TIFFANEWS.CO.ID,- Sambut ulang tahun ke 90 Tarekat Congregatio Imitationis Jesu (CIJ) atau sering dikenal dengan sebutan Kongregasi Pengikut Kristus, digelar diskusi dan bedah buku bertemakan “ Tindakan Profetik dalam Aktualisasi Misi , Refleksi 90 CIJ”. Diskusi digelar di Jakarta, Jumat 28 Februari 2025 .
Sebagai pembicara diskusi, Uskup Agung Ende Mgr. Paulus Budi Kleden, Teolog dan Sejahrawan Romo Prof Dr. Eddy Krisyanto, OFM, Sosiolog Prof Dr. Ery Seda, dan Pimpinan umum CIJ Sr. Dr. Benedikta Yosefina Kebingin, S.Pd, Lic. Theol. Diskusi dimoderator Aryanto Zany Namang.
Sebagai pembicara pertama, Sr. Benedikta mengulas tentang sejarah berdirinya Tarekat CIJ, serta misi perutusan tarekat ini.
Sr. Benedikta menegaskan bahwa tugas perutusan yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus menjadikan setiap kita adalah subyek dari misi itu.
“Karena misi sesungguhnya bukanlah sebuah bidang keahlihan melainkan misi itu adalah dimensi yang melibatkan setiap kita sebagai anggota Gereja yang telah dibabtis dan apalagi telah menerima sakramen Krisma,” kata Sr. Benedikta
Ia menjelaskan, CIJ merupakan nama tarekat religus perempuan yang diberikan oleh pendiri Mgr. Heinrich Leven, SVD yang merupakan sebuah Lembaga religus pribumi perempuan pertama di Nusa Tenggara Timur dan merupakan tarekat pribumi kedua di Indonesia.
CIJ dengan corak aktif apostolik berkarya di empat bidang yaitu pendidikan, kesehatan, pastoral dan sosial.
“Makna strategis di balik pendirian CIJ ialah sebagai orang pribumi yang mengenal adat kebiasaan dan budaya orang setempat sehingga Suster-suster CIJ dengan lebih maksimal melaksanakan pewartaan di kalangan umat dan masyarakat Flores jika dibandingkan dengan suster-suster dan para misionaris dari barat,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Sr. Benedikta, menjelaskan tiga periode yang membingkai perjalanan tarekat CIJ. Periode pertama, periode embrional, yakni terbentuknya wilayah gerejani, kepulauan Sunda Kecil telah menyejarahkan perjuangan para misionaris dari Tarekat Dominikan, Jesuit dan Serikat Sabda Allah.
Penaburan benih sabda dan penyemainnya dilakukan dengan penuh perjuangan oleh para misionaris di tengah ketidakmungkinan dari berbagai segi.
Seruan Gereja Universal yang disuarakan oleh Paus Pius XI dengan Ensiklik Rerum Ecclesiae, dalam korelasi ini adanya titik perspektif mengenai kesejajaran kaum laki-laki dan kaum Perempuan.
“Maka kebutuhan akan wadah seminari untuk mendidik para calon imam dan wadah tarekat religius untuk pendidikan kaum perempuan calon-calon biarawati, dalam jarak waktu tidak lama, keduanya harus didakan oleh Gereja,” kata Sr. Benedikta.
Periode kedua, adalah periode institusionalisasi. Periode Institusional ditandai dengan dikeluarkannya Dekrit Pendidiran CIJ, 15 Maret 1935 bersamaan dengan pendirian rumah induk CIJ di Jopu-Ende-Flores dan penandatanganan konstitusi perdana tahun 1938 oleh pendiri.
Periode ketiga, adalah periode pertumbuhan dan perkembangan CIJ dalam perutusan menuju pematangan institusional.

Periode ini ditandai dengan kapitel-kapitel dan lokakarya-lokakarya, sebagai penguat institusional. Kapitel pertama tahun 1972, Kapitel konstitusi. Kapitel Umum 1973: Lokakarya I Tahun 1988. Tahun 2025, kapitel Umum X Kapitel Luar biasa III
Metode misi yang digunakan CIJ adalah misi sebagai pembebasan umat manusia. Model ini mengidentikan Gereja yang hidup dalam suatu atmosfir yang sungguh religius sehingga ia terpanggil untuk mewartakan prinsip-prinsip etis universal yang berorientasi pada pembelaan kaum kecil dan tertindas, khususnya kaum perempuan dan anak-anak.
“Melalui setiap karya karya pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, pastoral dan sosial, CIJ berpeluang untuk mengaplikasikan keberpihakannya terhadap kaum perempuan dan anak-anak sebagai misi aktual yang khas. Setiap bidang karya menjadi pintu masuk bagi CIJ untuk menjumpai alamat perutusannya,” kata Sr. Benedikta
Romo Prof Eddy dalam paparannya mengatakan, gerakan misi justru ditemukan ketika pelaksana gerakan misi itu mencari dan menyesuaikan dengan konteks lokal.
