TIFFANEWS.CO.ID,- Masalah pendidikan di empat kabupaten di Selatan Papua yang kini sudah menjadi satu provinsi Papua Selatan, bukan hanya masalah yang berkenaan dengan pemerataan pendidikan di tingkat SD, SMP dan SMA saja, melainkan juga pada masalah yang berhubungan dengan kualitas output baik untuk peserta didik yang hendak melanjutkan ke perguruan tinggi, maupun yang hendak bekerja.
Dalam diskusi virtual (zoom Meeting) yang dilaksanakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua Selatan, Jumat (27/01) lalu, faktor kualitas pendidikan atau tepatnya kualitas lulusan juga menjadi perhatianpeserta diskusi. Pertanyaan yang diajukan, bagaiaman Papua Selatan bisa memiliki dokter orang asli Papua, kalau untuk melanjutkan sekolah kedokteran hanya sedikit orang yang bisa. Begitu pun dengan profesi atau jurusan lainnya.
Untuk soal pendidikan dan lapangan pekerjaan, bagaimana dengan lulusan pendidikan vokasi? Apakah jurusan-jurusan yang ada sudah tepat menjawab kebutuhan lebih khusus kebutuhan lapangan kerja di Papua selatan sendiri? Di luar itu, ada pertanyaan lain yakni soal pendidikan karakter?
Pertanyaan demi pertanyaan, mengarahkan perhatian juga pada lulusan yang dibiayai dari program beasiswa. Kemana para lulusan yang telah mendapat beasiswa? Apakah pemerintah tidak melihat ini sebagai sebuah potensi untuk meminta mereka kembali berbakti di Papua? Bukankah pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki para lulusan yang nota bene belajar di Pergurutan Tinggi ternama termasuk di luar negeri dapat memberi motvasi bagi anak-anak Papua untuk bisa meraih pendidikan yang lebih tinggi lagi?
Sesuai tujuan diskusi virtual ini, yakni untuk mendapatkan masukan dalam rangka penyusunan program dan kebijakan strategis bagi percepatan pembangunan sumber daya manusia (SDM) di Papua Selatan, diskusi ini menghadirkan pakar pendidikan dan pelaku pendidikan, juga para birokrat yang sekarang melaksanakan kebijakan di Provinsi Papua Selatan.
Nara sumber yang hadir diantaranya Prof. Dr. Dinn Wahyudin, M.A, , Prof. Ir. Yohannes Sardjono, APU. Dr. Drs Beatus Tambaip, MA, Dr. Yulius Mataputun, M. Pd , Dr. Agus Sumule, dan Dr.James Mandouw. Sementara penanggap yang juga adalah peserta diskusi adalah pelaku pendidikan di Papua Selatan diantaranya John Rahail, dan pelaku pendidikan Papua Korinus N. Waimbo dari Papua Language Institute (PLI)
Hadir Pj Sekda Papua Selatan Madaremmeng, Plt Asisten Sekda Provinsi Papua Selatan Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Selatan Agustinus Joko Guritno dan Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua Selatan, Drs. Aloysius Jopeng, M.Pd.
Melanjutkan sekolah
Korinus N. Waimbo mengatakan, masalah kualitas lulusan pendidikan dasar dan menengah perlu mendapat perhatian. Menurutnya, selama satu tahun Papua Language Institute (PLI) bekerja sama dengan Pemda Merauke untuk program khusus pengiriman anak-anak asli ke luar negeri hanya dapat mengirimkan sebanyak 13 mahasiswa asli Marind ke Rusia dan sebanyak 7 ke Amerika.
Menurutnya, pendidikan di Papua Selatan mengalami masalah pada sisi kualitas. Dalam program persiapan pembinaan ke luar negeri, lanjutnya, selama satu tahun kami melatih kurang lebih 60 mahasiswa calon mahasiswa asli Marind di Jayapura. Selama 10 bulan mentraining mereka yang harusnya hanya disiapkan dari sisi bahasa bahasa Inggris dan bahasa Rusia tetapi ternyata tidak.
“Saya sampaikan selama 10 bulan pembinaan, kami harus melatih mereka matematika dasar dari tingkat SD lagi. Saya sendiri mengajar mereka berhitung lagi. Sekali lagi ini sangat wasting time kalau ambil dari jenjang SMA,” ujarnya.
Dari sisi itu saja, menurutnya kendala terbesar ada pada kualitas. “Jangankan masuk ke tingkat kuliah di luar negeri mungkin di universitas dalam negeri pun kualitas mereka tidak tercapai. Hal ini menunjukan bahwa tujuan dari Papua Cerdas harus dilihat kembali,” tambahnya.
Di samping itu, menurut Korinus, sekalipun jumlah yang dikirim ke luar negeri masih sedikit, namun jika mereka berprestasi tentu punya efek yang sangat baik untuk mendorong motivasi bagi anak-anak Papua.
