Papua atau juga adu domba antara orang bukan Papua dengan orang bukan Papua di atas Tanah Papua. “Menang jadi arang – kalah jadi abu!”
Setidaknya secara implisit — (tidak tampak secara kasat mata tetapi sama-sama merasakannya dalam keseharian hidup bersama) — di Tanah Papua terdapat “dua kelompok” masyarakat yang memiliki paham politik yang berbeda secara tajam, bertolak belakang satu dengan lainnya dalam tegangan yang sangat tinggi, kronis dan krusial. Jika hal ini tidak disadari dengan baik dan tidak dikelola dengan bijaksana dan penuh kedewasaan, maka konflik di Tanah Papua akan terus berlangsung dari generasi yang satu ke generasi yang menyusuli.
Dua kelompok masyarakat yang “terpecah” (secara implisit) dan saling curiga satu dengan lainnya itu dapat digambarkan sebagai berikut:
- Kelompok Pertama: adalah kelompok masyarakat yang berpandangan bahwa secara politik kekuasaan, Papua belum menjadi bagian integral dari Negara berdaulat bernama: Republik Indonesia dan karena itu harus diperjuangkan untuk menjadi sebuah Negara Papua Merdeka dan Berdaulat.
Dalam kurun waktu yang begitu lamanya, masyarakat Papua hidup dalam konflik politik dan kekerasan. Ada kekerasan fisik antarwarga masyarakat sendiri karena berbagai alasan/penyebab; dan ada pula kekerasan bersenjata (senjata organik, non organik, atau senjata tajam atau benda keras lainnya) antara aparat keamanan TNI-Polri dengan kelompok masyarakat sipil (bersenjata maupun tidak bersenjata) disertai (atau disusul) pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh aparat keamanan terhadap warga sipil; ataupun sebaliknya yaitu pembunuhan yang dilakukan warga sipil terhadap aparat keamanan TNI-Polri.
Inilah kekerasan yang kronis dan menyejarah yang oleh Kelompok Pertama ini dipahami bahwa konflik kekerasan itu bertujuan: tercapainya cita-cita dari sebuah perjuangan “politik kekuasaan” yakni Kemerdekaan Papua – lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kelompok masyarakat ini sering mengatakan bahwa seluruh warga masyarakat Papua terus-menerus mengalami hidup yang tidak adil, tidak damai, tidak makmur dan tidak sejahtera serta sangat sering terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan aparat keamanan TNI-Polri, dimana mereka sendiri atau saudara-saudaranya, keluarganya, dan orang sekampungnya adalah korban pelanggaran HAM itu. Menurut mereka, hal ini terjadi karena sejarah integrasi Papua ke dalam pangkuan Indonesia hingga kini belum diluruskan. Lebih dari itu, Tanah Papua serta masyarakatnya belum melepaskan diri dari NKRI untuk menjadi sebuah Negara berdaulat bernama “Papua Barat yang Merdeka!” Atau dengan kata lain, menurut mereka, selama Papua belum Merdeka maka selama itu juga pelanggaran HAM akan terus terjadi di atas Tanah Papua.
Bagi kelompok ini, masyarakat Papua baru dapat (disebut) hidup aman, damai, adil dan sejahtera serta pelanggaran HAM pun akan terhenti apabila Papua sudah menjadi sebuah Negara berdaulat – lepas dari NKRI. Ketika Papua sudah menjadi sebuah negara berdaulat, barulah tercipta kehidupan seluruh masyarakat Papua yang aman-sentosa, damai dan makmur sejahtera – berlimpah ruah “susu dan madu”.
Masyarakat yang berada pada Kelompok Pertama tetap berpandangan bahwa kehidupan yang adil dan damai harus dilaksanakan dalam alam Papua yang merdeka dan berdaulat. Kemerdekaan Papua hanya dapat ditempuh melalui sebuah pelurusan sejarah masuknya Papua ke dalam NKRI. Gagasan “meluruskan Sejarah Papua” itu, bukan bertujuan terciptanya kehidupan bersama sebagai saudara sebangsa dan setanah air yang aman dan damai didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tetapi justru sebaliknya, pelurusan sejarah masuknya Papua ke dalam NKRI untuk Kemerdekaan Negara Papua yang berdaulat.
Mereka menilai, dari tahun ke tahun, masih terus terjadi marginalisasi, diskriminasi dan rasisme di Tanah Papua.
Begitu pula, mereka berpandangan bahwa, pembangunan yang dilaksanakan selama bertahun-tahun tetaplah dinilai gagal (sekalipun dalam proses pembangunan di Tanah Papua telah terjadi banyak perbaikan disana-sini di banyak bidang kehidupan masyarakat disusul peningkatan taraf hidup masyarakat dari tahun ke tahun, namun hal itu tetap dinilai sebagai sebuah kegagalan).
BAGI kelompok ini, apabila terjadi pertikaian senjata antara warga sipil (bersenjata organik atau bukan organik, atau senjata tajam lainnya) dengan aparat keamanan (TNI-Polri) maka pemahaman mereka adalah:
Pertama: Apabila warga sipil (bersenjata) itu tertembak akibat kontak senjata dengan aparat keamanan maka TNI/Polri yang menembak itu dipandang sebagai “Pelanggar HAM” (berat). Jika hal ini yang terjadi, maka peristiwa ini sudah merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang harus terus-menerus dipermasalahkan di berbagai forum tingkat regional, nasional dan internasional dan harus dituntaskan melalui jalur adat dan jalur hukum positif. Pelakunya harus diproseshukumkan, disidangkan di lembaga peradilan militer secara terbuka.
Sebaliknya, pihak aparat keamanan TNI-Polri sendiri berpandangan bahwa, penembakan yang berakibat jatuhnya korban jiwa di pihak sipil bersenjata itu, sudah merupakan resiko (dampak buruk) dari upaya penegakkan hukum dalam sebuah negara berdaulat yang bernama Republik Indonesia. Di lain pihak, warga sipil yang tidak bersenjata, apabila terkena tembakan senjata organik dari pihak aparat keamanan pada saat berlangsungnya kontak tembak atau pada saat berlangsung kerusuhan massal (seperti unjuk rasa) maka jatuh korban dari pihak sipil itu dianggap sebagai dampak (di luar kendali) dari tindakan penegakan hukum.
