TIFFANEWS.CO.ID,- Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi Dan Bisnis (BEM FEB) Universitas Cenderawasih berkolaborasi dengan Departemen Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik menggelar diskusi bertemakan, ”Buta Dalam Juta – Debu Dalam Tebu. Seluas 2 juta hektare perkebunan tebu di Merauke: ada udang di balik batu?”, Rabu, (3/07,2024).
Diskusi yang merespon isu penting pembukaan Perkebunan Tebu skala besar di Merauke – Provinsi Papua Selatan, menghadirkan empat pembicara diantaranya, Alfonsa J. Wayap—Jurnalis Perempuan Papua Selatan,
Dalam diskusi ini ada tiga pemateri diantaranya, Jurnalis Perempuan Papua Selatan Alfonsa J. Wayap, Periset di Yayasan Pusaka Bentara Rakyat Dorthea Wabiser, Ketua Ikatan Mahasiswa Merauke di Jayapura, Krisimur Chambu dan Ketua Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik, Melkior N.N. Sitokdana, S.Kom., M.Eng
Melkior N.N. Sitokdana dalam pengantar pembuka diskusi mengatakan,hutan, bagi orang Papua adalah identitas dari setiap suku,marga. Hutan itu, laboratorium, sebagai dapur—hidup dari sumber-sumber pangan dari alam itu sendiri.
Jika hutan ditebang untuk perkebunan skala besar, orang Papua akan kehilangan sumber pangan di dalam hutan itu, sebab hutan adalah “dapur.
“Jika sampai hal itu terjadi. Maka, anak cucu dan generasi Papua mendatang akan kehilangan hutan pusaka yang ada sejak turun-temurun. Harus ada gerakan bersama untuk melihat berbagai dampak sosial ke depan,”kata Melkior.
Alfonsa J. Wayap dalam paparannya, mefokuskan pada isu liputannya pada dampak dari kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada keberlangsungan hutan,manusia dan marga satwa.
Alfonsa mengatakan, dampak lain dari hadirnya perkebunan tebu di Merauke adalah terjadi alih fungsi hutan dan krisis iklim. Beberapa satwa seperti hewan endemik seperti rusa, kuskus, kangkuru, mambruk, ikan dan lain sebagainya yang hidup di dalam habitat mereka akan semakin pergi jauh, bahkan bisa saja menyeberang ke negara tetangga, Papua New Guinea.
”Mestinya pemerintah punya upaya tindakan yang harus diapresiasi dengan cara pengakuan hak atas wilayahnya. Dan dengan cara perlindungan wilayahnya itu sendiri,”kata Alfonsa.
Selian itu, Alfonsa mengatakan, kita mesti belajar dari masyarakat adat, sebagai satu sumber pengetahuan karena, yang terbukti mampu menjaga hutan adalah masyarakat adat dan komunitas lokal.
“Kita tidak perlu jauh-jauh bicara di skala internasional. Cukup belajar di kampung, bagaimana orang-orang menjaga hutannya. Itu adalah bagian dari aksi mitigasi dan adapasi terhadaptasi perubahan iklim,”ujar Alfonsa.
Sumber-sumber air untuk satwa misalnya, rusa ketika hendak meminum air. Mereka juga akan kesulitan mengakses air. Ikan-ikan yang menjadi ciri khas Merauke hilang karenaarena tidak dibudidaya.
Berbicara hutan, alam dan isinya, manusia dan binatang saling berpengaruh di dalamnya. Lebih parah lagi bibit-bibit tanaman unggulan masyarakat adat akan ikut punah.
“Masyarakat akan digantungkan pada pembelian bibit tanaman di toko. Itu juga bagian dari sistem kerja kapitalis yang mencari keuntungan laba dari pengalih fungsian lahan. Dari hutan sagu ke lahan padi. Ini bagian-bagian yang tidak pernah di sadari oleh masyarakat adat,” kata Alfonsa.
Alfonsa mengingatkan pentingnya penyadaran dan penguatan kapasitas di tataran masyarakat adat, Gereja dan juga komunitas dan stakeholders lainnya.
Ia menambahkan, perbuuruan rusa yang masif akhir-akhir ini dapat mempengaruhi populasi rusa hari ini dan lima tahun mendatang. Merauke yang dijuluki kota rusa, bisa saja tidak bermakna.
Dorthea melalui pemaparannya mengatakan, masyarakat adat ada karena ada hutan adat yang dilindungi. Hutan yang diwariskan turun-temurun oleh leluhurnya.
Dengan demikian, lanjutnya, hak masyarakat adat harus dilindungi dan dilakukan transparansi sesuai undang-undang yang mengatur tentang masyarakat adat.
Jika nanti hutan dibabat seluas 2 juta hektare demi investasi perkebunan kebun tebu di Merauke, itu pasti berpengaruh pada eksistensi masyarakat adat.
“Eksistensi dari sisi budaya, kearifan lokal hingga akses mendapat pangan lokal. Kemudian 58.148 ha yang bisa teralokasi menjadi kebun tebu itu pun 40 persen atau 25.654 hektare lahan merupakan hutan lindung.,” tuturnya.
Kasimirus Chambu selaku Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Merauke Se-Jayapura mengungkapkan fakta bahwa perusahaan atau pemerintah Indonesia tidak melakukan kajian analisis dampak sosial, lingkungan hidup, manajemen pengelolaan hingga pembagian manfaat dan sebagainya.
“Kami tolak kebun tebu karena memang dari awal pemerintah tanpa melakukan mekanisme berupa kajian tentang analisis dampak sosial, lingkungan hidup, manajemen pengelolaan hingga pembagian hasil yang tidak transparan terhadap masyarakat adat yang mempunyai tanah itu sendiri,” tegasnya.
“Dampak dari ini juga tentu akan memicu terjadinya Ecosida, Etnhosida dan risiko pelanggaran HAM. Yang korbannya adalah masyarakat Malind,” ujarnya.
Proyek perkebunan tebu tidak bermanfaat bagi masyarakat Malind. Menurutnya, kedepan hanya akan menimbulkan konflik atas hak atas tanah. Disatu sisi menguntungkan pemodal, korporasi dan terjadinya kepemimpinan oligarki untuk menguasai hutan dan isinya.
“Sebaiknya, pemerintah membangun ekonomi kerakyatan yang berpihak pada OAP, petani lokal dan penguatan kapasitas tenaga buruh secara adil dan berkelanjutan,” tutupnya. [] Alfonsa Wayap