TIFFANEWS.CO.ID,- Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) John Wempi Wetipo menyebut bahwa kepala daerah harus bisa menjadi role model atau percontohan dalam penguatan nilai-nilai integritas. Hal itu disampaikannya pada acara Peluncuran Hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Tahun 2022 di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (14/12/2022).
“Kepala daerah harus menjadi role model dalam penguatan nilai-nilai integritas. Keteladanan dan tone at the top dari kepala daerah sangat menentukan keberhasilan upaya kita bersama perang melawan korupsi,” kata Wempi.
Wempi melanjutkan, selain menjadi suri teladan, kepala daerah juga diminta konsisten dalam melaksanakan aksi pencegahan korupsi. Dengan begitu, diharapkan tata kelola pemerintahan semakin transparan dan akuntabel. “Secara terus menerus melaksanakan aksi-aksi pencegahan korupsi yang menyentuh pada akar masalah dan memberikan dampak perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,” pintanya.
Oleh karenanya, pihaknya sangat mengapresiasi pelaksanaan SPI yang diinisiasi KPK. Baginya, SPI bukan hanya sekadar survei persepsi, tapi menjadi cerminan dari komitmen para kepala daerah dalam meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
“Survei Penilaian Integritas dan tata kelola pemerintahan yang baik memiliki hubungan resiprokal. Semakin baik tata kelola pemerintahan suatu daerah, maka Indeks Penilaian Integritas suatu daerah maka akan baik juga. Demikian juga sebaliknya, rendahnya Indeks Penilaian Integritas suatu daerah mencerminkan belum membaiknya tata kelola pemerintahan daerah,” tuturnya.
Sebabnya, ia meminta kepala daerah menjadikan hasil SPI sebagai basis data dan bukti faktual dalam pengambilan kebijakan pencegahan korupsi. “Apa yang menjadi catatan dalam rekomendasi hasil Survei Penilaian Integritas itulah yang harus ditindaklanjuti, sehingga kebijakannya terarah dan berdampak pada perbaikan,” imbuhnya.
Selain itu, dalam pelaksanaan SPI selanjutnya, Wempi juga meminta kepala daerah untuk mengikutinya secara objektif dan bertanggung jawab. Ia menegaskan, tidak boleh ada upaya yang mengarahkan responden untuk menjawab sesuai dengan keinginan, bukan kenyataan yang terjadi di lapangan. (*)