TIFFANEWS.CO.ID,- Masalah ketimpangan pendidikan di Papua, terkhusus di Provinsi Papua Selatan sudah sering disinggung, namun hingga kini persoalan itu belum juga menunjukkan adanya tanda-tanda perubahan yang lebih cepat dan berarti. Salah satu harapan bisa ditempuh adalah dengan hadirnya Provinsi Papua Selatan.
Dalam diskusi virtual (zoom Meeting) yang dilaksanakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua Selatan, Jumat (27/01), faktor penyebab ketimpangan pendidikan tidak luput dari perhatian para nara sumber. Tak sekadar menyebutkkan akar masalah pendidikan, tapi juga memberikan solusi agar perubahan itu secepatnya bisa dirasakan, dan pembangunan serta masa depan Papua Selatan menjadi milik dari anak-anak yang lahir, tumbuh dan berkembang di situ.
Sesuai tujuan diskusi yakni untuk mendapatkan masukan dalam rangka penyusunan program dan kebijakan strategis bagi percepatan pembangunan sumber daya manusia (SDM) di Papua Selatan, diskusi ini tidak saja menghadirkan pakar pendidikan dan pelaku pendidikan, melainkan juga para birokrat yang sekarang melaksanakan kebijakan di Provinsi Papua Selatan.
Nara sumber yang hadir diantaranya Prof. Dr. Dinn Wahyudin, M.A, , Prof. Ir. Yohannes Sardjono, APU. Dr. Drs Beatus Tambaip, MA, Dr. Yulius Mataputun, M. Pd , Dr. Agus Sumule, dan Dr.James Mandouw. Sementara penanggap yang juga peserta diskusi adalah pelaku pendidikan di Papua Selatan diantaranya John Rahail, dan pelaku pendidikan Papua Korinus N. Waimbo dari Papua Language Institute (PLI)l
Hadir Pj Sekda Papua Selatan Madaremmeng, Plt Asisten Sekda Provinsi Papua Selatan Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Selatan Agustinus Joko Guritno dan Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua Selatan, Drs. Aloysius Jopeng, M.Pd.
Dari diskusi terungkap ada banyak persoalan, mengapa pendidikan di Papua Selatan masih mengalami ketimpangan. Masalah geografis dan topografis yang khas, menjadi faktor yang perlu dipecahkan dengan penyediaan infrastruktur yang memadai, juga menyangkut penyediaan sekolah yang lebih dekat dengan masyarakat.
Rektor Universitas Musamus Merauke Dr. Drs Beatus Tambaip, MA, mengatakan, jika bicara kebijakan harus berbasis pada pengembangan wilayah. Artinya, harus dibangun sentra-sentra pendidikan, karena hal ini langsung bersentuhan dengan orang asli Papua termasuk di sini pemerintahan distrik dikasih kewenangan supaya dia bisa mengontrol guru-guru.
“Kalau semua diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten atau provinsi maka upaya memutus mata rantai akan menjadi panjang dan lama,” kata Beatus Tambaip.
Rektor mencontohkan, kalau Kabupaten Merauke, maka di Kimam kita bangun pusat pengembangan dan pusat penyelenggaraan pemerintahan. Murid-murid yang baik di kampung sekitar diseleksi dan ditempatkan di sana.
Dengan cara ini, menurut Rektor, dinas-dinas lain dapat bersama membangun infrastruktur untuk mempercepat pengembangan wilayah itu yang sejalan dengan pengembangan SDM. Untuk daerah perkotaan penanganannya bisa berbasis marga.
Senada dengan Rektor, pelaku pendidikan John Rahail menyarankan agar pendekatan pembangunan pendidikan di Papua Selatan adalah pendekatan kewilayaan.
“Bagaimana mengembangkan model pendidikan dan layanan pendidikan di daerah-daerah pinggiran itu harus pendidikan rasa kota sehingga guru-guru betah dan mau berada di tempat. Kita mudah bicara koordinasi tetapi pendekatan kewilayahan itu yang mungkin harus dimulai,” kata John Rahail.
