TIFFANEWS.CO.ID,- Sebagai Provinsi baru yang membawa harapan akan perubahan, masalah pendidikan merupakan masalah yang penting untuk diperhatikan. Dihadapkan dengan berbagai persoalan pendidikan, salah satu cukup mengemuka adalah kondisi kekurangan guru. Sekalipun kabupaten Merauke memiliki kelebihan guru, tiga kabupaten lainnya seperti Mappi, Boven Digoel dan Asmat mengalami kekurangan guru yang sangat siginifikan.
Distribusi guru dari kabupaten Merauke ke tiga kabupaten itu adalah solusi yang bisa ditempuh, namun kebutuhan penambahan guru terlebih guru yang berkompeten, juga mesti harus dipikirkan. Dua cara itu dapat ditempuh bersamaan untuk mengatasi darurat pendidikan di Papua Selatan.
Hal ini terungkap dalam diskusi virtual (zoom Meeting) yang dilaksanakan Dinas Pendidikan Provinsi Papua Selatan, Jumat (27/01) Pukul 13:000 WIT – 15:00 WIT. Ada persoalan lain yang perlu juga dipikirkan yakni memastikan kehadiran negara dalam mengatasi persoalan pendidikan di Papua Selatan, dan kebutuhan akan pendidikan kontekstual bagi generasi Papua Selatan.
Diskusi ini merupakan diskusi pertama yang digelar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua Selatan untuk mendapatkan masukan dalam rangka penyusunan Program dan Kebijakan Strategis bagi Percepatan Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai wujud implementasi nyata daripada Agenda Papua Selatan Cerdas.
Diskusi yang dibuka oleh Plt Asisten Sekda Provinsi Papua Selatan Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Selatan Agustinus Joko Guritno ini menghadirkan peserta diskusi para pemerhati dan pelaku pendidikan diantaranya Prof. Dr. Dinn Wahyudin, M.A, , Prof. Ir. Yohannes Sardjono, APU. Dr. Drs Beatus Tambaip, MA, Dr. Yulius Mataputun, M. Pd , Dr. Agus Sumule, dan Dr.James Mandouw.
Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua Selatan, Drs. Aloysius Jopeng, M.Pd.,, dalam paparan awalnya mengungkapkan berbagai permasalahan yang sedang menimpah pendidikan di Papua Selatan.
Aloysius Jopeng memaparkan empat permasalahan pendidikan di Papua Selatan diantaranya, sebaran guru yang tidak merata, tingginya angka putus sekolah, rendahnya kemampuan literasi siswa dan tingginya angka buta huruf.
Aloysius Jopeng mengatakan, kalau dilihat dari sebaran rasio guru murid di Merauke pada setiap jenjang maka terlihat adanya kelibihan guru, namun yang terjadi di kabupaten Merauke berbeda dengan yang terjadi di tiga kabupaten lain seperti Asmat, Mappi dan Boven Digoel.
Di Mappi, masih terdapat kekurangan guru SD sebanyak 500 orang, sementara guru SMK kekurangan 12 orang terutama untuk guru-guru produktif. Asmat kekurangan guru sebanyak 462 orang dan Boven Digoel kekurangan 63 orang guru. Total kekurangan guru SD di Papua Selatan sebanyak 1037 orang.
“Ini kita menggunakan rasio minimal. Tapi kalau kita menggunakan rasio tinggi maka kekurangan makin banyak lagi,” kata Aloysius Jopeng.
Dalam perbandingan antara kabupaten Merauke, dan tiga kabupaten lainnya, menurut Aloysius Jopeng, sebenaranya masalah guru di Papua Selatan antara kekurangan dan kelebihan tidak menjadi masalah, yang menjadi masalah adalah soal distribusi guru-gurunya.
“Sementara khusus pada SMK sebenarnya kita masih banyak kekurangan guru produktif,” jelasnya.
Untuk masalah kemampuan membaca siswa, mengacu pada pada hasil EGRA Unicef, kata Aloysius Jopeng, dari jumlah sampel yang disebar kepada 312 siswa di kabupaten Asmat, hanya 4 orang yang membaca dengan fasih juga memahami bacaan, 38 orang atau 18 persen membaca dengan pemahaman, lalu membaca dengan pemahaman terbatas itu ada sekitar 50 orang atau sekitar 23 persen, selebihnya mereka bukan pembaca, karena mereka tidak bisa membaca dan tidak bisa memahami apa yang mereka baca
“Ini satu hal yang menggambarkan kepada kita betapa lemahnya kemampuan literasi dasar anak-anak kita pada kelas 1, 2 dan kelas 3 SD. Ini belum termasuk di beberapa daerah lain seperti Mappi, Boven Digoel dan Merauke,” ujar Sopeng.
