TIFFANEWS.CO.ID,- Wakil Sekjen FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), Ervyn Young, mengkritisi rencana pemerintahan Prabowo untuk merubah subsidi BBM menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan mengalihkan subsidi BBM ke sektor lain.
Dalam pidato perdana usai dilantik sebagai presiden pada Minggu (20/10/2024). Prabowo menyampaikan banyak janji di bidang ekonomi, salah satunya memastikan subsidi bagi masyarakat miskin tepat sasaran melalui skema penyaluran langsung.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pakar TKN Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Burhanuddin Abdullah menyebut skema subsidi energi diubah menjadi bantuan langsung tunai ke orang, tidak lagi ke barang. Diberikan transfer tunai langsung kepada masyarakat miskin.
Sementara Menteri ESDM Bahlil Lahilada menyebut belum ada keputusan, tapi sedang mencari format yang baik dan benar. Sasarannya agar BBM subsidi itu tepat sasaran.
Menurut Ervyn yang juga Core Team Koalisi KUSUKA NELAYAN Indonesia, pemerintah sebaiknya berhati-hati dalam mengambil kebijakan menyangkut warga cilik. Jangan sampai kebijakan yang diambil justru melepaskan negara dari tanggungjawab untuk menjamin kesejahteraan rakyat dan mengurangi ketimpangan.
Ia membenarkan bahwa salah satu masalah terkait subsidi BBM memang soal ketidaktepatan sasaran, sehingga subsidi BBM belum dinikmati oleh mereka yang berhak.
Namun ia berpandangan situasi itu tidak berarti pemerintah langsung memutuskan untuk merubahnya jadi BLT, atau dialihkan ke sektor lain. Karena kebijakan subsidi itu sangat berbeda tujuannya dengan BLT.
“Ini diskusi soal kebijakan. Mesti hati-hati dan jangan gegabah. Ini khan subsidi sebagai bentuk perlindungan negara terhadap faktor produksi rakyat kecil yang rentan mendapat hantaman ketika terjadi guncangan pasar. Subsidi dimaksudkan untuk mengurangi biaya produksi sehingga rakyat lebih mudah berproduksi dan pendapatan menjadi lebih besar. Dengan kebijakan fiskal seperti itu, rakyat kecil menjadi lebih sejahtera. Nah kebijakan subsidi itu jauh berbeda dengan BLT yang ditujukan lebih kepada perlindungan sosial saat ada guncangan ekonomi. Jika kebijakan fiskal bentuknya subsidi, orang jadi lebih mudah bekerja dan berproduksi, tapi kalau BLT, dananya itu justru digunakan untuk menalangi biaya hidup harian, bahkan sering terjadi justru dibelanjakan untuk yang tidak perlu,” urai Ervyn Young melalui rilisnya yang diterima, tiffanews, Sabtu (26/10/2024)
Ervyn mencontohkan bahwa di sektor kelautan dan perikanan, pemerintah sepanjang 2016-2021 telah mengalokasikan kuota solar untuk nelayan pemilik kapal 30 GT ke bawah dengan jumlah rata-rata 1,96 juta kilo liter per tahun atau sekitar 12 persen dari total kuota BBM JT Solar yang disubsidi. Namun selama bertahun-tahun, realisasi subsidi BBM yang sampai ke nelayan rerata hanya 26 persen. Sisanya, sebagian besar 74 persen. justru dialihkan oleh BPH Migas ke sektor lain, diduga diserap oleh sektor transportasi darat.
“Pertanyaannya kenapa subsidi BBM Solar tidak terserap di sektor perikanan. Jelas karena implementasi program tersebut buruk. Anggarannya sudah dialokasikan, tapi itu tidak sampai ke nelayan karena berbagai sebab. Hasil studi kami di 10 provinsi pada tahun 2021 menemukan bahwa 82,8 persen nelayan kecil tidak memiliki akses terhadap BBM bersubsidi. Karenanya, 83,19 persen nelayan kecil membeli BBM di eceran dengan harga yang tinggi. Jadi nelayan kita harus keluar modal lebih besar. Realisasi solar subsidi 2016-2021, paling besar diserap sektor transportasi darat (92 persen). Sektor transportasi laut menyerap sekitar 4-5 persen. Sementara usaha perikanan serapannya hanya 3-4 persen,” jelasnya.
Ervyn mengungkapkan bahwa menurut beberap studi, komponen BBM menyerap 60-70 persen biaya produksi nelayan kecil untuk melaut. Sisanya untuk logistik. Jadi jika mereka bisa mendapat BBM Solar dengan harga subsidi sesuai program pemerintah, pendapatan mereka bisa jauh lebih tinggi.
