TIFFANEWS.CO.ID,- Pemerintah pusat diminta untuk memberikan kejelasan tentang status DPR Provinsi Papua, setelah terlaksananya pemekaran tiga provinsi baru yakni Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan.
Kejelasan status ini penting, karena sangat berpengaruh pada terlaksananya hak dan kewajiban wakil rakyat hingga berakhir masa bakti pada 2024 nanti. Sementara pada sisi lain, persoalan yang muncul di provinsi baru sangat membutuhkan peran wakil rakyat, karena tidak mungkin jalannya pemerintahan tanpa aspirasi dan kontrol dari rakyat.
Hal ini dikatakan Anggota DPRP Papua Apeniel Sani, dalam rilisnya kepada media, Jumat (10/2). Sani mengatakan ibarat kapal, saat ini DPRP Papua dibiarkan terkatung-katung tanpa tujuan dan arah yang jelas, bahkan terkesan sengaja dibiarkan untuk tidak bekerja.
Menurut Sani, sejak pemekaran tiga provinsi baru itu, DPR Papua nyaris tidak bekerja dan tidak menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya, karena ketiadaan regulasi yang mengatur kerja DPR induk dalam hal ini DPRP Papua menyikapi pelaksanaan DOB hingga 2024.
“Anggota DPRP Papua sendiri adalah wakil-wakil dari daerah pemilihan yang sekarang sudah menjadi provinsi sendiri, mestinya anggota juga mengikuti propinsi baru, tempat mana mereka terwakili. Tapi ini kan tidak. ” kata Sani.
Sani menjelaskan, ada dua hal yang dihadapi DPRP Papua saat ini yakni pertama, tugas dan wewenang anggota DPRP pasca pemekaran provinsi, dan kedua adalah masalah ikutannya yakni terkait dengan anggaran.
Untuk yang pertama, kata Sani, tanpa kejelasan regulasi tidak mungkin DPR Papua mengurusi masalah yang ada di wilayah provinsi lain, sekalipun anggotanya berasal dari provinsi baru tersebut, sebab dasar regulasi apa yang mengharuskan anggota ikut dalam pengawasan, dan kepada siapa pengawasan itu dialamatkan.
“Kami sekarang sebagai DPR Provinsi Papua, sementara kami dari daerah pemilihan yang kini sudah menjadi provinsi yang terpisah dari provinsi Papua. Bayangkan, kami menyerap aspirasi di dapil kami yang ada di provinsi baru, kemudian dibahas di provinsi lain yakni Provinsi Papua tempat kami berada saat ini, lalu pemerintah provinsi mana yang akan mengeksekusinya? Ini persoalannya,” kata Sani.
Untuk hal yang kedua, lanjut Sani, dengan adanya provinsi baru sudah terjadi pergeseran anggaran dari provinsi induk ke provinsi baru, maka jelas hal ini menyebabkan tidak ada anggaran untuk kerja DPRP Papua sebagaimana sebelumnya masih satu provinsi.
Masih berhubungan dengan anggaran, lanjut Sani, ketiadaan pengawasan dan kontrol penggunaan anggaran oleh wakil rakyat di daerah DOB, akan membawa akibat pada pengunaan anggaran yang tidak representatif sesuasi aspirasi rakyat, dan lebih dari itu masalah transparansi dan akuntabilitas.
“Ini yang perlu dibuat kebijakan baru, sehingga keterlibatan rakyat tetap menjadi penting, dan pembangunan di daerah pemekaran sesuai dengan kehendak rakyat, bukan kemauan pemerintah saja,” jelasnya.
Sani mengingatkan bahwa proses pemekaran DOB tiga Provinsi ini tidak seperti pemekaran-pemekaran yang terjadi sebelumnya, yakni harus terlebih dahulu melewati masa persiapan. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021, Pasal 76 menghendaki pemerintah di DOB menjalan pemerintahan sebagaimana umumnya berlaku di provinsi-provinsi lainnya.
Konsekuensinya, lanjut Sani, pemerintah provinsi baru akan menentukan kebijakan pembangunan dan mengelola anggaran selama dua tahun hingga 2024 nanti.
“Pertanyaannya, selama dua tahun siapa yang menetapkan APBD, yang digunakan DOB? Apakah pemerintah pusat atau lembaga legislatif Provinsi induk? Kemudian siapa yang mengawasi kinerja pemerintahan baru? Belum lagi persoalan-persoalan sosial yang dihadapi masyarakat, sudah tentu membutuhkan kehadiran wakil rakyat sebagaimana terjadi selama ini,” ujar Sani.
“Jadi mestinya, peran wakil rakyat juga dipikirkan dalam jalannya roda pemerintahan di provinsi baru ini. Kementerian Dalam Negeri harus membuat kebijakan untuk mengatur soal-soal ini dan tidak bisa membiarkan DPRP terkatung-katung tanpa arah yang jelas,” pungkasnya.
Menurut Sani, selain pengaturan anggaran yang berpengaruh pada kinerja anggota DPRP, hak dan kewajiban DPRP juga bisa tersalurkan dengan membentuk DPRP transisi yang bentuk kelembagaan berbeda dari sebelumnya.
Misalnya, mengingat kantor DPR Provinsi belum ada di provinsi baru, anggota bisa saja tetap berkantor di Jayapura seperti saat ini, namun dalam tugasnya para anggota ini tetap bekerja untuk provinsi baru yang merupakan daerah pemilihannya.
Dia mengharapkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk segera membuat kebijakan sehingga terjadi kesinambungan dan tidak membawa akibat buruk di kemudian hari, lantaran kebijakan yang absen dari suara rakyat yang terwakili oleh wakil rakyatnya.
“Kami akan tetap berjuang untuk masalah ini, karena ini penting untuk perkembangan demokrasi yang sehat, ” tutupnya. (*bn)