Oleh : Titus Pekei
Sudah banyak tulisan dan kajian tentang pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat keberadaan perusahan-perusahan tambang. Usaha untuk mengatasi masalah ini juga sudah sering dibicarakan, namun hingga sekarang belum menunjukan hasil yang baik,bahkan semakin parah.
Lain di atas kertas berupa laporan demi laporan, lain pula dalam kenyataan hidup sehari- hari. Limbah tailing atau limbah tambang, misalnya, masih terus merusak sungai-sungai, merusak ekosistem hidup masyarakat, bahkan menghampiri masyarakat yang rentan dengan berbagai penyakit. Belum lagi soal pembukaan area-area tambang yang nota bene menghancurkan hutan dengan segala habitatnya.
Jika disimak dengan baik, ada dua hal yang sering dibicarakan terkait masalah pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan ini. Pertama adalah dampak yang ditimbulkan dari pencemaran ini. Kedua adalah bagaimana upaya mengatasinya baik itu menyangkut pengelolaan limbah oleh perusahaan ataupun menyangkut ganti rugi atau kompensasi terhadap korban yang terkena dampak.
Untuk yang pertama, seringkali solusinya sangat teknis yaitu bagaimana dibuat penampung limbah dan mengatur penyalurannya sehingga tidak berdampak luas terhadap alam dan lingkungan lebih khusus manusia. Usaha lain misalnya, melakukan reboisasi dan konservasi hutan, menanam mangrove untuk menjaga alam tetap lestari dan berfungsi. Demikian juga berbagai temuan teknologi baru kabarnya bisa mengurangi dampak dari limbah tersebut.
Untuk masalah kedua, tindakan lebih berupa penyediaan fasilitas kesehatan, sarana dan prasarana, dan ganti rugi yang dipakai untuk kebutuhan masyarakat. Masyarakat diberi kompensasi berupa beasiswa pendidikan, fasilitas kesehatan, menumbuhkan usaha-usaha yang mendukung ekonomi rumah tangga, hingga penyediaan fasilitas primer yang dibutuhkan masyarakat termasuk relokasi hunian warga.
Dua masalah ini hemat penulis, belum menyelesaikan persoalan, sejauh tindakan penyelesaian atau upaya untuk mengatasinya dilakukan dengan cara parsial, tidak konsisten dan tidak kontekstual. Tindakan tambal-sulam, setengah-setengah, asal jadi, hanya menambah daftar panjang persoalan lingkungan.
Pemanasan Global dan Penurunan Keragamaan Hayati
Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni 2023, kita disuguhkan dengan pembicaraan tentang suhu bumi yang meningkat kian cepat.
Suhu bumi diperkirakan bakal melewati titik kritis 1,5 derajat Celsius dalam lima tahun mendatang. Masalah ini salah satunya buntut dari masalah pertambangan yang massif sebagai penyebab terjadinya alih fungsi lahan dan pada akhirnya memicu peningkatan pemanasan global.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangan pers tertulis, Kamis (7/7/2022), mengatakan secara rata-rata nasional, untuk wilayah Indonesia, tahun terpanas adalah tahun 2016 yaitu sebesar 0,8 °C dibandingkan periode normal 1981-2010 mengikuti tahun terpanas global. Sementara tahun terpanas ke-2 dan ke-3 adalah tahun 2020 dan tahun 2019 dengan anomali sebesar 0,7 °C dan 0,6 °C,” papar Dwikorita.
Laporan Status Iklim 2021 (State of the Climate 2021) yang dirilis Badan Meteorologi Dunia (WMO) bulan Mei 2022 yang lalu. WMO menyatakan bahwa hingga akhir 2021, suhu udara permukaan global telah memanas sebesar 1,11 °C dari baseline suhu global periode praindustri (1850-1900), di mana tahun 2021 adalah tahun terpanas ke-3 setelah tahun 2016 dan 2020.
Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan, Ardhasena Sopaheluwakan mengatakan, pengkajian yang dilakukan oleh panel antarpemerintah tentang perubahan iklim (IPCC) menyebutkan bahwa pemanasan global tersebut tidak akan terjadi tanpa pengaruh faktor kegiatan manusia atau antropogenik. Pengaruh antropogenik yang lebih kuat dibandingkan pengaruh variabilitas alami seperti La Nina tahun 2020 – 2021.