Sekali lagi ditegaskan disini bahwa, peristiwa tertembaknya warga sipil tidak bersenjata oleh aparat keamanan dipandang sebagai kejadian diluar keinginan atau rencana atau diluar target tindakan penegakkan hukum oleh pihak aparat keamanan terhadap warga sipil atau juga diluar perintah Komandan lapangan apabila, penembakan itu terjadi saat berlangsungnya unjuk rasa atau pertikaian massal lainnya.
Kedua: Apabila pada peristiwa kontak tembak itu, korban yang jatuh ada pada pihak aparat keamanan TNI-Polri itu sendiri, maka mereka yang berada dalam kelompok pertama ini berpandangan bahwa kematian tentara atau polisi itu adalah hal yang “wajar saja”- sebagai resiko dari pelaksanaan tugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) di sebuah wilayah konflik.
Tindakan menembak mati TNI-Polri oleh kelompok sipil bersenjata api, — oleh kelompok pertama ini – dipandang sebagai bagian dari perjuangan kelompok sipil bersenjata di hutan untuk merebut Kemerdekaan bagi Papua. Oleh karena itu, kematian polisi atau tantara itu, tidak perlu dipermasalahkan dan bukan juga merupakan sebuah tragedi kemanusiaan.
Lebih lanjut, apabila TNI atau Polri yang menjadi korban pertikaian senjata di hutan belantara Papua, maka itu sudah merupakan konsekuensi bagi TNI-Polri dalam menghadapi kelompok sipil bersenjata di Tanah Papua yang selama bertahun-tahun berjuang merebut Kemerdekaan Papua lepas dari Indonesia.
Pengalaman sangat pahit dan memilukan kalbu akan ketidakadilan dan pelanggaran HAM dalam konteks ini, oleh kelompok pertama dijadikan sebagai sebuah “Memoria Passionis” yang tak pernah terlupakan, tak perlu dimaafkan dan harus diceriterakan turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang menyusuli sebagai sebuah “luka batin” yang terus menganga- tak tersembuhkan dalam batin masyarakat Papua, dan luka batin ini hanya dapat disembuhkan, diselesaikan, dipulihkan dengan jalan Kemerdekaan Papua lepas dari NKRI.
Dalam konteks ini maka, paham yang dianut adalah: mata ganti mata – gigi ganti gigi (hukum rimba); Homo homini lupus – manusia adalah serigala bagi sesamanya; Si vis pacem, para bellum – jika ingin damai-siaplah perang-, bukan sebaliknya: Si vis pacem – cole iustitam- jika ingin damai tegakkan keadilan; Forgive but don’t forget – memaafkan tetapi tidak melupakan!
Realitas membuktikan bahwa pada hari-hari ini, hampir semua lapisan masyarakat (di seluruh wilayah Papua) sedang menggumuli hidup dan kehidupannya di dalam “iklim” Papua yang berkonflik!
- Kelompok Kedua: adalah kelompok masyarakat yang berpandangan bahwa Papua dan masyarakatnya adalah bagian integral Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak ada “Negara di dalam Negara”.
Bagi |Kelompok Kedua ini, konflik politik dan pertikaian senjata dipandang sebagai akibat dari pengalaman ketidakadilan dan pengalaman tidak sejahtera dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia selama rentang waktu yang sudah sangat lama (kronis).
Pengalaman tidak adil dan tidak sejahtera, pengalaman traumatik akan kekerasan fisik, mental dan psikologis yang dialami banyak warga masyarakat Papua secara kronis itu, memunculkan sikap tidak puas dan apatis dari rakyat itu sendiri yang disusul tindakan memberontak terhadap Pemerintah Indonesia yang sah dan yang sedang berkuasa.
Saudara-saudara yang masih berjuang dengan senjata di hutan belantera — yang disebutnya KKSB — itu, oleh Kelompok kedua ini, dipandang sebagai “Saudara kita sendiri” – Saudara sebangsa dan setanah air Indonesia, yang belum ingin bergabung dengan kita karena berbeda dalam memandang keberadaan Papua di dalam pangkuan ibu pertiwi Indonesia.
KKSB harus terus diajak (dilakukan pendekatan persuasif dari Hati ke Hati) agar mereka kembali ke kampung halamannya, menyatu lagi dengan sanak-saudaranya untuk bergotong royong membangun kehidupan bersama yang aman dan damai menuju kesejahteraan bersama dalam bingkai NKRI.
Bagi Kelompok kedua, ketidakmampuan dan kegagalan suatu rezim pemerintah dalam “mengurus” rakyat dan “mengelola” pemerintahan serta kegagalan menjalankan roda pemerintahan di seluruh Tanah Papua telah memunculkan banyak sekali tindakan kekerasan yang kronis.
Terdapat banyak faktor yang membuat rakyat merasa tidak adil, dan terus hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan sampai “mendorong” mereka melakukan pemberontakan, di antaranya adalah :
(1) kelemahan intelektual, kepribadian atau karakter (mental-spiritual) dari pemimpin yang sedang berkuasa dalam menyelenggarakan atau mengelola dan menahkodai roda pemerintahan secara baik dan benar untuk kesejahteraan seluruh rakyat yang dipercayakan kepadanya.
(2) “suburnya” praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), keserakahan mencaplok sumber-sumber pendapatan rakyat kecil di kampung-kampung, ketidakberpihakan pada amanat penderitaan rakyat serta masalah-masalah sosial-budaya lainnya yang mengitarinya seperti praktek paternalistik yang bernuansa “feodal” di dalam diri kaum pria yang berkuasa; tidak secara optimal mengikutsertakan kaum perempuan yang berkualitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan kemasyarakatan; semangat primordialisme sempit yang sangat kental selama menjadi penguasa/pemimpin, dan sebagainya.
(3) Semangat “hedonisme” – suka bersenang-senang dalam kurun waktu yang sangat lama di luar daerahnya dengan meninggalkan tempat kerja – pergi bersenang-senang di kota-kota besar di dalam dan di luar negeri dengan alasan “perjalanan dinas” dan “pemeriksaan kesehatan”. Semua kegiatan bersenang-senang ini diduga menggunakan dana (anggaran) pembangunan di wilayah yang dipimpinnya.
