TIFFANEWS.CO.ID, Hari ulang tahun Noken ke-10 yang jatuh pada 4 Desember 2022 menjadi kesempatan yang baik untuk merefleksikan perjalanan perlindungan dan pelestarian Noken sebagai warisan budaya tak benda sejak didekarasikan di Paris 4 Desember 2012 lalu.
Penggagas Noken Papua ke Unesco, Titus Pekei mengatakan, ulang tahun Noken yang kesepuluh saat ini tidak bedanya dengan perayaan-perayaan sebelumnya, bahkan untuk tahun ini perayaan noken jutru lebih sepi dari tahun sebelumnya.
“Di tengah perhatian pada pemekaran DOB Papua, tidak banyak pihak terutama pemerintah yang menaruh perhatian pada perayaan ulang tahun Noken. Padahal merayakan ulang tahun itu, bukan sekadar seremonial, tapi kesempatan yang baik untuk merefleksikan apa yang sudah dan tengah dikerjakan, dan bagaimana menentukan strategi perlindungan dan pelestarian Noken ke depan yang lebih baik,” kata Titus Pikei dalam rilisnya yang diterima tiffanews. Minggu (4/12).
Penulis buku “Cermin Noken Papua” ini mengatakan, selama 10 tahun, pemerintah tidak serius memperhatikan Noken sebagai warisan budaya tak benda yang perlu dilindungi. Selain perhatian terhadap DOB Papua yang menyita banyak waktu, perhatian terhadap Noken selama ini lebih berurusan pada rana artifisial dan di permukaan saja, tidak menyentuh akar persoalan.
“Kita mencatat bahwa noken selalu dibicarakan berhubungan dengan pemasaran, UMKM, kewajiban menggunakan noken, hingga noken yang menjadi cendera mata khas Papua, namun kita lupa bahwa pelestarian noken mestinya menyentuh akar persoalan yakni ketersediaan bahan baku yang berarti berhubungan kesiapan lingkungan,pewarisan nilai yang berhubungan dengan makna dan soal kreasi noken dari anak muda Papua sebagai pewarisnya,” katanya.
Titus menegaskan bahwa, hingga hari Minggu 4 Desember 2022 ulang tahun Noken ke sepuluh, tidak ada perubahan signifikan yang terjadi dalam pelestarian dan perlindungan noken di masa mendatang.
Ketiadaan perhatian dari pemerintah ini, lanjut Titus, dapat saja dikarenakan ketidakpahaman akan budaya dan noken sebagai bagian hidup masyarakat Papua, atau juga karena lemahnya perhatian pada kebudayaan sebagai unsur penting membangun Papua.
Padahal, kata Titus, Unesco telah menetapkan noken sebagai warisan budaya tak benda dalam daftar yang perlu segera dilindungi yang merupakan langkah strategis untuk melaksanakan rencana aksi dan perlindungan serta pelestarian Noken.
Menurut Konvensi tahun 2003, urai Titus, telah ditetapkan bahwa lembaga yang berwenang menangani warisan budaya takbenda adalah instansi tingkat nasional dan daerah dalam hal inipihak Indonesia, pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi Papua dan Papua Barat.
Perlindungan itu tertuang dalam rencana aksi seperti, inventarisasi warisan budaya Noken, pembuatan bahan ajar noken berupa buku, CD/DVD interaktif dan poster; memasukkan noken ke dalam kurikulum sekolah sebagai Muatan Lokal, pelatihan noken melalui sanggar (pilot project) dan revitalisasi budaya noken di masyarakat, sosialisasi budaya noken oleh Pemerintah Daerah dan kerja sama dengan lembaga adat yang kompeten, akademisi, lembaga swadaya masyarakat di tanah Papua
“Ternyata sampai sekarang tidak terjadi apa-apa. Rencana aksi ini belum meluas dan mendarat di Papua karena belum maksimal dilakukan kecuali sosialisasi noken dari Lembaga Ekologi Papua,” katanya.
Titus mengharapkan pemerintah untuk kembali memperhatikan dan memberdayakan kehidupan noken, sehingga budaya tidak hanya jadi pemadam kebakaran di saat muncul berbagai masalah dalam masyarakat.
Terakhir, Titus menyampaikan selamat hari Noken kepada para pengrajin noken di seluruh tanah Papua. Dia mengingatkan agar noken sebagai warisan budaya takbenda yang telah diputuskan Unesco pada 4 Desember 2012 menjadi kesempatan masyarakat untuk tetap melindungi dan melestarikannya.
“Pengrajin Noken di seluruh tanah Papua dan di tanah perantauan selamat Hari Noken ke-10 tahun. Setelah UNESCO menetapkan noken sebagai warisan budaya takbenda pada tanggal 4 Desember 2012,” tutupnya. (bn)