TIFFANEWS.CO.ID,– Pertunjukan teater “Ariyah dari Jembatan Ancol”, produksi ke-63 Titimangsa Foundation hari pertama di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini , Jakarta Pusat, Kamis (27/7) sungguh memukau. Masih ada satu kali lagi pertunjukan di tempat yang sama, yakni malam ini, Jumat (28/7).
Berdurasi 2 jam, lakon dibuka dengan kisah Ariyah (Chelsea Islan) dan ibunya Mak Sabilah (Ririn Ekawati) yang terjerat utang Juragan Tambas (Ario Bayu) untuk pengobatan sakit suaminya. Utang itu terus dinaikan, hingga sulit bagi Ariyah dan ibunya bisa melunasinya. Sementara Juragan Tambas terus saja mengutus orang untuk menagihnya.
Cerita dengan setting Jakarta tahun 1817-an itu, menampilkan pula ceritra di Pasar Paseban, Lapangan Banteng, Gunung Sahari hingga Ancol. Karim (Gusty Pratama) yang membuka usaha kue kayu manis di Pasar Paseban jatuh cinta pada Ariyah.
Karim berempati dengan persoalan hutang yang dialami Ariyah, apalagi mendengar bahwa Ariyah berani menjaminkan dirinya untuk utang ibunya kepada Juragan Tambas. Karim berusaha untuk membayar cicilan hutang itu, bahkan untuk membayar pun ia nekad bertemu dengan Juragan Tambas.
Karim menemui para centeng dan meminta untuk diantar ke Juragan Tambas. Namun nasib naas didapatkan Karim. Dia dibunuh dan jasadnya dibuang ke sebuah lokasi yang tak diketahui.
Ariyah kemudian mengetahui Karim pergi menemui Jurangan Tambas, ia pun ikut menyusul mencarinya. Di tempat Juragan Tambas, ia tidak menemui karim. Terjadi pertikaian di situ, dan ia lari untuk terus mencari Karim hingga berlari ke arah Jembatan Ancol. Nasib naas pun menimpanya.
Pada pementasan yang sama ditampilkan suasana tahun 2023. Ceritanya, Yulia (Mikha Tambayong) tinggal bersama bayi di rumah peninggalan suaminya. Ia tinggal bersama Tante Mustika (Rahayu Saraswati). Tinggal di rumah itu mereka selalu mendapatkan teror dari Mintarjo Sasongko (Ario Bayu) jurangan tanah yang menghendaki mereka melepaskan rumah itu. Tak hanya Mintarjo, di rumah itu juga ada hantu yang menyita perhatian mereka.
Yulia yang mau diusir oleh Mintarjo, mengira gangguan dari makhluk halus itu adalah kerjaan dari Mintarjo, agar mereka bisa lebih cepat meninggalkan rumah itu. Ternyata tidak. Gangguan ini berhubungan dengan kejadian Ariya dan Karim.
Ini teater mengadaptasi legenda urban dari cerita ikonik khas Jakarta, Si Manis Jembatan Ancol. Teater ini digarap dua sutradara yakni Heliana Sinaga dan Joned Suryatmoko. Naskah dibuat oleh Sastrawan Kurnia Effendi dimana proses penulisan bermula dari sandiwara radio.
Menariknya, dalam penggarapan teater ini yang kemudian dipertunjukan, tampil dua plot dan dua setting dalam satu pementasan. Konsekuensinya, set properti panggung muncul silih berganti. Sekalipun demikian, penonton tak merasah terganggu, bahkan terus menikmati.
Kemampuan yang luar biasa dari teater ini adalah mampu menghadirkan hantu yang dapat diterima oleh indera penglihatan, pendengaran, dan aroma, yang membuat penonton merasakan kehadiran hantu dengan segala sensasinya. Bahkan yang berhasil dipertunjukan adalah pengalaman bertemu dengan cerita hantu secara langsung di atas panggung teater. Hantu putih (Josh Marcy) dan hantu Jenglot (Siko Setyanto) menjadi perhatian penting penonton. Aksi mereka selalu berbuah tepuk tangan penonton.
Pementasan ini menghadirkan sejumlah aktor dan aktris yang biasanya muncul di film, seperti Chelsea Islan, Mikha Tambayong, Ario Bayu, Ririn Ekawati,Gusty Pratama, Lucky Moniaga, Derry Oktami, Sarah Tjia,dan yang lainnya.
Lain layar lebar, lain sandiwara radio, lain pula pementasan teater. Wajar saja sebelum pementasan banyak yang meragukan pementasan ini dapat sukses. Tak sekedar kerumitan mengelola dua plotdan dua setting, tapi ada soal juga menyangkut relevansi tema untuk keadaan saat ini.
Ternyata, keraguan itu tidak terbukti. Tema penindasan perempuan masih relevan hingga saat ini. Belum lagi soal utang piutang, soal juragan dengan para pengawal penagih hutang masih ada hingga saat ini.
Kendati berakting dalam teater memiliki perbedaan besar dibandingkan berakting di depan kamera, para pemain tetap menunjukkan kelasnya yang terbaik baik penguasaan naskah, gestur maupun ekspresi. Semua sudah diperhitungkan dan dipersiapkan, mengingat dalam teater tak dikenal pengulangan sebagaimana yang terjadi di dalam pengambilan gambar di layar lebar.
Teater ini menjadi tontonan yang sungguh menarik. Mengingatkan hal-hal penindasan yang selalu terjadi namun selalu diabaikan. Mengingatkan juga bahwa masalah dendam, ketakutan adalah hal-hal yang masih selalu dialami manusia saat ini.
Happy Salma, pendiri Titimangsa menutup lakon dengan sebuah pernyataan tegas ‘Aye Ariyah masih ada di sini‘. (Bn)