(4) Memandang tugas yang diembannya bukan sebagai sebuah “pelayanan” tetapi sebagai sebuah “status –jabatan kekuasaan bergengsi” dalam semangat feodalisme yang sangat kental. Sebelum dipilih menjadi pemimpin rakyat melalui mekanisme Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada), calon pemimpin ini terkesan membela rakyatnya, berpihak kepada penderitaan rakyatnya, berkoar-koar memberikan janji-janji politik menyejahterakan seluruh rakyatnya; tetapi setelah terpilih dan duduk di kursi kekuasaan, pemimpin ini lupa pada rakyatnya sendiri dan memandang rakyat yang ingin menemuinya sebagai pengganggu dan penghambat kesenangan diri dan kelompoknya. Dia lebih banyak menghindar dari rakyatnya sendiri.
Pemberontakan (kekerasan politik dan senjata) yang terjadi di Papua selama bertahun-tahun, dipahami oleh Kelompok Kedua sebagai luapan atau ungkapan dari rasa dan pengalaman ketidakadilan itu sendiri.
Mereka yang melakukan tindakan kekerasan dianggap sebagai orang yang melanggar hukum positif dan oleh karena itu harus diproseshukumkan sesuai hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
Kelompok sipil bersenjata yang melakukan tindakan kekerasan dengan senjata ditangani melalui jalur hukum positif dan pendekatan persuasif dengan melibatkan tokoh masyarakat, pemangku adat dan pemuka agama.
Kelompok kedua ini memandang, berbagai tindakan tegas aparat keamanan TNI-Polri dengan melakukan penembakan terhadap warga sipil yang melakukan serangkaian serangan terhadap sesama warga sipil dan/atau terhadap aparat keamanan TNI-Polri, dianggap atau dipahami sebagai langkah Penegakan Hukum positif demi ketertiban umum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia.
Kelompok warga sipil yang melakukan tindakan kekerasan dengan menggunakan senjata api organik maupun non organik dianggap sebagai Kelompok Kriminal Sipil Bersenjata/KKSB yang harus dihadapi dengan tindakan penegakan hukum yang terukur. Kelompok masyarakat ini memandang KKSB sebagai “Saudara” sebangsa dan setanah air Indonesia yang belum mau kembali ke pangkuan ibu pertiwi Indonesia, yang belum menyadari bahwa Papua adalah bagian integral dari Indonesia.
***
Konsekuensi Hidup Beragama (khusus bagi pemimpin agama):
Pertama: Masyarakat beragama (khususnya anggota umat/jemaat Kristiani : Kristen dan Katolik) yang berada pada “kelompok Pertama” akan selalu menuntut/memaksa pemimpin agamanya untuk harus bersama-sama dengan mereka berjuang menegakkan HAM menuju tercapainya cita-cita Kemerdekaan politik.
Bagi mereka, pemimpin agamanya harus secara nyata berada paling depan dan secara terang-terangan memperlihatkan kepada publik – sikap dan tindakan (kata dan perbuatan) – yang jelas-jelas berpihak pada perjuangan untuk mencapai tujuan politik kekuasaan itu yaitu Kemerdekaan Papua.
Mereka menuntut pemimpinnya untuk bersuara sangat keras (bila perlu sedikit kasar) untuk mengecam apa yang disebutnya pelanggaran HAM dan ketidakadilan walaupun teriakan keras itu mungkin tidak didukung fakta dan data yang akurat. Walaupun hanya isu, namun dugaan pelanggaran HAM itu harus disuarakan ke forum nasional dan internasional.
Bagi kelompok masyarakat beragama ini, perjuangan menegakkan HAM merupakan “jembatan emas” menuju Kemerdekaan Papua!
Sebaliknya, pemimpin agamanya yang berbicara dan bertindak diluar atau tidak sesuai dengan pandangan, cita-cita, mimpi dan harapan mereka — walaupun itu diperjuangkan dalam konteks menegakkan HAM, Keadilan dan Perdamaian — bukanlah pemimpin mereka yang baik, dan oleh karena itu, pemimpin seperti ini harus diganti dengan pemimpin baru yang menurut mereka dapat berbicara lantang dan keras sesuai dengan apa yang mereka inginkan atau yang mereka perjuangkan itu. Apalagi jika perjuangan Kemerdekaan politik itu diselimuti semangat primordialisme sempit, maka tuntutan mereka untuk mendapatkan pemimpin baru haruslah pemimpin yang se-etnis dan sehaluan politik dengan mereka.
Patut dicamkan baik-baik bahwa paham “primordialisme sempit” merupakan benih subur perpecahan dan kehancuran sebuah bangsa sekaligus kehancuran ikatan kebersamaan dan persatuan umat beragama itu sendiri.
”Primordialisme sempit” yang berkecambah, dan bertumbuh subur di dalam diri masyarakat beragama merupakan benih-benih subur terjadinya perpecahan tragis sebuah bangsa, kelompok masyarakat dan institusi agama itu sendiri.
Kedua: Kelompok masyarakat yang berada pada “kelompok kedua”, tentu saja akan menuntut pemimpin agamanya untuk selalu berada bersama dan berjuang bersama mereka demi tegaknya keadilan, penghormatan terhadap HAM dan peningkatan kesejahteraan umum (bonum commune) dalam semangat multikultural – lintas suku, agama, ras, golongan, ideologi dan lintas paham politik lainnya tanpa mencampuri terlalu jauh urusan politik kekuasaan (politik praktis).
Kelompok kedua menuntut agar pemimpin agama tidak boleh terlalu jauh masuk dan mencampuri urusan di arena “politik kekuasaan”. Ada “batasan-batasan” yang jelas antara perjuangan merebut dan mempertahankan politik kekuasaan dengan politik kesejahteraan (bonum commune).
Pemimpin agama harus tetap tampil sebagai “penjaga atau pengawal” rambu-rambu etika dan moral dalam pertarungan politik kekuasaan. Pemimpinnya tidak boleh buta politik tetapi harus melek politik – cerdas, bijaksana dan piawai dalam “berpolitik” untuk kemaslahatan seluruh umat beragama (warga masyarakat lintas suku, asal daerah, ras, agama, aliran politik dan golongan). Dia harus bekerja dalam “diam yang aktif” berpijak di atas fondasi etika-moral politik yang kokoh.