Penyebab subsidi solar BBM tidak sampai ke nelayan, pertama karena pendataan nelayan oleh Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) sangat lambat. Selanjutnya, nelayan kecil mengalami diskriminasi karena dibebani dengan persyaratan administrasi yang rumit untuk memperoleh subsidi BBM, ditengah layanan administrasi perijinan yang masih buruk di daerah. Akibatnya, surat rekomendasi pembelian BBM sulit diperoleh nelayan. Padahal mereka yang punya kendaraan tidak ada syarat khusus saat membeli BBM. Yang paling buruk nasibnya adalah nelayan kecil dengan ukuran kapal di bawah 10 GT, karena harus bersaing dengan pemilik kapal yang lebih besar. Dari realisasi tiap tahun sebesar 26 persen, yang menggunakan BBM subsidi adalah pemilik kapal besar ukuran 10-30 GT.
“Lebih-lebih lagi untuk nelayan yang di wilayah Timur Indonesia. Umumnya mereka menggunakan pertalite tapi juga dengan kondisi serupa, sulit diakses karena umumnya jauh dari lokasi aktivitas nelayan. Dalam banyak kasus, yang tersedia justru cuma Pertamax dan nelayan kecil terpaksa membelinya. Saya kira Pak Menteri Bahlil mesti benar-benar memikirkan ini untuk membantu rakyat kita di Kawasan Wallacea sampai ke sekitar Papua, ” ujar pria kelahiran Pulau Sumbawa, NTB ini.
Faktor lainnya yang jadi determinan ialah masih sangat minimnya infrastruktur stasiun pengisian bahan bakar khusus nelayan yang dapat diakses dengan mudah. Jumlah SPBUN yang tersedia hanya 380 atau cuma 3 persen dibanding jumlah desa pesisir yang mencapai. 11.984 desa. Situasi ini diperparah oleh kuota BBM subsidi yang terbatas, tidak sesuai dengan kebutuhan melaut nelayan pada setiap daerah.
Menurut Ervyn, pihaknya tidak dalam posisi menerima atau menolak rencana pemerintah tersebut. Yang diharapkan adalah agar kebijakan yang diambil dihitung baik-baik.
“Maksud saya begini Jika subsidi nelayan dialihkan ke BLT, apa nelayan kecil kita yang jumlahnya 95 persen dari total nelayan nasional itu berhenti melaut, tidak bukan? Itu berarti BBM harus tetap disediakan. Begitu pula SPBU/N untuk mendistribusikan BBM untuk nelayan kecil harus dibangun lebih cepat lagi agar nelayan kita mudah mengakses BBM. Tujuannya agar mereka bisa lebih besar produksinya dan itu membantu perekonomian negara tumbuh inklusif. Jadi pemerintah harus lebih progesif, kerja lebih cepat kalau memang berpihak kepada rakyat. Tapi isu yang paling penting disini, bukankah jika tak ada subsidi BBM mereka akan semakin terpuruk jika terjadi kenaikan harga BBM karena tidak ada subsidi sebagai soul breakernya. Jadi jangan sampai pemerintah dianggap lepas tanggungjawab. Di sisi lain, jika pemerintah mau beralih ke BLT pasti tetap butuh data yang baik agar tidak salah sasaran, jelas pendataan juga mesti dipercepat, memangnya mau main sulap saja. Jadi mau beralih jadi BLT atau tidak, semuanya mesti diperbaiki,” ujarnya.
Karena itu, berangkat dari implementasi kebijakan subsidi BBM sektor kelautan perikanan tersebut, Ervyn yang dikenal sebagai aktivis antikorupsi ini, menegaskan, masalahnya bukan semata soal ketidaktepatan sasaran penerima subsidi BBM. Masalah utama terkait subsidi BBM di sektor tersebut katanya, disebabkan belum adanya kerangka industrialisasi perikanan yang berpihak kepada wong cilik, yang memampukan nelayan kecil tradisional berdaya. Secara gamblang, itu bisa disebut sebagai negara masih absen untuk membantu rakyat kecil. Ia menghimbau pemerintah untuk berpikir lebih mendalam mengenai rencana mengalihkan subsidi BBM tersebut menjadi BLT.
“Jadi kebijakan ini jangan hanya dilihat dari sisi soal masih besarnya penyimpangan semata, melainkan lebih tepat diarahkan kepada perlunya ekosistem bisnis yang lebih sehat untuk nelayan kecil kita. Mungkin isu yang lebih tepat justru bagaimana agar Pak Presiden mendorong adanya hilirasi perikanan yang memampukan nelayan kecil sehingga laut bisa jadi jalan kesejahteraan untuk nelayan tradisional kita yang kondisi hidupnya masih terpuruk. Berharap bisa dilihat secara integral, lebih menyeluruh, yang dibimbing oleh keberpihakan kepada rakyat kecil. Saya kira itu baru bener namanya nasionalis sejati,” pungkasnya. (bn)