Oleh: Peter Tukan*
KETUA Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), Jhony Banua Rouw telah secara tegas memberikan persyaratan kepada siapa saja yang akan diangkat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) atas nama Presiden RI untuk menjabat sebagai Penjabat Gubernur Papua. Penjabat Gubernur Papua itu adalah harus Orang Asli Papua (OAP).
Penegasan Ketua DPRP itu disampaikan di Jayapura, Selasa (8/8) dan dilansir salah satu media online.
“Intinya Pj Gubernur Papua harus mengerti dengan kultur Papua. Dia sudah tahu persis tentang Papua dan bukan orang dari luar yang baru mau datang coba-coba atau belajar di Papua,” ujarnya.
Jhony melanjutkan, Pj Gubernur juga sudah hidup lama di Papua dan mengerti kondisi Papua. Sebab, hal demikian menjadi pertimbangan serius oleh DPR Papua dalam meggodok calon Pj Gubernur.
“Kita harap yang ada di Papua saja yang menjabat sebagai Pj Gubernur Papua terutama mereka yang sudah lama bertugas di sini, karena mereka sudah paham semuanya,” katanya.
“Jadi sangat kenal tentang ketokohannya di Papua, pendekatannya bagaimana, sehingga betul-betul punya hati untuk membangun Papua yang lebih baik,” kata Jhony. (Tribun Papua.com)
Cermat Menyimak
JIKA disimak secara sangat cermat ucapan Ketua DPRP ini (kalau memang kutipan pernyataan ini benar-benar keluar dari mulut Jhony Banua Rouw tanpa ada kekeliruan pengutipannya oleh wartawan) maka pertanyaan pertama adalah: apakah benar bahwa hanya satu persyaratan untuk menjadi Penjabat Gubernur Papua yaitu harus Orang Asli Papua (OAP) ataukah dapat juga bukan OAP tetapi sudah lama bertugas di Papua?
Pertama bahwa: Mengerti dengan kultur Papua dan sudah tahu persis tentang Papua, tidak hanya dimiliki OAP. Orang bukan OAP pun (jumlahnya cukup banyak) yang selama ini sangat mengerti kultur Papua dan tahu persisi tentang Papua.
Sebaliknya, belum tentu yang disebut OAP itu mengerti kulturnya sendiri dan tahu persisi tentang orangnya dan wilayahnya sendiri. Jadi, di sini, persyaratan yang diberikan yakni harus OAP cukup lemah.
Kedua bahwa: sudah hidup lama di Papua dan mengerti kondisi Papua. Pada hari ini, banyak orang yang bukan OAP sudah lama hidup di Papua.
Ada di antara mereka yang walaupun sudah lama hidup di Papua namun belum banyak mengerti kondisi Papua, sebaliknya ada juga banyak orang yang bukan OAP sudah lama hidup (beranak-pinak) di Papua dan mereka ini jauh lebih mengerti (memahami) kondisi Papua.
(Catatan: Tidak sedikit OAP yang sudah lama hidup di luar Papua seperti di Yogya, Salatiga, Palembang, Pontianak dan mereka memang mengerti tentang orang dan tempat di mana mereka berada karena mereka hidup bersemboyankan “Dimana bumi dipijak – disitu langit dijunjung”).
Dengan demikian, terkait persyaratan ini, maka yang menjadi Penjabat Gubernur Papua tidak harus OAP, kan?
Ketiga bahwa : Mempunya HATI untuk membangun Papua, itu harus (wajib hukumnya) dimiliki SEMUA orang, tidak harus OAP saja.
Banyak orang yang bukan OAP (baik yang bermukim di Tanah Papua maupun yang bermukim di luar Tanah Papua) sudah lama punya HATI untuk membangun Papua. Tetapi, tidak sedikit orang yang bukan OAP pun (baik yang bermukim di Tanah Papua maupun di luar Tanah Papua) tidak memiliki HATI untuk membangun Papua di Papua.
Sebaliknya, ada juga orang yang walaupun dia OAP (bermukim di Tanah Papua atau di luar Tanah Papua) sangat kurang punya HATI untuk membangun orangnya sendiri dan tanah leluhurnya sendiri tetapi mereka lebih egois (ingat diri): lupa pada orangnya sendiri ketika sudah menduduki jabatan bergengsi di berbagai lembaga eksekutif, legislative, yudikatif dan sektor-sektor swasta lainnya.