Bagi kelompok kedua, pemahaman “Kemerdekaan” yang diperjuangkan oleh seorang pemimpin/pemuka agama adalah Kemerdekaan sebagai Anak-Anak Allah Yang Maha Esa, bukan sebaliknya, yaitu Kemerdekaan politik kekuasaan untuk membentuk sebuah negara baru atau melahirkan sebuah “negara di dalam negara”.
Muara dari upaya penegakkan HAM dan Keadilan bagi seorang pemimpin agama adalah perbaikan tata kehidupan (politik) bersama yang aman, adil dan damai bagi semua orang di dalam sebuah Negara yang hari ini berdaulat secara riil, bukan di dalam sebuah negara artifisial-imajiner.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama, kita sering menyaksikan bahwa demi kepentingan ekonomi-politik yang sangat besar, hadirlah tangan-tangan halus yang memorakporandakan keutuhan dan kerukunan hidup umat beragama, baik internal maupun antarumat beragama di sebuah wilayah yang menjadi sasaran kepentingan itu.
Tangan-tangan halus itu tentu saja sangat mengetahui bahwa di sebuah wilayah yang menjadi sasaran kepentingannya, hiduplah suatu kelompok masyarakat beragama yang kompak, rukun dan damai. Kekompakkan ini akan dapat menguntungkan atau merugikan kepentingan mereka tergantung pada kebutuhan mereka sendiri. Jika kekompakan, kerukunan dan kedamaian itu dianggap menghambat, malahan menggagalkan usaha untuk menggapai kepentingan politik-ekonomi mereka, maka mereka akan merancang “politik adu domba – pecah belah”. Mereka akan memorakporandakan keutuhan dan kerukunan hidup umat beragama demi memenangkan pertarungan dengan tujuan menguasai sumber-sumber kekayaan alam dan potensi lainnya di wilayah tersebut.
Politik adu-domba menyebabkan pertikaian antarasesama umat satu agama atau antar umat beragama. Permusuhan dan pertikaian antarumat beragama dan antara umat beragama dengan pemimpinnya sendiri menjadi kenyataan. Dalam situasi konflik itulah, tujuan mereka tercapai!
Demi tercapainya kepentingan “tangan-tangan halus” itu, para pemimpin dan pemuka agama disibukkan dan dipusingkan dengan berbagai urusan politik praktis yang sebenarnya bukan merupakan tugas dan tanggungjawab utamanya. Dengan sibuk terlibat mengurusi masalah-masalah politik praktis di tengah masyarakat, para pemimpin agama dan pemuka agama akhirnya tampil ke depan publik sebagai politisi amatiran. Mereka melupakan, mengabaikan dan meninggalkan tugas pokoknya yaitu memimpin dan mempersatukan umatnya, menggalang kerukunan hidup intern dan antarumat beragama, mengupayakan dialog kehidupan serta memperkuat solidaritas universal. Ketika para pemimpin dan pemuka agama sudah meninggalkan tugas utamanya dan beralih menyibukkan diri di wilayah politik praktis itulah, kepentingan tangan-rangan halus terpenuhi!
Pengalaman di daerah lain harus menjadi guru terbaik bagi masyarakat beragama di wilayah kita sendiri.
Ketiga: Perbedaan yang sangat tajam antara dua kelompok masyarakat (Kelompok pertama dan Kelompok kedua) dalam hal cara pandang, paham dan ideologi memperlihatkan betapa kompleks dan rumitnya masalah politik Papua. Hal ini memengaruhi dinamika kehidupan kemasyarakatan dan keberagamaan di Tanah Papua dari masa ke masa.
Terbentuknya dua kelompok masyarakat Papua (implisit) ini disebabkan oleh adanya “dualitas” paham yang sangat mengutub , seperti : sebab – akibat; nilai – fakta; nalar (rasio) – emosi; lokal – global, nasional – internasional; dan sebagainya.
Contoh-contoh konkrit perbedaan paham adalah sebagai berikut, misalnya: bila ada perang (sebab) maka ada korban yang melayang (akibat); ada upaya menegakkan keadilan (nilai) – ada pula pelanggaran hak-hak asasi manusia (fakta); sebuah pernyataan/statement pejabat/tokoh tertentu (berdasarkan penalaran/ratio) – kerap dibalas dengan hujatan (berdasarkan emosi); kejadian-kejadian berupa pelanggaran hukum dan keadilan di Papua (issue local), cepat tersiar keluar negeri (issue global). Lebih ekstrem lagi misalnya: NKRI Harga Mati – Merdeka Harga Mati; orang Gunung – orang Pantai; Orang Asli/Putra Daerah – Pendatang (perantau); Otonomi Khusus (Otsus) – Referendum, dan sebagainya.
Dengan cara berpikir yang berbeda sangat tajam seperti ini, tentu saja akan melahirkan perbedaan-perbedaan pendapat yang tajam dan sudut pandang yang berlawanan pula. Begitu juga, masing-masing kelompok (di kelompok pertama maupun kelompok kedua) cenderung kukuh mempertahankan secara kukuh posisinya. Hal ini pulalah yang menyulitkan semua pihak untuk mendapatkan “ruang Dialog dalam suasana dialogis” yang diselimuti iklim persaudaraan sejati untuk tercapainya Rekonsiliasi menuju Perdamaian abadi bagi semua orang di Tanah Papua.
Masyarakat di Tanah Papua sedang hidup dan berkarya dalam tegangan “dua kelompok implisit” yang sudah terurai di atas. Pada satu pihak, mereka adalah warga masyarakat politik yang ber-KTP sah sebagai warga Negara Republik Indonesia, tetapi pada pihak lain, mereka juga sedang bermimpi membentuk sebuah negara baru bernama Negara Papua Merdeka, lepas dari NKRI.
***
Keberadaan dua kelompok masyarakat secara implisit ini adalah akibat dari perjalanan sejarah politik Papua itu sendiri, perjalanan sejarah politik Indonesia/nusantara, dan perjalanan sejarah politik dunia (internasional) pada masa lalu.
