TIFFANEWS.CO.ID,- Kementerian Pertanian (Kementan) mengajak semua pihak untuk melakukan praktek sekaligus mengkaji dan meneliti elisitor Biosaka.
Sebagaimana diketahui, Biosaka adalah Bio artinya tumbuhan dan Saka singkatan dari selamatkan alam kembali ke alam, yaitu bukan pupuk, tapi merupakan campuran pupuk yang dibuat dari ramuan diremes manual tangan dari bahan minimal 5 jenis rumput/daun yang sehat sempurna di sawah yang dicampur air, tanpa campuran apapun hingga menjadi ramuan homogen, harmoni dan koheren lalu disemprot ke tanaman.
“Aplikasi elisitor Biosaka kini sudah dipraktekan di 34 Propinsi, lebih dari 200 kabupaten/kota dengan 800-an kecamatan dan 1.500-an desa sudah aplikasi biosaka. Biosaka hadir sebagai indigenous knowledge, inisiatif dari petani sebagai respon dari terbatasnya pupuk bersubsidi dan juga mahalnya pupuk non subsidi, sementara mereka harus tetap berproduksi untuk menjaga kelangsungan hidup mereka,” ungkap Koordinator Padi Irigasi dan Rawa, Direktorat Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan, Rachmat di Jakarta, Selasa (30/5).
Menyoal adanya kajian peneliti tentang elisitor Biosaka, Rachmat menegaskan tentu saja apa yang dilakukan oleh petani itu tidak seperti yang dilakukan para peneliti baik di lembaga penelitian ataupun di universitas yang memiliki para ahli yang mumpuni dan sumberdaya yang memadai. Secara sederhana, petani membuat perbandingan antara lahan yang menggunakan biosaka dan tidak menggunakan biosaka.
“Ada yang tetap mengunakan pupuk seperti biasa, ada juga yang berkurang disesuaikan dengan kemampuan finansial masing-masing. Ada juga yang membandingkan before-after. Kemudian mereka buktikan sendiri manfaatnya. Ada efisiensi dan juga ada peningkatan produksi,” ujarnya.
Rachmat menambahkan persoalan ilmiah atau tidak kemudian teknik percobaan seperti apa, petani tidak seperti peneliti, mereka tidak mengerti. Yang mereka pahami adalah manfaat yang mereka rasakan, yang dialami di lapangan, sehingga peran para peneliti dan akademisi diperlukan. Biosaka terbuka lebar untuk diteliti secara lebih komprehensif dari berbagai disiplin keilmuan.
“Apresiasi untuk para peneliti dari berbagai lembaga baik pemerintah maupun swasta yang akan meneliti biosaka lebih lanjut. Ini yang ditunggu-tunggu sehingga misteri biosaka bisa segera terjawab secara ilmiah,” terangnya.
Lebih lanjut Rachmat menyebutkan Biosaka sudah diaplikasikan petani pada berbagai komoditas pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura, maupun perkebunan. Biosaka ini bukan pupuk, juga tidak bisa menggantikan pupuk sehingga petani tetap menggunakan pupuk, namun lebih hemat dari biasanya karena dalam Biosaka, kadar hara makro dan mikronya rendah, kandungan ZPTnya cukup tinggi, juga mengandung senyawa fitokimia.
“Kandungan tiap biosaka berbeda-beda, karena berasal dari tanaman yang berbeda. Sehingga tidak bisa distandarisasi dan tidak dipabrikasi. Petani membuat biosaka sendiri. Membuat percobaan dilahannya sendiri, dengan modal mereka sendiri. Mereka rasakan hasilnya kemudian getok tular di antara mereka,” sebutnya.
Terpisah, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Blitar, Wawan Widianto mengungkapkan elisitor Biosaka menjadi solusi petani, dimana pada tahun 2019 dihadapkan pada berkurangnya pupuk bersubsidi dan mahalnya pupuk non subsidi dan juga pestisida. Hasil demplot petani di Blitar menujukan bahwa penggunaan biosaka dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia, pertumbuhan tanaman bagus, lebih tahan serangan OPT, bulir gabah lebih bagus dan umur panen lebih cepat.
“Selanjutnya biosaka menyebar di semua kecamatan di Blitar. Biosaka sudah dirasakan manfaatnya di lapangan,” ungkap Wawan.
Petani di Blitar, Hari Wahyudi adalah salah satu petani yang mengaplikasi Biosaka dan merasakan langsung manfaatnya. Ia mengaplikasikan Biosaka di areal 1 ha
“Penggunaan pupuknya 50% dari biasanya. Hasil panennya meningkat dari 7 ton menjadi 9 ton,” ujarnya.
Sementara itu, Mujiono, Petani Gabungan Kelompok Tani Sumber Rejeki di Bojonegoro pun menerapkan biosaka di areal 0,75 ha. Dia menggunakan pupuk 50% dari biasanya. Hasil produksinya lebih tinggi.
“Alhasil, ongkos produksi turun dan hasilnya meningkat dari 5 ton menjadi 6 ton perhektar. Inilah manfaatnya menggunakan Biosaka. Tidak bisa hanya sekedar meneliti dan mengkaji di atas buku, tapi harus dipraktekan dengan bertani,” tuturnya.
“Saya berhasil meraup hasil panen padi Rp 32 juta. Capaian ini berkat penerapan tekonologi ramah lingkungan yaitu biosaka yang mampu menekan pemakaian pupuk kimia hingga 50 persen dan memulihkan tingkat kesuburan tanah,” pinta Mujiono. (* Ron)