TIFFANEWS.CO.ID,- Sejumlah masyarakat sipil yang terdiri dari JKPP, AMAN, BRWA, HuMa menyelenggarakan Talkshow untuk membahas nasib peta partisipatif wilayah adat dan desa dalam kebijakan satu peta pasca Perpres 23/2021, di Jakarta, Kamis (16/2).
Dari rilis yang diterima tiffanews, masyarakat sipil berpendapat bahwa kebijakan satu peta dianggap masih jauh dari cita-cita mendorong penyelesaian tumpang tindih atau konflik ruang karena belum mengintegrasikan peta partisipatif sebagai peta tatakan, sehingga kebijakan Satu Peta hanya mengakomodir penyelesaian tumpang tindih IGT antar Kementerian dan Lembaga saja.
Selain itu, masyarakat sipil juga berpendapat bahwa nomenklatur wilayah adat yang diwujudkan secara parsial dalam Perpres 23/2021 menunjukkan pemahaman yang gagal terhadap Wilayah Adat.
Sejak 2016, Pemerintah menetapkan kebijakan Percepatan Kebijakan Satu Peta (PKSP)melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta dengan menetapkan rencana aksi (renaksi) percepatan kebijakan satu peta hingga 2019.
Berdasar hasil rapat terbatas pelaksanaan kebijakan satu peta di awal periode kedua kepemimpinannya, Presiden Jokowi menyetujui keberlanjutan Percepatan Kebijakan Satu Peta melalui Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000 yang diundangkan pada tanggal 6 April 2021.
Percepatan tersebut diarahkan pada kompilasi dan integrasi 158 IGT (Informasi Geospasial Tematik) dari 24 Kementerian/Lembaga serta 34 provinsi yang bertindak sebagai Wali Data dan ditindaklanjuti dengan Sinkronisasi atau penyelerasan IGT, selanjutnya data produk PKSP dibagi-pakaikan melalui Jaringan Informasi Geosoapsial Nasioanal (JIGN) sebagai upaya perwujutan satu peta yang mengacu pada satu geoportal satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data bagi kementerian/lembaga serta pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan ruang dan atau pemanfaatan lahan serta penyelesaian konflik agraria.
Hingga bulan Juni 2022 dari target renaksi Percepatan Kebijakan Satu Peta, telah terkompilasi 141 dan 78 Informasi Geospasial Tematik (IGT) yang terintegrasi atau dianggap memenuhi standar format Badan Informasi Geospasial (BIG) dan 25 IGT hasil pemutakhiran telah disebarluaskan melalui service Portal KSP.
Sementara dari 74.961 IGT Batas Desa, hanya 1.084 IGT Batas Desa (1,4%) yang terkompilasi dan masih terdapat overlap data batas desa definitive sebanyak 109 desa. Informasi Geospasial Tematik Hutan Adat yang telah terkompilasi sebanyak 75 IGT Hutan adat di 15 provinsi, IGT Hak Komunal yang terkompilasi hanya 2 IGT yakni hak milik komunal atas tanah masyarakat adat Baduy Banten dan hak milik komunal Kampung Naga Jawa Barat.
Capaian sinkronisasi saat ini yaitu telah ditetapkannya peta kerja penyelesaian tumpang tindih pemanfaatan lahan melalui penyelenggaraan Peta Indikatif Tumpang Tindih Informasi Geospasial Tematik (PITTI) diantaranya, 1) PITTI ketidaksesuaian batas daerah dengan peta tatakan (Peta Tata Ruang dan Kawasan Hutan) di 34 provinsi sebesar ± 43.492.642 Ha, 2) PITTI Ketidaksesuaian perizinan pertambangan atau terdapat indikasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas ± 5,2 juta Ha dalam kawasan hutan, ± 4,7 juta Ha (90%) merupakan IUP Tambang dalam kawasan Hutan dengan indikasi bermasalah secara prosedur.4 Serta yang terakhir 3) PITTI Hak Guna Usaha (HGU) dan tutupan kelapa sawit dalam kawasan hutan ± 3,4 Juta Ha.
Pelaksanaan Perpres No 23/20 menyisahkan beberapa permasalahan, menurut Imam Hanafi selaku Koordinator Nasional JKPP, penyelesain konflik agraria dan tumpang tindih pemanfaatan lahan melalui skema sinkronisasi IGT yang ditetapkan dalam PITTI belum mengakomodir peta partisipatif sebagai peta tatakan, tanpa pelibatan masyarakat sipil dalam kebijakan satu peta, maka kebijakan satu peta hanya merupakan kompromi antar kementerian dan lembaga saja.
Dari 26,61 juta hektar peta partispatif (wilayah adat dan lokal) yang dikonsolidasikan JKPP, 20,89 juta hektare masuk dalam kategori kawasan dan seluas 5,46 Juta hektare dibebani izin/konsesi di kawasan serta non kawasan hutan. Dampak dari tumpang tindih yang terjadi ialah konflik agrarian dan sumber daya alam yang tidak pernah terselesaikan.Hingga Desember 2022, portal kampanye tanahkita.id mencatat 491 kejadian konflik dengan luas area konflik hingga 4,9 Juta hektare yang melibatkan 870 ribu jiwa masyarakat (adat/lokal) sebagai korban.
Menurut Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, Pemerintah telah mengingkari keberadaan masyarakat adat dengan menghilangkan nomenklatur wilayah adat sebagai salah satu IGT dalam Kebijakan Satu Peta. Mengakomodasi Wilayah Adat secara parsial melalui tiga IGT, yaitu di Kementerian LHK, Kementrian ATR/BPN dan KKP menunjukkan pemahaman yang gagal terhadap Wilayah Adat.
Dan menganggap tiga IGT itu sama dengan wilayah adat merupakan sesat pikir. Selain itu ketiadaan Walidata Wilayah Adat sampai saat ini, menunjukan bahwa Negara tidak memiliki struktur pemerintahan yang memiliki fungsi untuk mengurus Masyarakat Adat secara menyeluruh. Karena itu, seharusnya Presiden segera menepati janjinya untuk membentuk Satgas Masyarakat Adat.
Kepala BRWA mengemukakan bahwa integrasi peta-peta wilayah adat dalam Kebijakan Satu Peta sangat penting. Wilayah adat yang sudah diakui keberadaanya oleh Pemerintah Daerah merupakan produk hukum yang menjadi dasar proses integrasi ke KSP. Namun, karena belum adanya walidata untuk peta wilayah adat tersebut, proses integrasinya menjadi terhambat.
Sekretariat KSP perlu segera mengatasi hambatan tersebut sehingga salah satu tujuang penting KSP ini dapat dicapai yaitu, mengatasi koflik tenurial dan tumpang tindih peta-peta tematik.
Agung Wibowo selaku Koordinator Eksekutif Perkumpulan HuMA Indonesia menambahkan “kebijakan satu peta merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi manusia. Ini jadi bagian dari hak atas keterbukaan informasi publik. Sehingga masyarakat di Indonesia bisa tahu dimana ruang hidupnya, apakah ruang hidupnya aman dari segala macam perizinan yang selama ini terkadang justru tumpang tindih dan merampas ruang hidup mereka. Kebijakan satu peta harus segera dilaksanakan oleh semua kementerian dan lembaga” pungkasnya. (Bn)