Dalam perjalanan sejarah yang panjang dan rumit itu, tidak boleh diabaikan karakter (kepribadian) masyarakat Papua itu sendiri yang menyangkut: sosial-budayanya, tradisi dan adat-istiadatnya, psikologinya serta lingkungan alam tempat hidup dan berkarya serta beranak-pinak. Semua ini telah ikut mewarnai, memengaruhi dan menentukan dinamika kehidupan dan gelombang peradaban di Tanah Papua secara menyeluruh.
Patut dicatat pula bahwa Karakter masyarakat adat di satu wilayah adat di Tanah Papua berbeda dengan karakter masyarakat di wilayah adat yang lain, sekaligus berbeda pula dengan masyarakat di dan dari luar wilayah Papua. Dengan demikian dapat digarisbawahi bahwa: Perjalanan Sejarah Papua itu sendiri, Sejarah Indonesia/Nusantara, Sejarah Papua di dalam NKRI dan Sejarah masyarakat Dunia dibarengi karakter (kepribadian khas) masyarakat Papua. Dengan demikian, upaya keras yang terus menerus tak kenal lelah untuk memahami secara baik, utuh dan benar tentang dinamika sejarah, karakter dan Geopolitik (pertarungan kepentingan politik dan ekonomi dan perlombaan kekuatan senjata/militer) yang sangat dinamis dan fluktuatif . Ini sudah menjadi sebuah keharusan bagi semua pihak.
***
Sejenak Menoleh Keluar Tanah Papua (Belajar dari Wilayah dan Masyarakat Lain untuk Kebaikan Bersama) :
TIMOR Timur (kini Timor Leste), mungkin saja (sekali lagi: mungkin saja) tidak lepas dari Indonesia apabila tidak ada sentuhan tangan-tangan halus dan pertarungan kepentingan geopolitik negara adidaya dan sekutu-sekutunya di wilayah Timor Timur itu sendiri.
Sejarah mencatat dengan tinta emas bahwa berintegrasinya Timor Timur ke adalah atas keinginan dan gerakan tangan-tangan halus negara adidaya; keluarnya Indonesia dari Timor Timur pun atas keinginan dan sentuhan tangan-tangan halus negara adidaya bersama sekutu-sekutunya. Semua tergantung pada “kepentingan” geopolitik. Benarlah ungkapan ini: “Dalam berpolitik, kita tidak mengenal musuh abadi atau sahabat abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan itu sendiri!”.
Apa yang kita saksikan pada hari ini?
- Pemerintah dan rakyat Negara Timor Leste sangat menyadari bahwa pengelolaan ladang minyak di Celah Timor justru dikuasai atau didominasi Australia, sementara itu kita tidak boleh lupa bahwa Australia dianggap telah berjasa besar bagi Timor Leste karena telah ikut melepaskan Timor Timor dari pangkuan Indonesia. Ketika berlangsung proses lepasnya Timtim dari Indonesia, melalui Referendum (jajak pendapat) 30 Agustus 1999, Australia yang adalah sekutunya negara adidaya berperan penting menyelenggarakan referendum di seluruh wilayah Timor Timur dan pada detik-detik peralihan pemerintahan Indonesia ke PBB, Australia justru mendapatkan tugas khusus dari PBB menjadi Komandan Pasukan Keamanan PBB di Timtim (INTERFET).
Jika dalam berpolitik, ungkapan yang lazim kita dengar adalah:”Tak ada makan siang yang gratis”, maka bantuan atau dukungan Australia bagi Timor Timur untuk lepas dari pangkuan Negara Republik Indonesia yang disandingkan dengan pengelolaan ladang minyak di Celah Timor menjadi bukti nyata bahwa “Makan siang itu memanglah tidak gretong alias gratis. Restoran makan siangnya ada di Celah Timor!”
Inilah salah satu contoh nyata bahwa kita harus melek Geopolitik!
- Konon – kabarnya (belum tentu benar) bahwa demi kepentingan geopolitiknya di Kawasan Asia-Pasifik, maka sesewaktu, negara adidaya dapat menjadikan perairan Timor Leste sebagai pangkalan militernya guna memantau/mengawasi pergerakan pengaruh Cina (Tiongkok) di Laut Cina Selatan dan negara-negara di Kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia dan negara-negara Asia Timur lainnya, apalagi letak geografi Timor Leste sangat strategis di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Bukanlah ini juga merupakan sebuah strategi geopolitik negara adidaya itu?
- Setelah menjadi sebuah negara berdaulat, kehidupan ekonomi-bisnis masyarakat Timor Leste “dikuasai” Cina hingga ke kampung-kampung. Malahan, informasi dari Dili menyatakan bahwa sudah banyak orang dari daratan Cina menjadi warga negara Timor Leste di ibukota negara tersebut. Banyak pemuda Cina telah menikah dengan gadis-gadis Timor Leste dan ada diantara mereka sudah menjadi Lurah (kepala kampung) di beberapa wilayah Timor Leste.
Pertanyaannya adalah apakah hari ini, setelah Timor Leste lepas dari pangkuan Indonesia dan membentuk negara sendiri, mereka memang benar-benar “berdaulat” atas negerinya ataukah mereka sendiri merasa tidak berdaulat lantaran banyak sekali bidang kehidupan, misalkan ekonomi, pertahanan dan keamanan dan sebagainya diatur dan dikendalikan oleh tangan-tangan halus? Penjajahan zaman sekarang tidak harus dalam bentuk penjajahan teritorial (wilayah) tetapi sudah memasuki era baru penjajahan di bidang ekonomi, ideologi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sebagainya.
Mungkin saja, pepatah ini menjadi benar: “Penyesalan selalu datang kemudian pada ujung akhir dari sebuah perjalanan sejarah kehidupan manusia!” – “Mengharapkan punai terbang tinggi, burung di tangan dilepaskan!”
***
Bagaimana dengan Papua?
Secara geopolitik, letak pulau Papua sangat strategis dari percaturan kepentingan dunia, baik dalam bidang ekonomi, politik , ideologi dan militer maupun pertahanan dan keaman.