Suhu yang semakin panas, mengakibatkan bencana terjadi di mana-mana, termasuk menurunnya produktivitas manusia. Petani misalnya, siang hari lebih banyak memilih beristirahat tidur, daripada harus bekerja dengan panas yang tak terkira. Para pekerja lainnya pun lebih memilih berada di luar ruangan karena suhu di dalam ruangan yang panas. Dampak lanjutan adalah ancaman kemiskinan karena berkurangnya penghasilan.
Munculnya berbagai bencana alam juga akibat dari pemanasan global termasuk persoalan lingkungan yang tidak dijaga secara baik. Bencana terkait cuaca ekstrem terjadi dimana-mana, seperti banjir pasang, banjir bandang, longsor, dan genangan permanen rob.
Ahli biologi konservasi Universitas Indonesia, Jatna Supriatna, mengatakan, selain pemanasan global, dunia saat ini juga menghadapi penurunan keragaman hayati dan pencemaran lingkungan. Menurutnya, sekalipun para ilmuwan telah mencapai konsesus tentang gentingnya kondisi lingkungan saat ini, banyak warga bumi, terutama pengambil kebijakan, belum menyadarinya.
Menurutnya, pengambil kebijakan kebanyakan tidak mendengar sains. Hal ini menyebabkan lemahnya aksi nyata mitigasi dan adaptasi. Praktik ekspolitasi sumber daya alam dengan dalih untuk memenuhi energy terbarukan malah bisa memperparah krisis lingkungan. Demikian juga masifnya pertambangan nikel di kawasan Wallacea telah mencemari dimana-mana.
Papua
Pulau Papua yang dikenal sebagai paru-paru dunia, juga mengalami ancaman serius sebagai akibat pemanasan global, penurunan keragaman hayati dan pencemaran lingkungan. Bukan rahasia lagi, selain di pulau ini hadir tambang terbesar yang dikelola PT. Freeport, berbagai pertambangan lain pun tumbuh subur. Pembukaan kebun-kebun sawit yang massif serta penebangan liar, pencurian satwa, dan pembangunan perumahan dan pemukiman yang tak ramah lingkungan, merupakan persoalan yang selalu sering dihadapi berkenaan dengan bencana dan kerusakan alam.
Di tengah kerisauhan akan masifnya pertambangan nikel, baru-baru ini Menteri Investasi dan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), usai rapat dengan Presiden Joko Widodo bersama beberapa menteri kabinet dan Direktur PT ANTAM Tbk, Nico Kanter, di Istana Negara Merdeka Jakarta, Bahlil Lahadalia, mengungkapkan rencana pembangunan tambang nikel di Papua bahkan akan dipercepat. Hal ini guna merealisasikan investasi Inggris senilai 9 miliar US$ (setara Rp135 triliun) untuk ekosistem baterai mobil dari tambang hingga baterai sel. investasi Inggris di Indonesia dilakukan bekerja sama dengan GlenCore perusahaan asal Swiss, Evision asal Inggris, Umicore asal Belgia dan PT ANTAM Tbk, serta pengusaha nasional Indonesia.
Papua yang kini sudah dimekarkan menjadi 6 Provinsi itu, memiliki potensi bencana geologi yang cukup rawan. Bencana gempa bumi, longsor, banjir banjir bandang, tsunami, kekeringan, kebakaran hutan dan beberapa bencana lainnya acap kali terjadi. Dalam Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sepanjang tahun 2009-2019, banjir dan tanah longsor merupakan bencana yang paling sering terjadi di Papua. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Papua Wiliam Manderi mengatakan, hampir 60 persen wilayah di Tanah Papua masuk kategori rawan bencana hidrometeorologi sehingga masyarakat diminta waspada.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Papua mengingatkan masyarakat untuk menghentikan aksi penebangan pohon di hutan yang menjadi daerah resapan, agar tak terjadi bencana alam longsor. Penebangan pohon di hutan atau daerah resapan berpotensi menimbulkan bencana alam. Selain itu, bencana alam lain yang menanti adalah terjadinya krisis air yang kemudian dapat memicu banyak hal negatif bagi umat manusia.
