TIFFANEWS.CO.ID,– Jurnalisme Damai sebagai sebuah praktik jurnalisme, relevan diterapkan di daerah konflik termasuk Papua. Sebab, jurnalisme yang berangkat dari pelaporan kejadian dengan frame yang lebih luas, berimbang, akurat, serta anti kekerasan itu akan membuka kesempatan bagi masyarakat untuk tidak larut dalam konflik yang berkepanjangan dan dapat mencari solusi kearah perdamaian.
Hal ini dikatakan Jurnalis dan pegiat literasi Papua, Alfonsa Wayap, saat memberi materi “Jurnalisme Damai sebagai alternatif dalam peliputan konflik di Papua” yang dipaparkan dalam pelatihan jurnalistik yang berlangsung di Dosay, Kabupaten Jayapura,Kamis,(10/8).
Kegiatan dihadiri lebih dari 30 peserta—mahasiswa-mahasiswi yang tergabung dalam Pemuda Baptis West Papua Wilayah Tabi.
“Berbicara soal jurnalisme damai ini, biasanya dilakukan oleh orang yang anti kekerasan, karena kekerasan itu selalu saja terjadi akibat salah informasi atau hasutan dari pihak tertentu,” ujar Alfonsa.
Jurnalisme Damai, kata Alfonsa,pertama kali diperkenalkan oleh Johan Galtung, seorang profesor Studi Perdamaian yang juga Direktur Transcend Peace and Development Network pada 1970-an dan selanjutnya dikembangkan oleh Jake Lynch dan Annabel McGoldrick tentang praktik Jurnalisme Damai pada tahun 1990-an
Alfonsa mengatakan, jurnalisme damai lebih menekankan sisi kemanusian yang berbeda dengan jurnalisme perang yang menonjolkan sisi kekerasan.
“Dengan konteks itu, jurnalisme damai penting sekali dilakukan khususnya dalam peliputan di wilayah-wilayah konflik bersenjata di Papua,” tegas Alfonsa.
Dalam wilayah konflik, kata Alfonsa, peliputan jurnalisme damai menghendaki pelaporan kejadian dengan frame yang lebih luas.
Meliput di wilayah konflik, sebaiknya peliput juga harus bisa melihat konflik secara menyeluruh dan menggali proses terjadinya konflik.
Dalam meliput konteks liputan Jurnalisme Damai, peliput wajib menentukan sudut padangan liputan di luar dari konflik. Misalnya, menyoroti sisi lain korban konflik yang adalah warga sipil dimana hak-haknya diabaikan.
Dia mencontohkan, peliputan peliputan konflik di Papua mestinya tidak hanya pada masalah sosial politik (Sipol), tapi juga ada soal ekonomi-sosial dan budaya.
“Di Papua bukan saja soal Sipol, masih banyak isu liputan lain soal Ekosob dan lainnya,” terangnya.
Alfonsa mengatakan, ada hubungan antara kekerasan dengan pemberitaan, karena konflik dieksploitasi hanya untuk menaikan reting pemberitaan media atau agar media laku terjual.
“Tanpa disadari, pemberitaan itu telah mendiskreditkan satu golongan,” tutur Alfonsa.
Alfonsa menegaskan, karya-karya jurnalistik yang terus menyoroti kekerasan juga bisa berdampak pada trauma bagi pembaca dan terlebih korban dan keluarganya serta menjadi trauma kolektif.
Selain itu, akibat lain dari liputan konflik dan kekerasan yakni munculnya kejenuhan akan sajian informasi yang melulu kekerasan dan konflik yang berkepanjangan.
”Disitulah pentingnya liputan investigasi jurnalisme damai. Kedepan, karya-karya jurnalisme damai merupakan alternatif pilihan masyarakat,” ujarnya.
Alfonsa memberi apresiasi kepada peserta yang hadir dan mau belajar tentang jurnalisme damai, karena dapat dipraktikan di masa depan terkait isu-isu konflik.
“Jurnalisme damai merupakan kebutuhan hari ini dan kedepan yang harus dilakukan generasi Baptis yang ikut pelatihan ini,”katanya.
Sebagai pegiat literasi, dia mengingatkan kepada peserta supaya lebih banyak meluangkan waktu dalam kegiatan literasi yakni membaca dan menulis.
“Sebab untuk bisa menulis dengan baik, peserta harus memperbanyak membaca. Entah itu buku, koran atau tulisan di media daring. Literasi perlu terus dikembangkan, jangan hanya sampai di pelatihan ini saja tetapi melek literasi,” paparnya.
Sementara terkait jurnalistik, kepada peserta dia mengatakan, pertama adalah pentingnya mengenal diri sendiri. Selanjutnya fokus belajar terkait kaidah jurnalistik ber-Jurnalistik serta mempelajari berita foto.
“Keduanya erat kaitannya dengan lieterasi –melatih ketajaman pengamatan, menulis dan membaca,”ujarnya.
“Pemuda jadilah agen perdamaian di mana saja Anda tinggal dan belajar. Isilah waktu selama berkuliah di kota studi, Jayapura. Caranya, terus melatih diri dengan berliterasi,” pesannya di akhir presentasi.
Sementara itu, Naomi dan Boni mewakili perserta mengaku mendapatkan pengetahuan baru melalui pelatihan ini i yaitu tentang Jurnalisme Damai.
Menurut keduanya, selama ini yang sering diketahui hanya seputar jurnalistik atau jurnalisme, saja. Setelah mendapat pemaparan dari pemateri, baru mengerti tentang jurnalisme damai.
Demikian juga soal pentingnya literasi dan pemahaman konten jurnalisme damai yang dipaparkan, menurut keduanya akan sangat membantu peliputan.
Dari pemaparan materi jurnalisme damai hingga materi tentang berita foto menjadi pembelajaran yang baik dan menarik.
“Benar, dengan melihat berita foto kekerasan dalam konflik, akan membentuk opini buruk dalam ingatan kami. Dengan cara lain melalui jurnalisme damai ini, kami rasa penting,karena, kami berada di daerah konflik,”
Ketua Pemuda Baptis Wilayah Tabi, Patinus R. Wenda kepada media ini, mengatakan, materi dari yang dibawakan Alfonsa yang juga sorang jurnalis Perempuan Papua sangat menarik.
”Kami mengapresiasi telah meluangkan waktu bersama kesederhanaan kami. Dia telah berbagi ilmu kepada generasi muda Baptis di Tanah Tabi. Dengan muatan materi Jurnalistik Perdamaian. Materi ini telah membuka wawasan peserta. Sebab, sudah lama sekali, kami telah dibangun dengan konstruksi informasi pemberitaan yang ekstrim. Kami terus-menerus mengonsumsi itu dan sampai pada pembentukan cara pandang kami generasi muda. Maka, Jurnalisme Perdamiaan secara jujur dengan tenang, itu yang diharapkan pembaca,”kesannya. []AJW