- Sejak awal, Papua menjadi arena pertarungan perebutan multi kepentingan (politik,ekonomi dan militer) Belanda VS Negara Adidaya dan sekutu-sekutunya antara lain karena Papua memiliki kandungan SDA (mineral, hutan, perikanan, dan sebagainya) yang sangat besar-tak habis-habisnya. Selain itu, posisi Papua strategis di bentangan Pasifik. Bukankah pasukan Sekutu khususnya AS pimpinan Jenderal McArthur pernah membangun basis militernya di Papua seperti Jayapura dan sekitarnya?
- Sejarah mencatat, negara adidaya dan sekutunyalah yang mendorong Indonesia (Presiden Soekarno) masuk ke Papua tahun 1960-an dengan “Tri Komando Rakyat” (Trikora).
Pada 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan Trikora atau Tri Komando Rakyat. Isinya adalah sebagai berikut:
- Menggagalkan rencana Belanda untuk mendirikan sebuah negara boneka Papua.
- Mengibarkan Bendera Merah Putih di Irian Barat sebagai bagian dari wilayah Indonesia yang sah.
- Mengerahkan semua sumber daya yang dimiliki bangsa Indonesia untuk berjuang sampai titik darah yang penghabisan.
Salah satu langkah yang dilakukan sebagai pelaksanaan Trikora adalah dengan membentuk Komando Operasi yang bernama Komando Mandala pembebasan Irian Barat. Dalam Komando Mandala, Mayjen TNI Soeharto didaulat menjadi panglima. Tugasnya adalah mempersiapkan, merancang, dan melaksanakan operasi militer untuk menggabungkan kembali Papua Barat dengan Indonesia.
- Pengalaman yang sama terjadi juga di Timor Timur yang diawali Revolusi Anyelir (25 April 1974 di Portugal) yang berdampak ke Timor Timur hingga hadirnya Operasi Komodo 1974, disusul Operasi Seroja (7 Desember 1975) sampai hari bersejarah berintegrasinya Timor Timur ke dalam pangkuan NKRI menjadi Provinsi ke-27 Republik Indonesia (17 Juli 1976).
Catatan:
Revolusi Anyelir 1974 di Portugal menghasilkan demokratisasi dan dekolonisasi negara-negara jajahan Portugis dan Timor Timur adalah salah satu negara jajahan Portugis sehingga mengharuskan Portugis angkat kaki dari Timor Timur. Pada 7 Desember 1975, militer Indonesia masuk ke Timor Timur dengan dalih antikolonialisme dan antikomunisme untuk menggulingkan rezim Fretilin yang muncul pada tahun 1974. Pada tahun-tahun itu sedang terjadi perang dingin antara Amerika Serikat dan sekutunya berhadapan dengan Rusia. Masuknya Indonesia ke Timor Timur atas dorongan AS.
“Kau yang memulai – Kau yang mengakhiri”.
Kembali belajar dari pengalaman masa lalu (contoh kasus Timor Timur)
KAUM Kapitalis tahu dan sangat paham bahwa pengaruh hirarki Gereja Katolik di Timor Timur begitu kuatnya dan diketahui juga bahwa loyalitas umat Katolik tradisional terhadap pemimpinnya sangat kuat – yang dapat saja menggagalkan agenda politik dan bisnisnya — maka sasaran pertama mereka adalah harus “mengobrak-abrik” keutuhan dan kekuatan hirarki Gereja Katolik.
Banyak pemimpin agama/ Gereja terpapar politik kaum Kapitalis ini, mereka terkecoh dengan permainan politik kaum kapitalis dengan mengusung slogan: Perjuangan HAM demi Keadilan dan Perdamaian! Ujung-ujungnya: Gereja/umat terpecah belah dan terjungkal kedalam dua kubu/jurang politik antara pro-Kemerdekaan Timtim dan pro-integrasi Timtim dengan Indonesia. Ada pula pemimpin agama/Gereja terbunuh sia-sia dalam konflik kemanusiaan perang saudara itu.
Berkat permainan “tangan-tangan halus”, masyarakat beragama di Timor Timur terbelah ke dalam dua kelompok yang saling bertikai, mereka terjungkal ke dalam jurang konflik berkepanjangan yang sangat tragis.
Dua kelompok yang saling bermusuhan itu adalah: (1) kelompok masyarakat pro kemerdekaan Timor Timur yang secara tidak sadar memposisikan diri atau diposisikan oleh tangan-tangan halus ke dalam kelompok tertindas, kaum yang terpinggirkan/marginal, kaum miskin – rakyat tak berdaya sekaligus korban yang menderita yang harus dibela dan diselamatkan. Dan (2) kelompok masyarakat pro integrasi Timor Timur yang menempatkan diri atau ditempatkan ke dalam kelompok warga yang berkecukupan secara material, pelaku kekerasan, penindas kaum miskin, kelompok elite penguasa, kelompok yang diuntungkan oleh rejim penguasa Indonesia.
Kelompok kedua ini harus dimusuhi oleh kelompok pertama dan harus disingkirkan dari Tanah Timor Lorosae karena mereka adalah pelaku kekerasan yang membunuh saudara-saudaranya sendiri.
Tangan-tangan halus dengan sengaja menempatkan kelompok pertama sebagai kelompok tertindas bertujuan menggugah Nurani publik untuk berbelarasa dan berpihak pada perjuangan kelompok yang dilabeli miskin dan tertintas ini, padahal orang lupa bahwa pada kelompok kedua pun terdapat juga banyak orang miskin dan terpinggirkan dalam proses pembangunan.
Di sini banyak orang hampir tidak dapat membedakan antara label kemiskinan dan ketertindasan kelompok pertama dengan cita-cita perjuangan mereka untuk Merdeka. Tirai yang memisahkan antara perjuangan meretas kemiskinan dan menghentikan ketertindasan dari dan oleh kelompok pertama dengan perjuangan kelompok pertama ini untuk merebut Kemerdekaan politik kekuasaan sangatlah tipis. Oleh tangan-tangan halus, perjuangan meretas kemiskinan dan menghentikan ketertindasan atas kelompok pertama merupakan “jembatan emas” meraih Kemerdekaan politik Timor Timur.
