TIFFANEWS.CO.ID,– 39 tahun yang lalu, Pemerintah Indonesia resmi meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.
Berbagai terobosan dan kemajuan pun telah dilakukan untuk memastikan prinsip utama CEDAW, yaitu kesetaraan substantif antara perempuan dan laki-laki, memastikan perempuan tidak mengalami diskriminasi, dan kewajiban negara dapat diimplementasikan di Indonesia.
“Kalau merefleksikan perjalanan CEDAW di Indonesia, kita harus optimis bahwa sudah banyak kemajuan yang kita raih. Sudah banyak hal-hal yang menjadi harapan, tujuan, target-target dari CEDAW bisa dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia melalui program-program yang disusun,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Ratna Susianawati, dalam ‘Webinar 39 Tahun Ratifikasi CEDAW di Indonesia: Sejarah dan Mandat Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan untuk Tatanan Hidup yang Adil’ secara daring, Senin (24/7).
Ratna mengatakan, pada 2021 lalu, telah dilaksanakan Dialog Konstruktif dengan Komite CEDAW untuk merefleksikan perkembangan implementasi komitmen global tersebut di masing-masing negara, termasuk Indonesia. “Ketika kita meratifikasi salah satu komitmen internasional, kita harus siap dengan pelaporan dan evaluasi yang harus dilakukan. Dalam dialog tersebut kami melaporkan aksi dan kerja konkret, serta pending matters dalam mengatasi isu diskriminasi, eksploitasi, dan lain sebagainya. Sebanyak 20 Kementerian/Lembaga dipimpin oleh Menteri PPPA terlibat dalam penyampaian progress yang telah dilakukan,” kata Ratna.
Menurut Ratna, salah satu hal yang menjadi perhatian Komite CEDAW dalam dialog tersebut adalah maraknya kasus kekerasan, terutama kekerasan seksual di Indonesia. Meski demikian, pada saat itu Pemerintah Indonesia mendapatkan apresiasi atas upaya penuntasan isu kekerasan seksual melalui perumusan rancangan undang-undang yang mengatur mengenai tindak pidana kekerasan seksual secara komprehensif.
“Itu menjadi sebuah proses kemajuan yang mendapatkan apresiasi luar biasa dari Komite CEDAW karena lahirnya sebuah regulasi lex specialist yang akan memberikan jawaban untuk memastikan perlindungan, penanganan, pemulihan, penegakan hukum terkait kasus kekerasan seksual yang korban terbesarnya adalah perempuan. Hal ini kemudian kita buktikan di tahun 2022 dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Ini merupakan sebuah terobosan dan pembaharuan hukum yang lahir menjawab salah satu pending matters terkait maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia,” jelas Ratna.
Lebih lanjut, Ratna menegaskan pentingnya kolaborasi lintas pihak, termasuk peran masyarakat dalam melaksanakan seluruh pasal-pasal dalam CEDAW untuk mewujudkan kesetaraan gender dan perlindungan terhadap perempuan di Indonesia. “Tidak serta merta pelaksanaan CEDAW hanya dijalankan oleh KemenPPPA, tetapi untuk bisa memotret hasil kerja kerja yang menjadi mandat dari CEDAW, ini adalah kerja kolaborasi lintas pembangunan. Artinya, semua Kementerian/Lembaga terlibat dalam upaya untuk mengatasi persoalan terkait isu perempuan,” ujar Ratna.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Alimatul Qibtiyah mengatakan, tahun 2023, Pemerintah Indonesia telah melakukan kemajuan dalam upaya implementasi CEDAW, salah satunya terkait isu kekerasan seksual. “Salah satunya adalah adopsi definisi perkosaan sesuai dengan hukum internasional sehingga mencakup ragam tindak pemaksaan hubungan seksual dan memperhitungkan kerentanan khas perempuan korban, termasuk dalam kondisi tidak berdaya, disabilitas, dan relasi perkawinan,” jelas Alimatul
Menurut Alimatul, meskipun sudah terjadi kemajuan dalam upaya implementasi CEDAW di Indonesia, masih banyak tantangan yang harus diselesaikan. Bahkan, perempuan masih banyak mengalami kekerasan dan kerentanan di berbagai aspek. “Negara dan semua elemen harus berkolborasi dan bersinergi untuk menguatkan implementasi CEDAW di Indonesia. Pemenuhan hak-hak perempuan akan mengantarkan dan mewujudkan Indonesia yang maju dan berkeadaban,” kata Alimatul.
Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan Himpunan Mahasiswa Islam Turkiye, Riyani mengatakan, sebagai negara yang telah meratifikasi CEDAW, Indonesia berkewajiban mengimplementasikan kebijakan-kebijakan substantif yang tercantum di dalam konvensi tersebut.
“Masih banyak tantangan yang kita hadapi terkait pengimplementasian kebijakan isu kesetaraan gender dan masih banyak kasus kekerasan seksual yang sangat merugikan perempuan dalam segala aspek. Maka dari itu, kami mengajak seluruh teman-teman untuk kembali merefleksikan sejarah dan mandat perjuangan ratifikasi CEDAW. Perempuan di seluruh dunia berhak berpijak di atas kaki sendiri, di belahan bumi manapun dalam kondisi apapun dengan kondisi aman dan nyaman,” tutup Riyani. (*bn)