Untuk angka buta huruf, kata Aloysius Jopeng, sudah menjadi ceritra lama, karena di Papua Selatan masih tinggi angka buta huruf yakni sekitar 6600 orang.
“Ini yang harus dikejar sehingga sehingga bisa tuntas,” ujar Aloysius Jopeng.
Sementara pada masalah putus sekolah, angkanya sangat tinggi. Aloysius Jopeng memberikan contoh misalnya di Merauke, ada sekitar 5921 orang warga belajar pada jenjang PAUD, namun hanya 3312 orang yang tercatat di jenjang SD. Menurutnya, hal ini juga terjadi pada jenjang SD ke SMP.
“Ada sesuatu yang menurut saya yang perlu didiskusikan mendalam, terutama jika kita lihat jumlah SD dan SMP, selisihnya ini cukup banyak, hampir 17 ribu. Mereka yang lulus SD, mestinya sebanding dengan yang lanjut ke SMP. Ini data yang perlu digali mendalam dan dianalisa, sebenarnya ada persoalan apa,” kata Jopeng.
Pada jenjang yang lebih lanjut, antara SMP dengan SMA/SMK ternyata cukup banyak siswa yang tidak bisa tercover pada SMA. Hampir sekitar 1000 lebih anak, mereka tidak bisa melanjut mungkin karena putus sekolah atau tidak bisa lanjut karena kemampuan biaya atau ekonomi.
Menurutnya, banyak siswa yang tidak melanjutkan jenjang pendidikan terutama SD ke SMP dapat tertampung di pendidikan non formal, namun kelitahatannya antara pendidikan formal dan non formal masih jalan sendiri sendiri.
“Ketika anak tidak melanjutkan pendidikan formalnya, maka harusnya dia tertampung dalam pendidikan non formal melalui SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) dan PKBM (pusat kegiatan belajar masyarakat). Di Merauke sendiri menurut data sekitar 19 ribu orang yang putus sekolah pada SD, SMP, SMA dan seterusnya, namun hanya sekitar 3462 orang yang bisa tertampung di PKB dan SKB yang ada. Sementara ada sekitar 15 ribu orang yang masih tersisa belum mendapat kesempatan pendidikan non formal,” kata Jopeng.
Di Mappi, lanjut Jopeng, siswa usia PAUD yang tertampung pada TK dan PAUD ada sekitar 820, namun perlu dicari tahu berapa jumlah penduduk usia PAUD sehingga bisa tahu jumlah anak yang tertampung, kemudian sisanya berapa.
Orang yang putus sekolah pada SMP dan SMA, dan seterusnya sekitar 3000 orang. Hanya 462 orang yang bisa tertampung di PKBM. Jadi ada sekitar 15 670 orang yang tidak tertampung.
Dari ceritra yang sama, kata Jopeng, di Asmat 13 040 orang yang tidak melanjutkan sekolah. Mereka jadi masyarakat biasa yang tidak mendapatkan pendidikan secara baik. Di Boven Digoel sekitar 29.230 orang yang putus sekolah.
“Ini sekedar gambaran untuk kita semua. Kita bicara tentang anak yang tidak sekolah 93 ribu tidak mendapatkan kesempatan pendidikan baik formal maupun non formal,” ujarnya.
Sopeng berharap ada masukan dan saran untuk mengatasi hal ini, disamping perlunya memperhatikan pendidikan non formal.
Dr. Yulius Mataputun, M. Pd, mantan ketua BAN Provinsi Papua menambahkan, persoalan pendidikan di Papua Selatan dapat juga dilihat dari status akreditasi. Dari status peringkatan akreditasi tahun 2021, sebagian besar sekolah di tiga kabupaten di selatan Papua tidak terakreditasi.
“Di Merauke, dari 47, ternyata 18 tidak terakreditasi, Boven Digoel 17 sekolah, 7 yang tidak terakreditasi, Mappi 16 sekolah ada 5 tidak terakreditasi. “ Terkait dengan penyusunan program data ini perlu diakomodir,” kata Julius.