Dalam konteks pemikiran ini, banyak sekali pemimpin dan pemuka agama, pers dan lembaga-lembaga kemanusiaan yang berkarya di daerah konflik politik sangat sering terkecoh dengan permainan tangan-tangan halus ini. Kadang para pemuka agama dan pers terjerumus ke dalam jurang rasa iba (berbela rasa) pada kelompok pertama yang sengaja dilabelkan oleh tangan-tangan halus itu sebagai “miskin dan tertindas”. Tanpa sadar mereka mengambil keputusan untuk membela dan berjuang bersama kelompok pertama. Konsekuensinya, secara tidak sadar pula, para pemuka agama, pers dan kelompok-kelompok kemanusiaan ini ikut serta bersama kelompok pertama untuk memperjuangan kemerdekaan politik.
Di sini, dituntut kemampuan dan kepiawaian pemimpin dan pemuka agama, pers dan kelompok-kelompok kemanusiaan membedakan, memilah-milah manakah perjuangan yang bermuatan politik kekuasaan, dengan perjuangan yang bermuatan politik kesejahteraan dan kedamaian. Kemampuan membedakan hal ini menjadi taruhan kredibilitas dan harga diri yang sangat mahal!
Secara tidak sadar, umat beragama/Gereja pun terpecah-belah, saling memusuhi, dendam kesumat, konflik berkepanjangan, hilangnya persaudaraan sejati, dan saling membunuh antarsaudara.
Pengungsian besar-besaran pun tak terelakkan lagi: umat Katolik yang dulunya “Bersatu Hati-seHati-sepenanggungan”, kini terpecah-pecah di dalam aliran politik kekuasaan disusul tragedi pembunuhan yang keji dan pengungsian ke wilayah-wilayah perbatasan Indonesia dengan membawa rasa dendam kesumat; sementara saudara-saudaranya yang tetap berada di Timor Leste terus pula menaruh dendam kesumat kepada saudara-saudaranya yang telah mengungsi itu. Pintu rekonsiliasi dan perdamaian tertutup rapat dan permusuhan terus berlangsung secara turun-temurun!
Siapakah pengungsi itu, yng notabene kelompok pro-Indonesia? Siapakah mereka yang tidak mengungsi itu, yang memeroleh Kemerdekaan Timor Leste hasil permainan tangan-tangan halus yang sangat kuatnya? Bukankah SEMUA mereka itu (pro kemerdekaan dan pro integrasi) adalah sesama Umat Beragama, sesama “anak Timor Lorosae?”
Luka lama yang menganga itu, sangatlah sulit disembuhkan! Rekonsiliasi yang digagaskan dan dilaksanakan usai Kemerdekaan Timor Leste tidaklah tuntas, dan semua itu telah menjadi “duri bagi kemerdekaan” Timor Leste.
Gereja Katolik di Timor Leste tentu sangat menyadari luka batin yang menganga dan keterpecahan umat/masyarakat yang sangat tragis itu. Hirarki Gereja Katolik di Timor Leste sangat tahu dan menyadari akan pengalaman sejarah yang sangat menyakitkan Hati ini. Namun, bagaimanapun juga “nasi sudah menjadi bubur”. Waktulah yang akan membuktikan, apakah masih ada seberkas cahaya rekonsiliasi dan perdamaian yang permanen, ataukah, masih terus berlangsung dendam kesumat yang menjadi bom waktu terulangnya perang saudara di Tanah Timor Lorosae?
Kini, Timor Leste sudah menjadi salah satu Negara miskin di Asia dan telah pula menjadi “boneka politik” kaum kapitalis.
Sebagai sebuah Negara, Timor Leste adalah Negara Merdeka dan Berdaulat di Dunia namun dia tetap dijajah, bukan secara teritori/kewilayahan, tetapi dijajah secara politik, ideologi, ekonomi dan militer.
****
Patut dicatat baik-baik juga bahwa perjalanan hidup umat Kristen di Tanah Papua dengan begitu banyak “aliran” dalam Gereja dengan latarbelakang sejarah dan kondisi sosial-budaya para jemaatnya yang sangat “majemuk” tentu telah ikut memengaruhi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia serta kehidupan antarumat beragama dan antargereja itu sendiri.
Realitas membuktikan bahwa di Tanah Papua saat ini tidak hanya terdapat Gereja Kriten Injili (GKI) di Tanah Papua dan Gereja Katolik saja, tetapi juga masih begitu banyak gereja-gereja lainnya seperti: Pantekosta, Advent Hari ke-7, Gereja Bethel Indonesia (GBI) yang sedang hidup bersama dan berdampingan dengan kelompok jemaat dari Gereja-gereja Pertobatan :1) Gereja Kemah Injil/ KINGMI terdiri atas (KINGMI Papua dan KINGMI Indonesia); 2) Gereja Baptis terdiri atas (Baptis Papua dan Baptis Indonesia); 3) Gereja Injili Di Indonesia (GIDI). Mayoritas pemeluk tiga Gereja Pertobatan ini adalah masyarakat yang bermukim di wilayah Pegunungan Tengah Papua yang punya latar belakang sejarah, budaya dan tradisi yang khas.
***
Bagaimana dengan kepentingan ideologi, politik, ekonomi bisnis di tingkat Nasional?
Satu catatan penting yang patut kita waspadai di tingkat nasional adalah: Pada saat ini, Indonesia sedang dilanda pengaruh kuat Radikalisme, Arabisme dan Terorisme. Jangan sampai, karena telah terdesak di bagian Barat Indonesia, kelompok penganut paham-paham di atas sudah sedang masuk juga ke Tanah Papua secara massif dan terstruktur?
Menghadapi situasi seperti ini, umat beragama tidak dapat dan tidak boleh bekerja sendirian. Setiap kelompok umat/jemaat atau institusi agama harus dapat bergandengan tangan dengan umat beragama lain dan jemaat gereja lain: Islam, Kristen Protestan, dan sebagainya.
Jangan sampai kita terlalu sibuk atau asyik memberikan perhatian, menghabiskan energi dan waktu pada persoalan-persoalan politik kekuasaan, berdiri antara tegangan: “NKRI harga mati VS Merdeka harga mati”, kita lantas mengabaikan masuk dan berkembangnya paham-paham Radikalisme agama tertentu, Arabisme dan Terorisme ke segala penjuru Tanah Papua.
