Oleh: Peter Tukan
UNDANG -Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Provinsi Papua, pada Pasal 12 menyatakan bahwa yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat (a) orang asli Papua; (b) …dstnya.
Pada seluruh pasal dalam UU Otsus tersebut (juga pada UU dan Peraturan lainnya), kita belum (tidak) pernah menemukan ketentuan yang menyatakan bahwa Penjabat Gubernur adalah (Harus) Orang Asli Papua. Dengan demikian, hanya Gubernur dan Wakil Gubernur sajalah yang adalah Orang Asli Papua, sedangkan yang menjabat sebagai Penjabat Gubernur tidak harus Orang Asli Papua.
Itu juga berarti bahwa, Penjabat Gubernur dapat (boleh) saja (tidak Harus) berasal dari Orang Asli Papua atau dapat pula dari yang bukan asli Papua. Tidak ada kewajiban hukum apapun yang mengharuskan (harga mati ) Penjabat Gubernur adalah Orang Asli Papua.
Pada Rabu (9/8) lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) menyerahkan tiga nama calon Penjabat (Pj) Gubernur Papua ke Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Ditjen Otda) Kemendagri di Jakarta.
“Adapun tiga nama calon Pj Gubernur Papua yang diserahkan DPR Papua ke Dirjen Otda yaitu Antonius Ayorbaba, Ridwan Rumasukun dan Juliana Waromi,” kata Ketua DPRP Jhony Banua Rouw kepada wartawan salah satu media online pada Kamis (10/8) lalu.
Jika kita mencermati tiga nama yang diusulkan DPRP untuk menjadi calon Penjabat Gubernur Papua untuk diangkat dan dilantik menjadi Penjabat Gubernur usai masa jabatan Gubernur Lukas Enembe (5 September 2023) nanti maka, di sini menjadi sangat jelas, bahwa pihak DPRP sendiri telah benar-benar memahami dan menaati amanat UU dan peraturan lainnya yang berlaku di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (dimana Papua adalah bagian integral dari NKRI) yaitu bahwa calon Penjabat Gubernur di Tanah Papua tidak wajib (tidak harus) semuanya adalah OAP.
Dari tiga nama tersebut, dua orang calon atas nama Antonius Ayorbaba dan Juliana Waromi adalah Orang Asli Papua, sedangkan Ridwan Rumasukun adalah bukan Orang Asli Papua.
Syukur-syukur, Presiden nantinya mengangkat salah satu dari dua putra/putri terbaik Orang Asli Papua yaitu: atau Antonius atau Juliana untuk menjadi Penjabat Gubernur Papua.
Tetapi, apabila keputusan dan kepercayaan Negara itu pada akhirnya jatuh ke atas pundak Ridwan Rumasukun yang nota bene bukan OAP—yang saat ini menjabat Plt Gubernur Papua – maka, dengan kebesaran Hati, dengan sikap “jantan berpolitik” – dengan kepala tegak sembari menengadah ke langit biru, secara sendiri-sendiri ataupun secara berjemaah, kita menerima keputusan politik tersebut sambil berseru dengan suara lantang: “Syukur bagiMu, Tuhan – Halleluya – Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku (Yes.55:8-9)!” atau kita berseru: “Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin – Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam!” –
Nah…, untuk itulah semua pihak dimana pun berada, pada jauh-jauh hari sudah harus dapat mempersiapkan batin (Hati), yaitu apabila pada waktunya yang tepat, Presiden RI Joko Widodo memutuskan dan melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian melantik calon Pj Gubernur Papua atas nama Ridwan Rumasukun yang bukan OAP untuk menjadi Penjabat Gubernur Papua maka,kiranya kita tidak sampai mengalami tekanan batin yang kronis, kekecewaan yang tragis, putus asa-penuh emosi hingga melahirkan “gerakan tambahan”.
