Oleh : Pares L. Wenda
Proses pemilu dilakukan setiap lima tahunan telah usahi yang kemudian akan dikuti dengan proses hukum perlu juga dipahami dalam konteks otonomi khusus Papua, dalam kaitannya dengan partisipasi OPA (orang Papua Asli) di setiap tingkatan yaitu dari DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota se Indonesia. Sementara ini sudah dan akan memasuki proses tahapan gugatan hukum, dan telah kita ikuti bersama proses gugatan Pilpres dan setelah selesai lebaran dan arus mudik lebaran bangsa ini akan memasuki proses gugatan PHPU legislatif di Mahkamah Konstitusi.
Dalam tulisan ini ada tiga hal penting yang akan diulas. Pertama proses demokrasi telah usai, dimana setiap warga negara telah menyalurkan hak pilih bagi calon anggota dewan dan juga pemilihan presiden. Apa yang dirasakan politisi atau para kontestan pemilu legislatif perlu diulas agar menjadi catatan penting bagi pemilu-pemilu yang akan datang. Kedua PHPU legislatif ke MK, ibarat semua pemain dan pelatih, jadi siapa mau gugat siapa atau siapa mau salahkan siapa? Ketiga, diskriminasi positif pileg dalam konteks UU No. 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua?
Pemilu 14 Februari 2024
Proses demokrasi sudah dilaksanakan pada 14 Februari 2024, hasilnya seluruh politisi tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota menempatkan pemilu kali ini terburuk dari pemilu-pemilu sebelumnya. Bagaimana dapat disimpulkan bahwa pemilu kali ini yang terburuk? Diduga kuat bahwa money politik di semua tingkatan atau semua level mendominasi proses demokrasi itu sendiri. Hak kesulungan warga masyarakat telah dijual dengan “kacang merah alias uang”, masyarakat telah melupakan siapa dirinya dan suaranya diberikan atau coblos siapa? Mereka telah lupa diri, ketika uang Rp. 200.000,- – Rp. 500.000,- ribu hinggap ditangan mereka bagai disulap. Pada saat yang sama mereka telah melupakan kontribusi secara individu, partai politik, dan sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kab/Kota dalam 4 (lima) tahun membangun masyarakat di lingkungan mereka atau dalam merawat konstituen.
Mereka (masyarakat) seperti dihipnotis mengikuti apa yang dimaui pemberi uang dan melawan hati Nurani, lalu melupakan seseorang yang berbudi luhur yang telah bertahun-tahun hidup berkontribusi bagi mereka. Sampai ada kata “saya kurang apa bagi mereka”. Semua itu dilakukan dalam upaya merawat basis konstituen. Tapi sia-sialah semua itu, cinta bersemi demi uang. Ada yang bilang ini lumrah terjadi dimana-mana disaat momentum politik, membuktikan bahwa partisipasi pemilih akhirnya tidak terjadi secara jujur, adil dan bebas dari money politik. Secara bersama-sama telah mengkhianati dan melanggar amanat Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 serta perundangan-undangan yang berlaku dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Proses demokrasi akhirnya tidak terjadi amanat pada sila kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab tak terpenuhi. Misalnya setiap warga negera memang berhak dihormati hak-hak dasar dan setiap warga negara tanpa memandang jenis kelamin, suku dan bangsanya berhak dicalonkan dan mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Pada saat yang sama ada rambu-rambu lalulintas pelaksanaan demokrasi dalam pemilu tidak dihormati oleh para kontestan maupun dalam partisipasi warga cenderung lebih mengutamakan pemberi dana dan melupakan warga negara yang selama ini bersama-sama saling membangun dan saling memperhatikan justru pemilik modal seperti harimau dan singa menerkam domba yang tulus dan berbudi luhur. Dimana domba ini secara tulus hadir pada saat susah bagi warga masyarakat, dengan harapan saat pileg caleg dapat suara dasar.
Dalam konteks Papua, masyarakat Papua bukan memilih OPA yang nyaleg, tetapi OPA memilih caleg yang bukan OPA pada 14 Februari 2024 yang lalu. Ada dua alasan yang diduga kuat menjadi dasar utama. Pertama, OPA memilih yang lain karena telah mempunyai hubungan baik sebelumnya dengan caleg yang bukan OPA. Kedua, kecendurungan karena pada hari H mereka (OPA) dapat uang dari pemodal utama sebagai caleg, sehingga OPA yang nyaleg justru tidak mendapat akses suara ke DPR, DPRD Provinsi dan Kab/Kota. Memang miris sekali tetapi itulah fakta di lapangan.
