TIFFANEWS.CO.ID – Ketua KNPI Kabupaten Boven Digoel sekaligus Tokoh Pemuda Papua Selatan, Marthen Luter Wambarop, mengkritik keras pasangan calon (Paslon) gubernur dan wakil gubernur Papua Selatan nomor urut 1. Marthen menilai bahwa pernyataan mereka dalam sengketa Pilkada terkesan diskriminatif, berpotensi memecah belah masyarakat, dan bahkan mengandung unsur misogini (rasa benci kepada perempuan).
Ketua KNPI Boven Digoel ini menegaskan bahwa pembentukan Provinsi Papua Selatan bertujuan untuk menciptakan kesetaraan dan kesejahteraan bagi semua masyarakat. Oleh karena itu, tidak boleh ada pihak yang mengklaim kepemimpinan secara sepihak atau menggunakan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) demi kepentingan politik.
“Paslon nomor 1 seharusnya lebih berhati-hati dalam berargumen, mengingat mereka adalah figur publik. Jangan sampai pernyataan mereka justru terkesan misoginis dan merendahkan perempuan Papua. Setiap rahim perempuan Papua harus dihormati, baik di ruang privat maupun publik,” tegas Marthen kepada wartawan, Kamis (30/1/2025) melalui telepon seluler.
Ia juga mengingatkan bahwa berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua, tidak boleh ada diskriminasi, baik terhadap sesama Orang Asli Papua (OAP) maupun terhadap perempuan. Definisi OAP sendiri sudah jelas, yaitu mereka yang berasal dari rumpun ras Melanesia atau diakui oleh masyarakat adat Papua, yang secara genealogis dan patrilineal tidak perlu diperdebatkan lagi.
Lebih lanjut, Marthen mengkritisi sikap Paslon nomor 1 yang seolah mempertanyakan asal-usul dan identitas masyarakat Papua Selatan berdasarkan suku, ras, dan agama. Ia menilai, cara tersebut hanya menciptakan perpecahan di tengah masyarakat yang seharusnya bersatu membangun provinsi baru ini.
Berdasarkan hasil pemungutan suara, Paslon nomor 1 mendapatkan 49.000 suara sah. Namun, Marthen mempertanyakan berapa banyak di antaranya yang berasal dari perempuan dan masyarakat non-Papua yang tetap mendukung mereka, mengingat narasi yang mereka bangun justru memperkuat sentimen diskriminatif.
“Isu SARA yang digunakan dalam politik semacam ini sering kali menjadi senjata oleh publik figur untuk kepentingan pribadi. Ini adalah api dalam sekam yang jika dibiarkan, bisa merusak persatuan masyarakat Papua Selatan,” pungkasnya.
Marthen mengingatkan agar otonomi khusus tidak dijadikan alat untuk menebar kebencian dan perpecahan. Ia meminta masyarakat Papua Selatan untuk waspada terhadap narasi politik yang tidak sehat dan justru menghambat kemajuan daerah. (Ron)