Apabila karena kecewa, kita akhirnya melakukan “gerakan tambahan” maka seluruh proses pembangunan Provinsi Papua (induk) menuju cita-cita nan mulai dan mimpi indah kita bersama selama ini yaitu terciptanya masyarakat di Tanah Papua yang “Maju – Mandiri – Sejahtera- Berkeadilan akan buyar dalam sekejap.
Pembelajaran Berpolitik
Gonjang-ganjing pernyataan sikap, usul-mengusul, penyampaian aspirasi, surat-menyurat seputar pencalonan tokoh tertentu untuk menjadi penjabat gubernur Papua sudah berlangsung sekitar enam bulan terakhir ini. Inilah yang orang sebut “dinamika berpolitik”. Banyak pihak dengan secara tegas-terbuka, transparan meneriakkan “calon penjabat gubernur harus orang asli Papua!”. Pokoknya, Harga mati, harus dari OAP. Tidak ada tawar-menawar, harus OAP karena zaman ini adalah zaman keemasan Otsus untuk Provinsi Papua.
Tetapi, pada saat yang sama juga, tida sedikit orang mengambil posisi “berdiam diri – sambil memantau jalannya dinamika dan arus politik” itu. Orang yang mengambil posisi “diam yang aktif” itu, sepertinya sangat memahami bahwa “Berpolitik praktis itu, tidak boleh mengedepankan kata Harga Mati, dan tidak boleh berprinsip: pokoknya……..pokoknya….. Harus dan Harus!”.
Apabila UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otsus untuk Provinsi Papua menyatakan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Orang Asli Papua (OAP) maka wajib hukumnya kita perjuangkan. Mengapa? Karena memang, UU menghendakinya.
Namun sebaliknya, apabila tidak ada satupun UU atau Peraturan lainnya menyatakan bahwa Penjabat Gubernur Papua adalah OAP maka, yang harus kita lakukan (jika ingin agar Penjabat Gubernur dari OAP) adalah : Kompromi, negosiasi, dialog, bicara dari hati ke hati, bermusyawarah, pendekatan yang penuh hikmah-kebijaksanaan. Bukan sebaliknya yaitu, mengharuskan dan bukan pula memaksakan kehendak.
Bagaimana pun juga, berpolitik itu adalah seni meraih kekuasaan untuk mewujudkan kebaikan bersama (bonum commune). Politik itu adalah kepentingan– Tidak ada kawan abadi dan tidak ada pula musuh abadi. Yang abadi adalah kepentingan bagi kesejahteraan/ kebaikan banyak orang!
Jangan sampai, para politisi kita terkesan memandang desentralisasi dan otonomisasi lebih-lebih (terutama atau melulu) sebagai bagi-bagi kekuasaan (power sharing). Jika ini yang terjadi, maka tidak terelakkan akan terjadi persaingan rebut-rebutan kursi Penjabat Gubernur di Papua yang ditempuh dengan cara-cara yang tidak jujur, memaksakan kehendak, tidak demokratis – menabrak rambu-rambu UU dan Peraturan yang berlaku.
Dinamika penyampaian aspirasi dari banyak pihak yang diarahkan kepada salah satu calon penjabat gubernur Papua untuk diangkat dan dilantik menjadi Penjabat Gubernur Papua kiranya ditempuh dengan cara tidak memaksakan kehendak, tidak mengedepankan kata “Harus” OAP. Mengapa? Karena belum ada UU atau Peraturan manapun juga yang mengamanatkan Penjabat Gubernur Papua adalah (harus) OAP.
Bagaimanapun juga, pengalaman berpolitik selama ini telah membuktikan bahwa apabila suatu perjuangan politik mengedepankan kata “harus” alias “Harga mati” maka perjuangan tersebut akan menjadi bagaikan “bayang-bayang manusia – semakin dikejar – semakin menjauh!