Diskusi juga menghadirkan satu persoalan lain yang menyumbang ketimpangan pendidikan adalah faktor keluarga dan masyarakat. Ada persoalan yang menyangkut ekonomi masyarakat yang belum membaik yang menyebabkan orangtua menyekolahkan anak jauh dari rumah membawa beban tersendiri untuk keluarga. Belum lagi pada tingkat kesadaran masyarakat terutama orangtua dalam membesarkan dan mendidik anak-anak.
John Rahail menyebut, banyak hal menyangkut anak tidak sekolah karena faktor keluarga, yang berarti urusannya tidak sekedar dari dinas pendidikan, tetapi juga dari dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Belum lagi jika pendidikan dihubungkan dengan masalah ketersediaan pangan, maka urusannya ada pada dinas tanaman pangan.
“Ketika kita bilang anak-anak tidak sekolah itu, orang selalu memberikan kesalahan kepada Dinas Pendidikan, padahal kita lupa bahwa pimpinan keluarga itu ada di dinas pemberdayaan perempuan. Sasaran dan objeknya sama tetapi karena kita selalu punya kacamata melihatnya dengan kamar-kamar OPD sendiri,” kata John Rahail.
Menurut John Rahail, hal yang penting adalah pendekatan harus berbasis kontekstual supaya anak-anak tidak merasa asing dengan dirinya sendiri.
“Karena kalau tidak, jati dirinya hilang, kemudian dia (anak) merasa kecil dan terakhir mengatakan, sudah.. sekolah tuh untuk kamu, kami ini tidak mungkin,” kata John Rahail.
John mengatakan bahwa diperlukan peran serta masyarakat artinya peran serta masyarakat melalui komite sekolah. Komite sekolah itu bukan cuma sekedar simbol tapi bagaimana direvitalisasi supaya kemudian muncul peran masyarakat.
“Yang punya anak usia sekolah itu kan masyarakat bukan sekolah. Ya justru sekolah ada karena ada masyarakat di sana tetapi ketika masyarakat tidak dilibatkan ya dalam peran mereka dalam komite sekolah maka sebuah cerita biasa saja dari hari ke hari kita akan bicara tentang itu-itu lagi,” kata John Rahail.
Di luar faktor-faktor itu ada satu lagi faktor yang sangat penting berhubungan dengan keberadaan provinsi Papua Selatan. Faktor itu adalah masalah keberpihakan dan keseriusan pemerintah dalam mengurus pendidikan. Keberpihakan itu ditunjukkan dengan regulasi, koordinasi dan anggaran.
Beatus Tambaip mengatakan, salah satu persoalan pendidikan karena ketidakhadiran pemerintah terutama untuk wilayah-wilayah terpencil.
“Kalau kita lihat sejarah pendidikan di Kota Merauke di Kabupaten Merauke dan daerah selatan umumnya pendidikan dasar dan SLTP itu ada di kampung-kampung dan semua ditangani oleh YPPK dan YPK. Pemerintah seolah-olah merasa bahwa dengan PPKI SD SMP di kampung-kampung sudah aman padahal tidak begitu,” kata Beatus Tambaip.
Beatus Tambaip menyebut, di kampung sekarang ini yang namanya sekolah-sekolah yayasan, mereka tidak punya dana akhirnya itu berpengaruh kepada penyelenggaraan pendidikan di sana yang mana guru-guru meninggalkan tempat tugas.
“Saya pikir kita tidak bisa terus salahkan guru-guru juga karena itu menyangkut dengan bagaimana kehadiran pemerintah,” katanya.
Dari diskusi yang berlangsung, disadari bahwa kehadiran provinsi Papua Selatan dapat memacu perubahan pada masalah pendidikan ke arah yang lebih baik. Rentang kendali pelayanan yang lebih pendek dengan cakupan wilayah yang lebih kecil yakni hanya 4 kabupaten yang berarti masalah koordinasi mudah dijalankan.