“Itulah sebabnya, usulan kami bahwa perlu juga permintaan khusus anak-anak asli Papua yang sudah dikirim oleh pemerintah provinsi Papua melalui program BPSDM. Mereka ini adalah anak-anak yang dibiayai oleh dana otsus. Nah ini yang menurut saya perlu dipersiapkan juga, supaya di Unmus anak-anak ini harus ditarik masuk ke sana ataupun di industri-industri yang ada di Papua Selatan,” usulnya.
Menurutnya, anak-anak Papua yang berhasil bekerja di luar negeri, perlu juga mendapat tempat. Mereka perlu didatagkan ke Papua sehingga ini menjadi satu gerakan bahwa anak-anak Papua pada prinsipnya bisa.
Bagaimana dengan pendidikan vokasi? Rektor Umus Beatus Tambaip mengatakan, jenis pendidikan vokasi dan profesi perlu dikembangkan, sedangkan pendidikan yang sifatnya akademis mungkin bisa dikurangi.
“Contohnya SMA-SMA yang ada mungkin di setiap kabupaten kota atau di setiap distrik memang perlu tetapi jumlahnya tidak lebih banyak daripada pendidikan vokasi,” kata Beatus Tambaip
Menurut Beatus Tambaip, universitas biasanya mendidik orang untuk mengembangkan kemampuan akademiknya, karena itu perlu ada program D1 D2 D3 atau mungkin politeknik untuk menjawab kebutuhan pendidikan lanjutan dari SMK .
Dia mengusulkan agar jurusan-jurusan sekolah vokasi menyesuaikan dengan potensi daerah Papua Selatan, dengan mengarahkan pendidikan vokasi itu pada bidang pertanian, perikanan dan peternakan.
“Jadi pendidikan vokasi yang berkaitan dengan itu perlu supaya apabila ada industri-industri yang masuk perusahaan-perusahaan yang masuk, mereka sudah connect dengan penyiapan sumber daya manusia yang ada di Papua Selatan,” ujar Beatus Tambaip.
Beatus Tambaip mengingat tujuan pendidikan itu sendiri untuk meningkatkan pengetahuan dari tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak mempunyai keahlian kemudian mendapatkan keahlian, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa pendidikan itu perlu membentuk perilaku manusia itu sendiri yakni pengembangan watak dan tata nilai ini menjadi penting.
“Sebab apa gunanya kita memberikan transfer pengetahuan teknologi keahlian kepada anak-anak tetapi tidak didukung oleh pembentukan karakter mental dan tata nilai itu maka apa yang kita berikan kepada anak-anak itu bisa mubazir.” ucapnya.
Menjawabi Kebutuhan
Untuk mejawabi perseolan yang dikemukakan, sekurang-kurangnya beberapa hal ini yang harus mendapat perhatian yaitu masalah data dan kurukulum, penguatan kapasitas dan akselerasi akreditasi akreditasi satuan pendidikan dan program studi, penguatan standar nasional pendidikan dan penguatan budaya mutu dengan peningkatan kemampuan kepala sekolah.
Menurut James Moandow, di dalam melaksanakan program-program pendidikan termasuk merancang pendidkan di Papua Selatan perlu perhatian pada flesibilitas, sebab tuntutan pendidikan adalah bagaimana pendidikan bisa bisa beradaptasi dengan perubahan.
“Pertama rancanglah pendidikan untuk mengantisipasi perubahan. Kedua fleksibilitas itu adalah nilai penting yang harus melekat kepada semua pemikir semua pemimpin dan pengambil kebijakan di Papua Selatan karena dengan fleksibilitas itu kita bisa mengadaptasi terhadap semua perubahan,” kata James Moandow.
James menambahkan, sekarang kementerian pendidikan sedang menggalang kurikulum Merdeka itu artinya mulai merancang pembelajaran yang lebih mendekati kepada kebutuhan-kebutuhan individual.
“Oleh sebab itu mari pikir untuk bagaimana mendekatkan pendidikan kepada kebutuhan-kebutuhan dalam konteks perorangan atau individu dan itu mesti dirancang dengan cara-cara yang canggih dan teknologi sekarang menjanjikan itu,” ujarnya.
“Jangan berpikir kaku dan berpatok harus seperti ini. Fleksibilitas itu menjadi semangat untuk masuk ke dalam perubahan,” tegasnya.
Diakhir diskusi, Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua Selatan, Aloysius Jopeng mengatakan, pertemuan kali ini merupakan pertemuan awal yang akan ditindaklanjuti dalam bentuk diskusi diskusi tematik pada pertemuan-pertemuan berikut.
“Kami secara seksama mengikuti semua pembicaraan juga menerima semua masukan yang ada nanti kemudian kita akan coba identifikasi sesuai dengan tempat sasaran kebijakan yang pertama terkait dengan Kebijakan mutu yang kedua terkait dengan kebijakan akses lalu di situ secara khusus juga ada kebijakan tentang guru,”tutupnya. (*bn) HABIS.