Sebaliknya, pengalaman selama ini pun telah membuktikan bahwa sebuah perjuangan politik kekuasaan (seperti merebut jabatan Penjabat Gubernur) diperjuangkan dengan cara kompromi, negosiasi-tawar menawar, dialog atau musyawarah-mufakat – tanpa mengedepankan kata Harus dan memaksakan kehendak – maka perjuangan tersebut akan meraih kesuksesan besar.
Oleh karena itu, dalam rangka perjuangan merebut kursi kekuasaan politik, pandai-pandailah kita memanfaatkan momentum politik yang tepat yaitu: kapan kita memanfaatkan kata “Harus” (harga mati) dan kapan pula kita memanfaatkan kata “kompromi- dialog- negosiasi atau tawar menawar politik dan musyawarah menuju permufakatan” demi bonum commune.
Kita pun lantas menyadari bersama bahwa untuk mendapatkan gubernur dan wakil gubernur Papua sesuai amanat UU Otsus, kita tidak mungkin bisa melakukan negosiasi- tawar menawar politik antara: dari OAP atau bukan dari OAP. Mengapa tidak bisa? karena memang UU Otsus telah menghendaki (mengharuskan) agar gubernur dan wakil gubernur adalah dari Orang Asli Papua.
Sedangkan dalam hal perjuangan politik merebut kursi Penjabat Gubernur, semangat yang kita kedepankan bukanlah semangat Pasal 12 UU Otsus itu tetapi, yang dikedapankan adalah semangat: negosiasi,tawar menawar politik, kompromi, musyawarah-mufakat.
Dugaan Penulis terkait perjuangan sekelompok orang selema ini untuk merebut kursi Penjabat Gubernur Papua, mereka terlalu fanatik menggunakan kata “Harus” alias harga mati”; padahal terkait kursi Penjabat Gubernur Papua itu sendiri, semangat yang harus dikedepankan adalah “kompromi, negosiasi dan musyawarah”.
Jika sejak awal memperjuangakan kursi Penjabat Gubernur Papua, kita tidak memaksakan kehendak dan tidak menggunakan kata “Harus” maka mungkin saja, pada hari ini yang kita dapatkan adalah seorang Penjabat Gubernur Papua yang memang dari OAP juga, walaupun hanya UU Otsus saja yang memungkinkan kursi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah dari OAP.
Dalam konteks perjuangan merebut kursi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua sesuai amanat Otsus, kiranya semangat yang dikedapankan adalah: Persatuan (kita harus Bersatu). Sedangkan dalam konteks perjuangan merebut kursi Penjabat Gubernur Papua (yang bukan berdasarkan amanat Pasal 12 UU Otsus Tahun 2001), semangat yang dikedepankan adalah: Kebebasan (berikanlah kebebasan kepada siapa saja untuk mengajukan calon Penjabat Gubernur dari banyak kalangan tanpa harus dari OAP dan berikanlah kebebasan kepada Pemerintah Pusat untuk memilih, memutuskan dan melantik siapa saja tanpa harus dari OAP) .
Namun, patut diingat bahwa di dalam segala-galanya itu, kita harus tetap saling Mengasihi satu sama lain sebagai Saudara dalam kebersamaan se-Bangsa dan se-Tanah Air Indonesia.
Pada akhirnya, kita semua memiliki kewajiban moril untuk terus menerus dengan tekun menenun benang-benang “Kebersamaan”, menjaga, memelihara dan melestarikan pilar-pilar “Persatuan dan Kesatuan”di Tanah Papua dalam bingkai Kenusantaraan.
“Coming together is beginning…. Keeping together is progress… Working together is success = Bersama-sama adalah suatu awal…. Tetap bersama adalah kemajuan… Bekerja sama adalah sukses!”(Anonymous)
Selamat Datang Penjabat Gubernur Papua. Oh…. Ternyata, Dialah orangnya. Wajah baru – muka lama. Ternyata, kita masih sebagai Saudara Sebangsa dan Setanah air Indonesia!
*Peter Tukan: Wartawan