Oleh : Fr. Yulianus Kebadabi Kadepa
Sebagaimana biasanya, setiap Frater yang menempuh pendidikan di STFT Fajar Timur dan menjalani pembinaan iman, moral dan intelektual di STIYB (Seminari Tinggi interdiosesan Yerusalem baru), tingkat III S1 dan tahun pertama S2, wajib melakukan asistensi natal dan paskah. Dalam kesempatan ini, saya berada pada tingkat III, sehingga Paskah 2025 ini, saya dapat di Paroki St. Wilibrodus Arso, tepatnya di Stasi St. Imakulata Arso 6, Keerom.
Sebagaimana biasanya, saya melayani Trihari Suci di Stasi St. Imakulata Arso 6. Di sela-sela pelayan itu, saya mengalami, merasakan dan merefleksikan nilai-nilai pelayanan pastoral di tengah umat, tetapi juga dalam keluarga- keluarga kristiani, berupa hidup bersama, doa bersama, kekompakan, saling mendukung, saling mendoakan dan sebagainya.
Sebagaimana Yesus Kristus menerima tantangan kematian yakni pikul salib dari rumah Pilatus sampai di Golgota, Yesus mati di kayu salib, dan bangkit dari antara orang mati, mengajarkan kepada kita bahwa cinta kasih dan pengorbanan demi kemanusiaan harus dijunjung tinggi. Kemanusiaan bukan hanya soal keadilan tetapi keselamatan generasi dan tanah air menjadi titik tolak nasehat injili.
Berdasarkan peristiwa perayaan Paskah tahun 2025 ini, memotivasi saya untuk menerapkan nilai-nilai pastoral hidup di tengah-tengah keluarga tentang bagaimana menghidupkan doa bersama, saling menolong, cinta kasih, dan pengorbanan. Refleksi yang penuh makna adalah kebersamaan dan kekompakan umat selalu hidup.
Pengalaman yang paling menyentuh hati saya adalah perjumpaan dengan anak-anak pengungsi dari Intan Jaya, yang kini tinggal di biara para Suster PRR. Dengan fasilitas yang masih terbatas, para suster bersedia menampung agar anak-anak bisa menjalani hari harinya dengan baik. Saya secara pribadi ingin berbuat lebih dari itu, tapi apa daya, saya hanya Frater yang melakukan pelayanan Paskah tahun 2025 ini.
Anak-anak ini datang dengan luka, kehilangan, dan cerita yang tidak semestinya. Seumuran mereka seharusnya tinggal bersama kedua orang tua. Namun, mereka mengalami trauma, ketakutan dan kecemasan dengan konflik berkepanjangan di kabupaten Intan Jaya, sehingga mereka mencari tempat ternyaman untuk mendapatkan pendidikan yang layak seperti anak-anak lain untuk masa depan Papua. Mereka belajar, bercerita, tertawa, dan berdoa bersama. Mereka adalah cahaya kecil yang bertahan di tengah kegelapan yang selalu melingkupi tanah Papua.
Biar pun rumah dan fasilitas yang terbatas, Para suster PRR di Arso 6 bukan hanya menyediakan tempat tinggal. Mereka merangkul, mendidik, dan menjadi ibu bagi anak-anak pengunsian dari Intan Jaya. Kehadiran susteran PRR adalah bukti nyata bahwa cinta tak mengenal batas, terang bisa hadir bahkan di tempat yang paling sunyi. Dalam hal ini, perjuangan para suster PRR tidak mudah. Para Suster juga membutuhkan dukungan dari pemerintah kabupaten, provinsi, dan semua pihak yang peduli terhadap masa depan anak-anak Papua, terlebih di Provinsi Papua Tengah.
Pelita kecil itu tetap menyala di Arso 6, di hati anak-anak Intan Jaya, dan di tangan-tangan penuh kasih para suster PRR. Mereka adalah pengingat bagi kita semua, bahwa di dunia yang penuh hiruk-pikuk dan ketidakpedulian, selalu ada jalan, ada ruang, dan harapan, asal kita mau menjadi bagian dari terang itu. (*)