Kondisi di atas itu bisa terjadi, dalam pengamatan penulis memang tidak terjadi pembangunan politik dan pendidikan politik selama ini sebaliknya Pendidikan politik money politiklah yang justru terjadi, puncaknya kita rasakan dalam pemilu 2024. Artinya apakah penyelenggara salah dalam hal ini? Jawabannya tidak, justri masyarakat kita teredukasi dengan sistem maney politik. Jadi apakah proses pemilu dievaluasi? Ya perlu dievaluasi. diharapkan ke depan hendaknya partai politik melaksanakan amanat konsitusi dan peundang-undangan yang berlaku. Di negara kita dalam kerangka menjadikan Pancasila, UUD 1945, dan perundang-undangan yang berlaku sebagai panglima pada saat yang sama memperkuat kebinekaan sebagai sesama anak bangsa. Dan tetap menghormati hak-hak dasar warga negara di setiap daerah yang berentitas khusus.
Setidaknya kita wajib mengimplementasikan amanat Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Pemilihan umum dimaksud diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap orang Warga Negara Indonesia terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga, ke daerah.
Dengan demikian dalam konteks Papua beberapa daerah di Papua keterwakilan OPA (orang Papua Asli) justru tidak terpilih malah menjadi minoritas. Keterwakilan beberapa suku-suku tertentu mendominasi kursi DPRD Provinsi dan Kab/Kota di Papua, artinya apa? UU No.02 Tahun 2021 tentang otsus Papua sebagai implementasi UUD 1945 Pasal 18B ayat 1: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Ayat 2: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Amanat
Selanjutnya dalam konteks kepemiluan dan partai politik dalam konteks UU Otsus Papua No.02 Tahun 2021 Pasal 28 ayat 1 dan ayat 2 dihapus namun pada ayat (3) menyatakan bahwa “Rekrutmen politik oleh partai politik di provinsi dan kabupaten/kota di wilayah Papua dilakukan dengan memprioritaskan Orang Asli Papua”. Dan ayat (4) menjelaskan bahwa “Partai politik dapat meminta pertimbangan dan/atau konsultasi kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing.
Perintah ayat (4) justru tidak terjadi karenanya rekrutment OPA di dalam partai politik tidak seimbang dan (ayat 3) pun tidak terlaksana khususnya di kota-kota besar di Papua, karena itu tidak heran postur anggota DPRD kabupaten/kota, dengan sendirinya OPA tersingkir dari panggung politik pileg 2024. Setidaknya apa yang terjadi kali ini tidak jauh berbeda dengan hasil pileg 2019. Contoh nyata hasil pileg 2024 dimana mantan bupati Merauke John Gluba Gepze ikut turun demo mempertanyakan hak-hak OPA Merauke yang kurang banyak terakomodir. Kalau disandingkan dengan kajian LIPI maka OPA seharusnya diakomodir lebih banyak sebagai bentuk pengakuan, dan diskriminasi positif dan diberikan akses untuk duduk di DPRD postur DPRD ini menunjukkan bahwa OPA tersingkir dari hak-hak politiknya.
Meskipun hak-hak OPA juga diatur melalui kursi pengangkatan, yang mana secara spesifik diatur pada PP 106 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua pasal 32 hingga pasal 57 tentang kursi pengangkatan anggota DPRP dan DPRK. Dalam konteks ini kursi pengangkatan DPRK harus diduduki oleh seluruh OPA di suatu kabupaten/kota, namun harus ada perkecualian, misalnya di Kota Jayapura dan Kabupaten Merauke setidaknya harus diisi oleh OPA asli Port Numbay dan OPA asli Merauke tanpa harus berbagi dengan OPA lain, mengapa? Karena diatas jumlah mereka di DPRK sangat minim, kurang labih 1% orang Port Numbay yang duduk sebagai hasil pemilu 2024 dari 35 kursi DPRK kota Jayapura. Dengan demikian supaya ada wajah OPA Port Numbay maka kursi DPRK menurut hemat saya, hendaknya ada pengecualian dimana kursi pengangkatan wajib dan untuk seluruhnya diisi oleh OPA Port Numbay.
PHPU Legislative ke MK dan Diskriminasi Positif bagi OPA
Lagu Nona Ovalia mungkin cocok dalam konteks kontestan pemilu yang ke MK. Lagu Ovalia dengan judul kamu pemain, aku pelatih mungkin cocok bagi semua caleg yang melaju ke MK dengan tujuan merebut keadilan dalam konteks hasil pemilu 2024. Siapa mau salahkan atau benarkan siapa, karena semua pemain lapangan atau semua pelatih proses politik dalam kerangka merebut kursi Presiden, DPR, DPRD. Waktu saya masih sebagai seorang yang bukan politisi dan bergabung dalam politik pada tahun 2013, dan hasil pemigub Papua tahun 2013 saya dokumentasikan dalam buku dengan judul pilgub Papua tahun 2013 tidak demokratis.
Dalam buku tersebut saya menyimpulkan bahwa baik pemenang politik dan kalah politik adalah korban dari system politik yang konstruksinya terbangun pada waktu itu, setelah saya bergabung dalam politik sistemnya sudah sangat berubah dengan peraturan perundang-undangan yang telah mengalami banyak perubahan. Tetapi karakter masyarakat dan kontestan pemilu belum banyak yang berubah.