Belum Menemukan Solusi yang Pas
Pencemaran menjadi krisis lingkungan hidup merupakan konsekuensi atas pembangunan dan kemajuan industri pertambangan secara besar-besaran. Ada persoalan lain di luar pertambangan yang turut menyumbang krisis lingkungan ini tidak disinggung disini. Semua ini telah berdampak pada terganggunya aspek-aspek dalam keamanan manusia, khsususnya dalam keamanan lingkungan, ekonomi, pangan, kesehatan, dan pribadi.
Masalah pencemaran lingkungan akibat keberadaan perusahaan tambang bukan hal yang baru, sekalipun dampak buruk yang ditumbulkan dari industry tambang sungguh sangat merasahkan karena telah melampaui batas ekologi. Semakin tingginya produksi, maka semakin tinggi pula dampak kerusakan lingkungan atau pencemaran lingkungan yang di timbulkannya. Pencemaran pun terus meningkat seiring dari aktivitas manusia yang juga terus meningkat.
Hemat penulis, persoalan lingkungan terutama masalah yang berhubungan dengan bencana tak dapat diatasi dengan tuntas karena masalah lingkungan selalu dihadapi dalam kerangka berpikir parsial dan sektoral. Padahal lingkungan adalah sebuah sistem yang menuntut penanganan pun dilakukan secara holistik.
Prof. Sunardi dalam orasi ilmiahnya berjudul “Ekologi Pencemaran: Suatu Nexus Antara Senyawa Pencemar Lingkungan dengan Sistem Sosial-Ekonomi”., mengatakan pekerjaan rumah terkait efek merusak pencemar masih banyak belum tersentuh setelah masuknya aspek-aspek baru dalam sains pencemaran
Prof. Sunardi memaparkan, di masa lalu, ilmu toksikologi lingkungan ataupun ekotoksikologi telah menitik-beratkan kajiannya pada aspek toksikokinetik dan toksikodinamik dari zat-zat pencemar pada level tersebut. Kajian ini berangkat dari dampak yang dihasilkan dari pelepasan senyawa beracun ke lingkungan akibat aktivitas pencemaran. Buangan senyawa beracun tersebut berdampak besar pada timbulnya kerusakan dalam sistem biologi sejak level paling rendah.
Menurut Prof. Sunardi, kini keterkaitan pencemaran dengan persoalan kesehatan, hingga sosial dan ekonomi, telah menjadi area kajian baru dalam melacak kerugian akibat pencemaran lingkungan. Untuk itu, studi tentang pencemaran harus makin diperluas untuk mengungkapkan interdependensinya dengan ketiga pilar pembangunan berkelanjutan, ekonomi, sosial dan lingkungan. Oleh karenanya, studi pencemaran saat ini harus memiliki perspektif yang lebih komprehensif dan melampaui kajian toksikologi. Ia kemudian membuat arah baru pengembangan sains pencemaran, yaitu ekologi pencemaran.
Dari beberapa catatan di atas, penulis berkesimpulan, Pertama, bahwa penanganaan lingkungan haruslah kontekstual, menyesuaikan dengan perkembangan masalah, dan perkembangan ilmu pengetahuan. Sungguh naif bila penyelesaian saat ini memakai cara-cara lama yang juga belum tentu berhasil di masa lalu.
Kedua, penyelesaian lingkungan harus komprehensif dan menyeluruh. Libatkan semua pihak baik mereka yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung. Komprehensif juga menyangkut pendekatan. Tidak bisa hanya satu pendekatan saja.
Ketiga, konsisten. Pertimbangan lingkungan diakui atau tidak selalu dikalahkan oleh pertimbangan ekonomi. Konsep triple bottom line (planet, people, profit) yang mengandalkan keseimbangan ekonomi, ekologi dan sosial nampaknya hanya di permukaan saja. Kita perlu konsisten untuk tetap berfokus pada masalah lingkungan.
Masih dibutuhkan perubahan cara pandang, serta tindakan yang menyeluruh dengan melibatkan semua pihak, dan yang paling penting adalah konsistensi. (*)
Tulisan ini amat baik dan oleh karena itu diharapkan mestinya semua pihak berjibaku mendesain gagasan bersama untuk kemudian bangkit membangun suatu gerakan Kebangkitan spiritualitas lingkungan hidup yang beriman bagi semua.paham ini juga adalah merupakan gagasan yang paling penting untuk didiskusi bersama dan difollow up dalam konteks kebersamaan.dengan menganut paham ” KITA JAGA LINGKUNGAN, LINGKUNGAN JAGA KITA”