TIFFANEWS.CO.ID,- Tabloid Suara Perempuan Papua (suaraperempuanpapua.id) berkolaborasi dengan Peace Literacy Institute Indonesia (PLII) menggelar pelatihan “Literasi Jurnalisme,” di Aula Susteran Maranatha Waena, Jumat,(8/9).
Pelatihan ini diikuti 18 peserta dari beberapa organisasi diantaranya Pemuda Katolik, Suara Grime Nawa (Suara Grina), Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) Uncen, Jayapura Post, Pemuda Baptis, SMA YPPK Taruna Dharma Kota Raja, Ikatan Pemuda Pegunungan Bintang, dan komunitas SaCode (bidang IT).
Kegiatan dipandu penulis, dan penggagas literasi Komunitas Sastra Papua (Ko’SaPa) Iriandi (Andi)Tagihuma, dan jurnalis suaraperempuanpapua.id Alfonsa Wayap.
Diawal kegiatan, Alfonsa yang juga pegiat literasi ini menjelaskan latar belakang digelarnya pelatihan ini.
“Kami merasa penting. Sebab perkembangan media daring (online) hari ini dan ke depan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pola interaksi sosial berjejariang,” kata Alfonsa.
Menurutnya, perkembangan teknologi 4.0 hingga 0.5, membawa generasi muda untuk cenderung menggampangkan segala sesuatu.
Kadang tidak disadari informasi yang disebarluaskan ke publik melalui media sosial, justru tidak akurat dan memicu konflik di tengah masyarakat.
“Maka, kami perlu membuat kelas ini,” kata Alfonsa.
Selanjutnya materi pertama disampaikan Andi tentang isu pendidikan, ekonomi dan politik. Tiga topik itu yang kemudian dikembangkan peserta.
Andi Tagihuma mengatakan generasi muda harus meluangkan waktu untuk membaca perubahan sosial, termasuk perubahan di Papua dengan pemekaran provinsi.
”Kalian harus punya kepekaan dalam melihat secara kritis dan mengikuti dinamika tatanan sosial dan perkembangan modernisasi,” kata Andi.
Menurut Andi, jangan menjadi pemuda yang apatis tetapi jadilah pemuda yang kritis.
“Tetap kritis yang dimaksud harus banyak menulis juga membaca. Sebab, menulis membutuhkan alur tulisan yang logis. Bukan asal tulis,” kata Andi.
Menjawab pertanyaan peserta, kapan saat yang baik untuk menulis, Andi mengatakan dirinya menulis saat pikirannya terganggu.
“Menulis itu seketika pikirannya terganggu. Ketika seseorang melihat sesuatu dan merasakan, nah, disaat itulah pikirannya bekerja,” katanya.
Menurut Andi, untuk bisa menulis yang baik harus rutin melatih diri. Menulis kreatif adalah menggunakan akal budi dan pikiran untuk menanggapi permasalahan melaluhi tulisan.
“Menulis harus berbasis data yang diambil dari tema peristiwa.”ujarnya.
Alfonsa dalam sesi kedua pelatihan ini langsung meminta peserta melakukan praktek menulis, selanjutnya tulisan itu pun dikoreksi.
“Ini kelas menulis bukan seminar yang hanya mendengar lalu pulang. Saya minta peserta menulis dan membawa tulisan itu saat pelatihan dan saya koreksi. Itu menjadi catatan dalam penyampaian materi saya,” ujarnya.
Orpa Novita Yoshua (Suara Grina) dan Anton Berkasa (Guru di SMA YPPK Taruna Dharma, Kota Raja) mengatakan pelatihan seperti ini, merupakan bagian dari pengembangan diri.
“Mungkin dari antara kami ke depan ada yang berminat menjadi jurnalis. Atau setidaknya, kami bisa menerapkan literasi dan lebih fokus membenahi diri kami dalam berliterasi,”ungkap Orpa.
“Kami berharap, pelatihan ini terus berlanjut,” ujar Anton.
Diakhir kelas, Alfonsa memberikan 14 buku, diantarnya, “Perjalanan Jurnalistik dari Kampung ke Kampung Jilid I dan II (2012). Alfonsa terlibat dalam penulisan buku perjalanan jurnalistik. Dan buku-buku lainnya, “Memberdayakan Orang Papua(2004-2005) di cetak TSPP “The Papua Way (2011).” [] AJW