Menurut Prof Eddy, misi di Indonesia pada tahun tahun berdirinya CIJ dipengaruhi oleh gerakan yang ada di Eropa.
“Semua yang diterapkan di barat langsung diterapkan disini. Tapi lama kelamaan Gereja di Indonesia menemukan dirinya sendiri, dari Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia. Jadi ketika kita mulai menemukan diri kita sendiri, kita menjadi Gereja Indonesia,” kata Prof Eddy.
Kata Romo Eddy, semangat dan kontribusi CIJ jelang 100 tahun, kiranya dapat dikaitkan dengan menggali makna pada apa yang diucapkan Santo Yohanes Paulus II yang mengatakan bahwa iman yang tidak menjadi budaya adalah iman yang belum sepeniuhnya diterima.
Uskup Agung Ende Mgr. Paul Budi Kleden sebagai pembicara terakhir, banyak berbicara tentang semangat dan tindakan Mgr. Heinrich Leven, SVD sebagai pendiri CIJ.
Menurut Mgr Budi, Uskup Heinrich Leven menekankan soal kemandirian yang terbagi dalam kemandirian personalia, kemandirian finansial dan kemandirian teologis.
“ Uskup Leven dalam satu Surat Gembala yang ditulis tahun 1940, itu bagi saya sangat luar biasa. Bicara tentang kemandiran personalia dan kemandirian finasial,” kata Mgr Paul Budi Kleden.
Mgr. Budi mengatakan, Uskup Leven bicara terus terang tentang beban pembiayaan, tapi serentak dengan itu, dia mengingatkan orang Katolik untuk berdoa.
Dalam surat Gembala, Mgr Leven menulis : “Umat Beriman yang terkasih. Kalau kamu sudah punya imam, bruder dan suster dari bangsa sendiri, belum lah cukup. Sebab kamu juga harus menjaga supaya mereka itu bisa hidup. Mereka itu harus punya alat-alat untuk mengajar murid-murid di sekolah. Mereka harus punya uang untuk membayar gaji-gaji guru. Mereka harus mendirikan gereja-gereja, kapela-kapela, sekolah-sekolah dan rumah sakit. Untuk semua yang disebutkan ini, mereka juga perlu banyak uang. Dari mana ambil uang sebanyak ini. Tentu kamu akan katakan, di Eropa dan Amerika ada banyak orang baik dan kaya yang membantu. Betul sampai sekarang, orang-orang baik hati dan dermawan sudah menolong kamu. Tapi sampai berapa lama mereka itu menolong?. Sekarang ini kita tidak boleh lagi menunggu dan mengharapkan hanya dari mereka”.
Uskup Leven juga menekankan pada hidup keluarga. Hidup keluarga yang baik merupakan kebutuhan bagi tumbuhnya Injil kepada bangsanya sendiri.
Menurut Mgr Budi, Uskup Leven memberi penekanan pada orang-orang tua katolik, yang memiliki kewajiban besar mendidik anak-anak mereka mulai dari kecil tentang hal-hal yang baik. Mereka harus menjaga anak-anak sehingga anak-anak tidak mempunyai sifat yang jahat.
Sementara kemandirian finasial berhubungan dengan akuntabilitas. Menggalang dana dan dana itu harus digunakan secara transparan dan dipertanggungjawabkan. Imam tidak bisa kerja sendiri tapi harus tim awam yang membantu.
Uskup Budi mengatakan, penderitaan menjadi tanda membidani kelahiran para suster dan terus menjadi spiritualitas para suster.
Tanpa kerelaan berkorban, tanpa pengosongan diri tidak menemukan jalan yang paling singkat kepada Tuhan dan jalan yang paling singkat menuju sesama. Spiritualitas salib menjadi spiritualitas para suster yang kemudian diungkapkan dalam moto mereka.
Dalam konteks kemandirian, Uskup Budi juga memberi perhatian pada peran pemimpin yang harus menempatkan diri diatas semua budaya.
“Pemimpin harus sadar bahwa dominasi dapat ditentukan oleh tiga hal, yang pertama oleh jumlah. Kalau jumlahnya mayoritas bisa menjadi sangat dominan. Kedua yang sering terjadi adalah yang uangnya lebih banyak. Dan ketiga adalah yang bicara lebih banyak. Karena itu harus sadar dan peka apa yang menjadi faktor yang menentukan dominannya satu kelompok,” kata Uskup Budi.
“Harapan saya, semoga para suster tetap konsisten dengan semangat awal ini yang menandai perjalanan selanjutnya 90 tahun kedepan,” kata Uskup Budi.
Diskusi dilanjutkan dengan Perayaan Misa Syukur di Gereja St Yosep Matraman, dan ramah tamah di halaman Gereja St Yosep. Perayaan penuh kekeluargaan, menadai kedekatan tarekat ini bersama umat yang dilayaninya. (Bn)