Mereka berteriak sangat kerasnya dengan menggunakan alat pengeras suara akan keberpihakan kepada OAP selagi mereka masih belum menduduki jabatan bergengsi penuh kemudahan, bermandikan uang. Tetapi setelah menjabat suatu jabatan bergengsi, justru yang pertama-tama mereka lupakan adalah orangnya sendiri dan tanah leluhurnya sendiri.
Mereka malahan menjadi sangat feodal : minta dilayani bukan melayani, ingin dielu-elukan dan ditandu dan diayubahagiakan saat mengunjungi saudara-sudara di kampung halamannya.
Dalam Buku saya yang terbaru (Penerbit Tolelegi, Maret 2023) di bawah judul :”Konflik Papua: Multi Kepentingan dan Peluang Diadu Domba” pada halaman 16 menulis dan menguraikan lima penyebab kepemimpinan di Papua yang melahirkan ketidakadilan dalam masyarakat di Tanah Papua yaitu: kelemahan intelektual antara lain karena dihasilkan dari lembaga Pendidikan yang tidak bermutu; suburnya praktek korupsi, kolusi, nepotisme dan keserakahan mencaplok sumber-sumber pendapatan rakyat kecil di kampung-kampung serta ketidakberpihakan pada amanat penderiatan rakyat; suburnya semangat hedonism-aji mumpung- suka bersenang-senang di luar Tanah Papua, menghindari dari rakyatnya sendiri dengan banyak alasan yang dibuat masuk akal; memandang tugas yang diembannya bukan sebagai sebuah kesempatan untuk melayani tetapi ingin dilayani dengan semangat feodalisme yang sangat kental -kembali menjajah orangnya sendiri dan yang terakhir adalah begitu cepatnya mempersalahkan orang lain atau institusi lain, ketimbang merefleksikan kepribadiannya dan etos kerjanya sendiri.
Dari uraian sederhana di atas, kita lantas dapat membuat pertanyaan cerdas yaitu: Untuk mendapatkan seorang Penjabat Gubernur Papua, apakah kita buatkan kriterianya dulu – barulah mencari orangnya yang paling tidak mendekati persyaratan itu, ataukah kita cari orangnya dulu (mengandaikan kita sudah punya Jago) – barulah kita pasang kriteria sedemikian rupa sehingga pada akhirnya hanya Jago kita yang adalah orang yang kita gadang-gadang itulah yang akan lolos menjabat Penjabat Gubernur Papua?
Kriteria Universal: Kebaikan dan Belarasa
MENURUT pendapat Penulis, untuk mendapatkan calon penjabat gubernur Papua, sangat penting dan strategis serta elegan apabila kriteria yang kita tempatkan adalah: mencari orang yang BAIK – yang paling tidak punya HATI (berarti punya benih KEPEDULIAN atau belarasa atau solider, setiakawan yang berkecambah di dalam hati sanubarinya). Tidak perlu banyak berdefinisi tentang apa saja yang disebut punya HATI. Cukup satu: KEPEDULIAN bagi sesama.
Untuk itulah, rekam jejak seseorang yang akan kita calonkan itu patut dipelajari, apakah sejak kecil dalam keluarga, di bangku sekolah, di tempat kerjanya, di dalam keluarganya sendiri, orang ini diketahui punya KEPEDULIAN pada orang lain. Setelah itu, barulah kita memasang kriteria sesuai marwah (roh) amanat UU Ototomi Khusus bagi Papua yaitu: Memberikan kesempatan (prioritas, keberpihakan) kepada OAP untuk berperanserta dalam pembangunan tanah leluhurnya dalam bingkai KeNusantaraan!
Sikap PEDULI kepada sesama (tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan golongan) itu, wajib dimiliki SEMUA orang, bukan hanya OAP.
Apalagi jika, orang yang kita calonkan untuk menjadi Penjabat Gubernur Papua itu, adalah dia orang BAIK yang diketahui dari Hatinya yang PEDULI bagi siapa saja dan apalagi orang yang PEDULI bagi sesamanya itu adalah OAP. Tentu lebih “Pas” lagi.