Dia mengatakan, banyak faktor yang menyebabkan sekolah tidak terakreditasi, namun yang lebih banyak adalah faktor pendidik yakni, ada guru yang tidak ada di tempat.
“Kedepan menurut saya, siapkan tenaga pendidik yang baik. SDM bukan hanya jumlahnya tapi mutunya harus baik, dan harus dikeluarkan dari perguruan tinggi yang terakreditasi pula, sehingga SDM yang mendidik SDM pendidik tidak jauh juga dari hasil lembaga pendidikan tinggi yang terakreditasi,” jelasnya.
Solusi lain, menurut Julius adalah menerapkan sistem evaluasi dan monitoring secara berkelanjutan dari para pimpinan dalam hal ini kepala sekolah.
“Banyak kepala sekolah tidak ada di tempat, bagaimana memastikan kegiatan pembelajaran berjalan? Pertanyaan, siapa yang menlai kepala sekolah? Berarti perlu ada sistem monitoring dan evalusi dari pimpinan. Kalau pimpinan memperhatikan, pasti terkendali guru-gurunya. Kalau pimpinan tidak ada, maka dipastikan pembelajaran tidak ada, maka jangan heran kalau literasi kita dibawah provinsi-provinsi lain,” tambahnya.
Menanggapi gap yang terjadi pada jenjang pendidikan terutama tingkat putus sekolah, menurut Prof. Dr. Dinn Wahyudin, M.A pemerintah daerah bersama para pemangku kepentingan harus bekerja keras mendorong wajib belajar 9 tahun.
“Berarti lulusan SD harus bisa dipacu untuk mengikuti SMP atau yang sederajat. Jadi ada upaya serius agar secara otomats dari SD ke SMP. Karena itu amanat Undang-undang, berarti negara harus sepenuh hati menyiapkan itu, tidak ada seorang pun anak-anak usia 12 15 tahun yang tidak bersekolah,” ujarnya.
Prof Dinn menambahkan, untuk menjadi SDM yang cerdas tidak cukup hanya bisa baca tulis atau pengetahuan dasar.
“Jadi ini pekerjaan panjang bagaimana potensi yang ada di Papua Selatan ini, mengajak semua warga untuk lifelong learning, belajar sepanjang hayat, tidak hanya siswanya tetapi juga orangtuanya. Sebab. dugaan saya, kalau melihat anak yang tidak meneruskan ke sekolah lebih lanjut, ini ada persoalan di orangtuanya. Apakah itu perosalan sosial budaya, ataupun latar belakang pendidikan atau ekonomi termasuk juga geografis,” kata Prof Din.
Prof Din menjelaskan, sekarang ini guru tidak cukup hanya S-1 Solusinya adalah PPG yakni setelah S-1 tambah dua semester. dan itu kalau itu tidak mungkin karena berbagai pertimbangan, perlunya pengadaan guru dalam kondisi darurat
“Kalau melihat peta tadi yang disampaikan Kadis, harapan dengan mobilasi, perpindahan guru di internal masalah bisa terpecahkan, namun berbagai hal lain perlu dipertimbangkan sehingga pengadaan guru dari berbagai jenjang pendidikan dalam waktu yang tidak terlalu lama bisa dipecahkan atau diatasi. Jangan biarkan ada program baru, siswa sekolah dasar dan menengah masih harus menunggu,” kata Prof Din.
Prof Din mengusulkan, perlu nya pengadaan guru dalam kondisi darurat melalui perekrutan guru dengan segera, apa itu lulusan SMA, SMK dari daerah, kemudian dididik secara darurat.
“Sekali lagi untuk guru ini merupakan hal penting, musti ada terobosan agar tersedia guru di SD, dengan cara apapun, kalau perlu kontrak setahun atau dua tahun, kalau perlu ditawarkan ke universitas lain di luar Jawa yang ingin berbakti, setahun paling lama dan itu akan membantu, generasi muda yang ingin mengikuti pendidikan. Bersambung. (Bn)
Pendidikan di Papua Selatan (Bagian 2) Harapan Besar dengan Hadirnya Provinsi
Pendidikan Papua Selatan (Bagian 3 – Habis) : Pemerataan Penting, Tapi Jangan Lupa Kualitas