Dalam konteks Papua, jika ada saudara Papua yang dapat kursi dengan system pemilu dan hasil yang sudah ditetapkan KPU, hendaknya diterima karena dia yang ditetapkan sebagai pemenang adalah hasil atau produk dari system pemilu dan juga dijamin dalam UU otonomi khusus pasal 28 ayat (3) dan ayat (4). Dalam konteks ini baik hasil pemilu di wilayah mayoritas OPA atau juga di perkotaan. Sebaliknya diharapkan agar ada OPA yang telah mendapatkan kursi di wilayah mayoritas nonPapua yang merebut kursi baik OPA maupun non OPA wajib mengapresiasi dan jangan digugat ke MK. Inilah yang disebut proteksi, perlindungan, dan diskriminasi positif bagi OPA yang terus menjadi minoritas di wilayahnya atau di kotanya.
Sangat miris juga kalau ada non OPA yang menggugat OPA, itu sudah keterlaluan. Biarkan keterwakilan suku maupun keterwakilan OPA hendaknya ada di kursi DPR dan DPRD, dimana OPA itu berkedudukan, sekalipun dia berasa dari daerah Papua lainnya.
Rekomendasi
- Pemerintah, Partai politik, KPU, Bawaslu dan seluruh perangkat penyelenggara pemilihan umum Presiden, DPD, DPR, DPRD Provinsi, Kab/Kota dalam jangka Panjang khusus dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada agar memperhatikan kekhususan Papua, setidaknya peringatan dini dalam rekrutmen OPA pada semua parpol sebagai caleg memperhatikannya, paling tidak revisi otsus pada pasal 28 ayat 4 dan 5. Penegasan disemua tingkatan pemilu di pusat dan di daerah OPA 80% dan nonPapua 20% dapat di revisi dan pada 2029 dilaksanakan. Sederhananya lembaga ini walaupun Lembaga pemerintah harus dipandang sebagai Lembaga hak kesulungan OPA
- Pendidikan politik dan pembangunan politik terhadap OPA dan nonPapua yang ada di seluruh Papua harus dibangun suatu pemahaman mendasar di semua level, agar kekhususan dan hak politik OPA harus mengakar ke bawah. Siapa yang harus melakukan itu? Pertama tentu saja Pemerintah, Pemerintah Daerah, DPD, DPR, DPRD, terutama tokoh-tokoh kunci disetiap lingkungan masyarakat, wajib memberikan kontribusi pemikiran yang konstruktif dan edukatif. Pendidikan semacama apa yang diharapkan tentang hak-hak dasar OPA dan non OPA dalam konteks Papua? Tentu secara etika dan moral bangsa dan ketaatan kepad Tuhan dan hukum, Pendidikan ploitik hendaknya mengacu pada UU Otsus No. 21 Tahun 2001 dan UU Otsus No.2 Tahun 2021.
- Jangan ada Partai Politik yang mengganggu kursi yang sudah diperoleh OPA tempatkan itu dalam konteks diskriminasi positif dalam kerangka otsus Papua.
- Sesama OPA jangan saling menggugat di MK, dan nonPapua jangan menggugat OPA di MK, tempatkan itu sebagai hasil dari kita, oleh kita, dan untuk kita dalam konteks Otsus Papua yang diperoleh sesuai dengan sistem politik dan cara penyelenggaraan di setiap daerah.
- Dalam sistem setelah reformasi maupun sebelum reformasi money politik sudah lumrah terjadi baik hasil pemilu yang dihasilkan DPR dan Presiden yang juga merujuk ke DPRD di masa orde baru maupun hasil pemilu langsung saat ini sesuai amanat konstitusi kita, sehingga yang diperlukan adalah kekuatan penyelenggara yang harus diperbaharui setiap 5 tahun sekali agar setiap orang yang ambil tanggungjawab sebagai penyelenggara dilaksanakan dengan baik dan tertip sesuai amanat konstitusi UUD 1945 Pasal 22E ayat (6).
- Semua pelatih dan pemain politik, sehingga sangat tidak etis kalau pelatih dan pemain saling menggugat, sehingga yang paling mungkin adalah dipikirkan untuk perbaikan di masa depan dalam sistem pemilu kita. Kecuali setiap parpol bersih dari cara-cara bermain politik di dearah namun fakta bahwa kita selalu cari celah hukum untuk meloloskan keinginan kita bahwa kita semua bermain untuk merebut suara. Karena itu disimpulkan siapa mau salahkan siapa???
- Semua gugatan ke MK dipertimbangkan baik oleh MK karena pilkada tidak lama lagi akan kita selenggarakan pada bulan November 2024, artinya setelah Gugatan Pilpres Pemerintah dan Pemerintah daerah akan segera siapkan tahapan Pilkada Gubernur dan Wakil Gubenur, Bupatis/Walikota dan Wakil Bupatis/Wakil Walikota. Kita butuh energi, biaya, waktu untuk tahapan persiapan penyelenggaraan Pilkada.
Penulis adalah pemerhati social politik dan mantan Caleg DPRD Kota Jayapura dari Partai NasDem.