***
CAMKANLAH baik-baik bahwa, di dalam konteks Geopolitik, sejak dulu hingga sekarang, Tanah Papua tetap merupakan incaran dan pertarungan multi kepentingan yang tak kunjung habis-habisnya.
Kita patut menyadari bahwa permasalahan Papua yang sangat kronis dan pelik ini tidak dapat ditangani dan diselesaikan sendiri oleh satu kelompok saja. Semuanya saling terkait, terhubung dan terpengaruh satu sama lain.
Apabila kita tidak dapat memahami secara baik, benar dan utuh percaturan dan pertarungan kepentingan dalam konteks Geopolitik maka kita sendiri pun akan saling mempersalahkan, saling memusuhi dan saling bertikai yang bermuara pada keterpecahan dalam masyarakat.
Jangan-jangan, umat beragama di Papua juga telah menjadi “sasaran tembak” untuk diadu domba dan diaduk-aduk oleh “tangan-tangan halus” kaum kapitalis, dan kaum yang memiliki paham radikalisme, arabisme dan terorisme demi tercapainya berbagai kepentingannya dalam konteks Geopolitik itu?
Jika ini yang terjadi maka, “menang jadi arang – kalah jadi abu!” – tak ada satu orang atau kelompok orang pun yang diuntungkan, semuanya sama-sama meraup kerugian!
Kiranya cocoklah ungkapan bahwa : Penyesalan bukannya datang pada awal, namun selalu datang pada ujung akhir dari sebuah perjalanan sejarah hidup manusia!
***
Sedikit Catatan tambahan:
SATU hal yang patut dicatat juga yaitu bahwa : Ada sebagian warga masyarakat hanya memandang perjuangan menegakkan HAM sebagai pokok dari semua perjuangan sedangkan perjuangan untuk memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), memberantas illegal fishing, illegal logging (kerusakan lingkungan), illegal mining, diabaikan begitu saja, dianggap tidak penting serta bukanlah bagian dari masalah Papua.
Malahan ada warga masyarakat yang memandang praktek KKN itu sendiri merupakan tindakan yang “positif” karena dengan melakukan KKN maka kelompok saya, suku saya, orang se-kampung saya, kelompok politik saya menjadi semakin makmur dan sejahtera.
Tindakan KKN merupakan “rejeki-durian runtuh” yang dibagi-bagi secara berjemaah untuk kalangan terbatas yaitu untuk keluarga, kelompok dan sukunya sendiri.
Kita juga tidak boleh lupa bahwa konflik vertikal dan horizontal di Tanah Papua juga sering dipicu oleh pertarungan kepentingan politik pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif, Pemilu kepala daerah (gubernur dan bupati) serta Pemilu Presiden (Pilpres). Dari semuanya ini, konflik Pilkada Bupati dan Pilkada Gubernur jauh lebih panas dan krusial dibandingkan pemilu lainnya. Politik adu domba antar pendukung calon kepala daerah adalah benih subur perpecahan di dalam masyarakat hingga pada pertumpahan darah. Deklarasi kesepakatan Pemilu Damai: “Siap kalah – Siap menang”, sering hanya sebagai “pemanis bibir”, hanya sebagai slogan indah di pesta demokrasi siklus lima tahunan yang tak bermakna.
Penutup
Kebenaran dan Keadilan boleh diperjuangkan dan harus ditegakkan. Tetapi, perjuangan dengan cara kekerasan tidak akan pernah berhasil! (Leo Laba Ladjar,OFM)
Jika ingin Damai, tegakkanlah Keadilan!
Jika ingin Damai, hilangkan sikap saling curiga!
Jika ingin Damai, bukalah diri untuk belajarlah tentang dan dari masyarakat dan daerah lain demi kebaikan hidup bersama. Pengalaman adalah guru yang terbaik!
Jika ingin Damai, maka “Forgive but don’t forget – memaafkan tetapi tidak melupakan!”
Jika ingin damai, janganlah mudah diadu-domba!
Akhirnya, “Semoga Damai dan Keadilan membaharui wajah bumi Cenderawasih – sorga kecil jatuh ke bumi – dan melimpahi semua penghuninya dengan Kegembiraan dan Kesejahteraan berlimpah!”
Jayapura, Rabu, 26 Januari 2022
=======================================
Catatan:
- Patut diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan warga sipil pada artikel ini adalah mereka (bukan aparat keamanan) yang berasal dari luar Tanah Papua yang lazim disebut “pendatang atau perantau”. Selain itu juga, yang dimaksudkan dengan warga sipil adalah orang asli Papua (bukan aparat keamanan) yang dicurigai oleh sekelompok warga sipil bersenjata sebagai mata-mata yang digunakan oleh aparat keamanan untuk membantu tugas operasi keamanan di Papua. Dan yang dimaksudkan dengan “sipil bersenjata” itu adalah sekelompok saudara-saudara kita orang asli Papua yang sedang berjuang dengan menggunakan senjata api dan/atau senjata jenis lainnya di hutan belantera untuk merebut cita-cita kemerdekaan Papua lepas dari Indonesia. Saudara-saudara kita orang sipil bersenjata yang berjuang di hutan belantera itu oleh apparat keamanan TNI-Polri disebut: Kelompok Kriminal Sipil Bersenjata (KKSB) sedangkan oleh mereka sendiri menyebutnya sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, Organisasi Papua Merdeka/TPNPB-OPM.
- “Geopolitik” dimaknai sebagai ilmu penyelenggaraan negara yang setiap kebijakannya dikaitkan dengan masalah-masalah geografi wilayah atau tempat tinggal suatu bangsa. Frederich Ratzel mengenalkan istilah ilmu bumi politik/political geography, Rudolf Kjellen menyebut geographical politic dan disingkat geopolitik. Di dalam Geopolitik itu kita akan memahami dengan sangat baik betapa kuatnya dan kerasnya pengaruh: kepentingan politik, ekonomi-bisnis, ideologi, militer/keamanan atau perlombaan kekuatan senjata dan sebagainya, baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional.
- Tanah Papua: dipahami sebagai seluruh wilayah Pulau Papua yang terdiri atas beberapa provinsi: Provinsi Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Pegunungan, Papua Tengah dan Provinsi Papua Barat Daya.
***