Pemerintah Provinsi Papua Selatan memang dipacu untuk cepat menyelesaikan masalah, lantaran provinsi yang baru terbentuk ini sekarang tidak lagi melalui tahappan sebagai daerah persiapan selama dua tahun. Sebagaimana dikatakan Pj Sekda Papua Selatan Madaremmeng dalam waktu cepat Provinsi Papua Selatan dibentuk dan harus segera bisa melaksanakan semua tugas-tugas itu dengan baik termasuk dalam bidang pendidikan.
Memang disadari bahwa pendidikan adalah proses belajar sepanjang hayat. Sebagaimana Prof Dinn Wahyudin mengatakan, untuk menjadi SDM yang cerdas memang tidak cukup hanya baca tulis atau pengetahuan dasar melainkan suatu pekerjaan yang sangat panjang yang melibatkan semua potensi yang ada untuk mengajak semua warga untuk long live leners untuk belajar sepanjang Hayat tidak hanya siswanya tetapi juga orangtua.
Prof Sardjono mengatakan, oleh karena pendidikan tidak berdiri sendiri, maka dibutuhkan kerja sama semua pihak. Menurut Prof Sardjono membangun dunia pendidikan tidaklah mudah karena hal ini bukan stand alone untuk SDM sumber daya manusia atau pengembangan manusia.
“Sekali lagi Tidak stand alone atau berdiri sendiri,” kata Prof Sardjono.
Menurutnya, membangun dunia pendidikan harus dengan pendekatan yang menyeluruh dengan melibatkan para akademisi, dunia bisnis, pemerintah, masyarakat dan media.
“Kita nggak bisa melepaskan dari dunia media, apa yang kita bicarakan itu harus sudah langsung didengar oleh berbagai pihak untuk mempercepat atau mengakselerasi ide-ide yang sekarang kita kembangkan sekarang. Seluruh aktivitas kegiatan yang sumbernya dari APBN mengalir ke APBD Pemprov dan Kabupaten harus dipertanggungjawaban kepada publik. Tidak ada yang tertutup, semuanya terbuka,”kata Prof Sarjono.
Senada dengan Prof Sardjono, Beatus Tambaip mengatakan pendidikan itu tidak berdiri sendiri melainkan terkait satu dengan yang lain,
“Karena itu pemerintah provinsi harus adil untuk bagaimana 4 kabupaten, kita duduk sama-sama, kita harus bikin pusat pusat pendidikan sekolah-sekolah unggul di 4 Kabupaten supaya batas sekat antara suku itu kita harus hilangkan kita mendapatkan orang-orang bagus,” kata Rektor.
Agus Sumule mengatakan agar Provinsi Papua Selatan maju lebih jauh dan lebih cepat, kuncinya ada pada alokasi dana.
“Kalau tidak ada alokasikan dana, ya sudah kita putar-putar di tempat yang sama. Kenapa saya bicara begitu karena kalau bapak-bapak baca PP 106 tahun 2021 disitu sudah ada pengaturan tentang pengadaan tenaga guru yang mana kalau bapak-bapak baca PP 107 tahun 2021 di situ sudah ada alokasi 30% untuk pendidikan, “kata Sumule.
“Kalau kita bicara anggaran buat pendidikan dan di dalamnya tidak ada komponen pengadaan tenaga guru terus ini pendidikan apa yang kita bicara? ,” tanya Sumule.
Disamping itu,peserta lain mengusulkan agar kedepannya, Pemprov Papua Selatan perlu membuat satu regulasi yang mengatur dan mengikat hubungan kerja yang kuat antara Dinas Pendidikan Provinsi PapuaSelatan dengan kabupaten, dalam hal ini untuk melihat apa dan bagaimana yang menjadi bagian tugas dan tanggung jawab masing-masing yang disinergikan dalam satu kesatuan konsep pelayanan yang mengedepankan pendidikan yang bermutu. (bn) Bersambung