Tidak semua OAP berhati peduli bagi sesamanya terutama orangnya sendiri, sebaliknya ada orang yang bukan OAP justru memiliki Hati yang PEDULI bagi sesamanya termasuk saudara-saudara OAP yang bermukim di tanah Papua dan di luar Tanah Papua.
Dalam mencari bibit terbaik untuk menjadi Penjabat Gubernur Papua, kriteria pertama harus orang yang berHati Baik yang PEDULI kepada orang lain, barulah disusul dia itu adalah OAP.
Buat apa kita berjuang mati-matian memilih orang kita sendiri yang adalah OAP tetapi tidak punya Hati yang PEDULI (belarasa) bagi orangnya sendiri dan Peduli kepada saudara-saudara lain yang bukan OAP yang siang dan malam hidup bersama, berdampingan satu sama lain mengarungi suka-duka hidup di Tanah Papua dan di luar Tanah Papua?
Kebaikan: Kepedulian Universal
Dr.Tahir – seorang Tokoh Bangsa keturunan Tionghoa yang Nasionalis dalam bukunya “I’am Proud of Being Indonesian” yang ditulis Alberthiene Endah mengatakan: “Sebagai seorang warga negara Indonesia berdarah Tionghoa, saya pun pernah hanya terkungkung dalam kotak kecil komunitas sesama etnis, hingga akhirnya saya mendapat pencerahan melalui banyak peristiwa dan melihat dunia sebagai satu dalam filantropi. Saya bersyukur batin ini cukup peka untuk menangkap sinyal ajaran baik dalam peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi dalam hidup, dan kemudian secara inspiratif menggerakkan diri untuk berbuat sesuatu bagi negeri ini, serta akhirnya juga masyarakat dunia.
Saya diubah dan dibangkitkan berkat kebaikan yang pernah saya lihat dan terima. Kebaikan akan mengubah sesuatu jauh yang kita duga”.
Selanjutnya Tahir mengatakan:”Dunia yang diisi banyak perbedaan tak akan lagi terasa tajam jika semangat kebaikan lebih berkuasa dibandingkan semangat perpecahan. Saya pernah menjadi orang miskin dari keluarga miskin.
Hal terbaik yang diajarkan kemiskinan pada saya adalah kepedulian. Sebab saya tahu apa rasanya hidup sebagai orang berkekurangan.
Jika saya tak pernah merasakan pahitnya kemiskinan, barangkali kepekaan saya juga tidak terasah. Bagi orang susah, hal yang paling menghibur Hati adalah sikap Baik orang lain!”
Bagi seorang Tahir, kebaikan dengan lembut mengajari saya untuk memahami nilai yang sangat indah dalam relasi antarsesama manusia: Kepedulian! Ketika KEPEDULIAN ada dan dialirkan, persaudaraan tumbuh dengan sendirinya.
Tahir pun bertanya: ”Jika manusia bisa saling mengalirkan KEBAIKAN, apakah identitas perlu dipertanyakan?”
John F.Kennedy – Presiden AS ke- 35 (1961-1963) saat memerintah Negara AS menunjuk adik kandungnya sendiri Robert F. Kennedy menjadi Jaksa Agung AS dalam pemerintahannya.
Pada satu kesempatan wawancara media, seorang wartawan bertanya kepada Sang Presiden : “Apa pertimbangan Anda sampai mengangkat dan melantik Saudaramu Robert menjabat Jaksa Agung?”
Jawab Presiden: “Saya mengangkat dan melantik Robert menjabat Jaksa Agung AS, pertama-tama karena dia orang Baik-berbelarasa dan kedua, Robert punya kemampuan di bidangnya, dan kebetulan sekali dia adalah Saudaraku!”
Camkanlah dan renungkanlah dengan tenang dan saksama jawaban cerdas Sang Presiden John F.Kennedy ini.
Pertimbangan paling pertama Sang Presiden adalah: Robert adalah orang Baik (memiliki Hati yang Berbuat Baik, Berbela rasa).
Syarat kedua adalah: Robert punya Kemampuan.
Barulah pertimbangan ketiga: KEBETULAN sekali dia adalah juga Saudaraku!
*Peter Tukan: Jurnalis (mulai berkarier sebagai Jurnalis Juni 1983)