TIFFANEWS.CO.ID,- Perempuan punya hak konstitusi yang tidak boleh diabaikan oleh keputusan negara. Kasus Ance Boma telah menunjukan negara tidak mengakomodir keterwakilan perempuan.
Hal ini mengemuka dalam wibinar yang diselenggarakan Pemuda Katolik bertemakan”Hak Perempuan Papua Jangan Dibungkam,” Minggu, (4/6) malam.
Webinar menghadirkan pembicara Antropolog Dr. Benny Giyai, Pegiat HAM Sylvana M. Apituley, Pegiat HAM Perempuan dan Anak LBH APIK Jayapura Novita Opki, dan mantan Anggota Komisioner KPU Kabupaten Paniai Ance Boma.
Webinar dimoderatori Ketua Bidang Perempuan dan Anak Pengurus Pusat Pemuda Katolik, Alfonsa Jumkon Wayap dan diikuti 90 peserta dari dalam dan luar negeri.
Ketua Umum PP Pemuda Katolik, Stefanus Asat Gusma, melalui ketua Gugus Tugas Papua, Melkior Sitokdana menyampaikan harapannya terhadap diskusi bertemakan perempuan ini. Menurutnya, dengan diskusi ini diharapkan keberpihakan terhadap hak-hak perempuan bukan di atas kertas melainkan benar-benar diakomodir dalam kehidupan nyata.
Menurut Alfonsa Jumkon Wayap, diskusi ini dibuat untuk memantik beberapa kasus yang dialami perempuan Papua, termasuk kasus yang menimpah Ance Boma yang gagal mengikuti seleksi Bawaslu Provinsi Papua Tengah.
Ance Boma telah mengikuti semua tahapan seleksi Bawaslu Provinsi Papua Tengah dan tercatat dalam daftar 10 besar pertanggal, 27 Mei 2023. Namun, selang dua hari yakni 29 Mei 2023, terjadi perubahan dalam putusan, nama Ance Boma diganti.
Menurut Alfonsa, kasus Ance telah mewakili masalah serupa yang juga dialami perempuan lain yang tidak terakomodir dalam ruang-ruang public, misalnya pada seleksi MRP Papua Barat Daya, di Fak-Fak, hak perempuan pun dipolitisir.
Padahal, kata Alfonsa, perempuan punya hak menentukan kemajuan di daerah, terlebih di Daerah Otonomi Baru (DOB).
Dalam pengantarnya, Alfonsa yang juga jurnalis perempuan ini mengatakan, ada peluang dan tantangan yang dihadapi perempuan dalam DOB ini yang dapat membuka ruang terhadap pembungkaman hak-hak perempuan.
Di awal diskusi, Ance Boma, perempuan yang menjadi korban dalam seleksi Bawaslu Provinsi Papua Tengah itu, memulai dengan memaparkan kronologis kasusnya.
“Saya sebagai perempuan Papua, punya hak. Saya merasa hak saya dikubur dan digantikan dengan nama lain. Ketidakadilan dan diskriminasi yang dilakukan oleh panitia seleksi jelas dan terang-terangan dan atas dasar apa? Saya minta kembalikan hak saya,” pinta Ance Boma.
Dia berjanji akan terus memperjuangkan hak-hak perempuan, karena hal ini dapat juga dialami oleh perempuan lain.
Menanggapi Ance Boma, Sylvana Apituley menyayangkan bahwa hanya karena politik electoral kemudian hak-hak perempuan Papua dihilangkan.
“Sangat disayangkan dan harus diperjuangkan. Ruang demokrasi harus benar-benar mengakar berbasis gender dan pikiran perempuan harus dipertimbangkan dan didengar suaranya. Agar kedepannya kehadiran perempuan dalam politik electoral dapat bersih dari penyalagunaan politik kekuasaan,”kata Sylvana.
Sylvana menambahkan, marginalisasi masih terjadi dari sistem pengambilan keputusan di ruang masyarakat hingga ruang negara.
“Keterwakilan perempuan tidak boleh diabaikan. Harus diakomodir,” ujarnya.
Dr Benny Giyai mengatakan afirmasi bagi perempuan dan OAP harus diperjuangkan dan jangan diam, karena dari situ dapat diliihat keberpihakan negara.
“Kalau memang ada afirmasi bagi OAP terutama perempuan Papua, itu harus diprioritaskan. Namanya sudah jelas-jelas, mengapa harus diganti secara tiba-tiba? Kita harus kritisi kebijakan yang tidak memihak. Jangan diam. Dari situ kita bisa lihat, negara tidak berpihak kepada kita.?,”ujar Dr. Benny Giyai
Salah satu peserta webinar, Otto Gobay, mengatakan bahwa kasus Ance merupakan persoalan bersama.
”Ini soal kita bersama. Ance telah melalui sebuah tahapan hingga masuk 10 besar. Dalam tahapan itu, tidak ada perempuan lain sebagai alternatif, hanya Ance dan pada putusan kedua, namanya diganti, saya minta harus dikembalikan,” katanya.
Salah satu peserta Webinar asal Belanda ,Yuliana, mengkritisi kebijakan negara yang terkesan bersifat pemaksaan dan diskriminatif. Menurutnya tidak semestinya negara yang konon berdemokrasi memperlakukan hal itu. Dia meminta kembalikan hak-hak perempuan.
“Perjuangan yang cukup panjang untuk mendapat pengakuan juga dialami perempuan di negeri kincir angin itu (Belanda). Harus ada kesadaran dalam memposisikan hak-hak gender. Kepada perempuan, mari kita bangun kesadaran bersama atas hak-hak kita yang sering diabaikan dan lenyap begitu saja,”ujar Yuliana.
Pegiat HAM Perempuan dan Anak LBH APIK Jayapura Novita Opki, mengatakan hak-hak perempuan harus direbut kembali dan jangan membiarkan sistem di negara ini membungkam hak dan suara perempuan.
“Mari, kawan-kawan perempuan, kita terus menyarakan kebenaran demi mendapat hak kita. Advokasi perlu terus dilakukan. Perempuan tidak lagi dijadikan objek. Perempuan harus ada dalam rana subjek,” ungkapnya.
Diakhir diskusi, Alfonsa menegaskan kembali agar Negara memperhatikan hak-hak perempuan termasuk ketika perempuan berkontestasi dalam ruang politik electoral.
“Jangan lagi ada pembungkaman ruang demokrasi bagi perempuan Papua ketika berkontestasi dalam ruang politik electoral. Kami menita panitia seleksi segera kembalikan suara Ance Boma kepada posisi semula,” tegasnya. (Alfonsa Jumkon Wayap)