TIFFANEWS.CO.ID,- Perkumpulan Terasmitra (TM), Perkumpulan LAWE Indonesia, bekerja sama dengan Pannafoto Institute dan didukung oleh Global Environment Facility-Small Grant Programme, menggelar Pameran Fotografi bertajuk “Tuturan Timur : Tenun dan Budaya yang Hilang”. di Goethehaus, Jalan SamRatulagi Jakarta.
Selain pameran karya-karya dari fotografer Edy Susanto dan Rosa Panggabean, acara yang digelar 11 – 13 Oktober ini diisi dengan serangkaian acara diantaranya, Diskusi tentang budaya yang hilang, Live Musik Akustik, Workshop pemanfatan perca tenun, Workshop Photostory ,Diskusi dan pemutaran film “Bife Atenus”, dan “Sejengkal” dilanjutkan Diskusi pembelajaran film Sejengkal : Stigma Sosial di Masyarakat.
“Bife Atenus” mengangkat budaya perempuan dalam masyarakat Indonesia, terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil, sementara “Sejengkal” membahas stigma sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi. Selain itu, film dokumenter akan memberikan wawasan tentang kehidupan para penenun di wilayah Biboki, Timor Tengah Utara, NTT.
Melalui gerakan “Weaving for Life“, kegiatan ini bertujuan untuk melibatkan generasi muda dalam mempertahankan budaya tradisional seiring dengan pengaruh modern, tanpa mengorbankan nilai-nilai inti dari budaya tersebut. Keterlibatan generasi muda melibatkan penggunaan media film dan fotografi.
Di wilayah timur Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Timur, para pemuda dan pemudi terlibat dalam lokakarya fotografi yang difasilitasi oleh Pannafoto untuk menangkap esensi dari tenun tradisional di komunitas mereka. Hasil fotografi tersebut kemudian disusun menjadi satu cerita, menawarkan perspektif segar dari generasi muda terhadap kerajinan kuno ini.
Pada tanggal 11 Oktober 2023, pameran yang diusung dengan tema “Tuturan Timur: Tenun dan Budaya yang Hilang” dibuka dan akan berlangsung sampai tanggal 13 Oktober 2023 di GoetheHaus Jakarta.
Adinindyah; co-founder mewakili Perkumpulan Terasmitra selaku penyelenggara pameran foto ini menyampaikan bahwa pameran “Tuturan Timur: Tenun dan Budaya yang Hilang” ini dimulai dari kelas Photostory yang berkolaborasi dengan Panna Institute.
Jadi, murid-murid terpilih dari Nusa Tenggara Timur ini mengikuti kelas Photostory dan dimentori bagaimana cara menangkap budaya-budaya yang berkelindan di antara budaya tenun NTT. Selain itu, pameran foto ini juga menampilkan karya salah satu mentor kelas photostory– Kak Rosa Panggabean mengenai regenerasi budaya tenun di Biboki, Timor Tengah Utara, NTT. Dan serangkaian dokumentasi lapangan project Global Environment Facility-Small Grant Programme (GEF SGP) Indonesia phase 6 dari tim Literasi Visual– Mas Edy Susanto tentang perempuan dan budaya yang hilang.
Rangkaian acara Pameran “Tuturan Timur: Tenun dan Budaya yang Hilang” ini dibuka oleh Anton Sri Probiyantono selaku Programme Manager UNDP Indonesia.
Dia menyoroti bahwa dengan acara pameran ini, menjadi sebuah upaya untuk menjaga agar budaya yang ada di masyarakat itu tidak benar-benar hilang.
Pameran foto yang menampilkan cerita tentang Tenun Nusa Tenggara Timur, Perempuan, Regenerasi, dan Budaya yang Hilang ini diawali dengan diskusi tentang “Budaya yang Hilang. Diskusi yang diisi oleh pembicara Stephanie Saing dari Tinum Rambu, Arif Wicaksono yang merupakan seorang peneliti di LPPSP FISIP Universitas Indonesia, dan Salfia Rahmawati; Dosen Antropologi Universitas Indonesia. Diskusi yang secara khusus membahas tentang budaya yang hilang.
Selain pameran foto dan diskusi tentang budaya yang hilang, pameran ini juga akan diisi dengan workshop tenun dan fotografi, juga akan ada pemutaran film Bife Atenus dan film Sejengkal “A Little Twist” di hari Jumat, 13 Oktober 2023.
Pameran ini menjadi langkah awal yang berarti dalam memperkuat hubungan antara budaya tradisional yang hilang dengan masyarakat luas, serta menginspirasi generasi muda untuk ikut serta dalam melestarikan warisan budaya yang berharga ini.
Indonesia, dikenal dengan keberagaman budaya yang kaya akan suku, bahasa, dan tradisi, kini menghadapi tantangan untuk mempertahankan warisan budayanya di era globalisasi dan kemajuan teknologi yang cepat. Seiring dengan perkembangan ini, ada risiko besar bahwa warisan budaya akan pudar dan terlupakan. Menjaga warisan ini adalah hal yang sangat penting untuk mempertahankan identitas unik Indonesia, terutama di tingkat internasional.
Tenun tradisional, bagian tak terpisahkan dari warisan budaya Indonesia, mengandung sejumlah besar kearifan lokal. Setiap wilayah di Indonesia menghasilkan kain tenun yang berbeda, mulai dari warna, pola, hingga bahan yang digunakan. Kainkain ini menjadi ciri khas, menandai asal daerahnya.
Notty J. Mahdi, seorang pemerhati tekstil Indonesia terkemuka, telah menyoroti bahwa negara ini sedang mengalami krisis jumlah pengrajin tenun tradisional, tanpa adanya pengganti yang terlihat. Seiring berjalannya waktu, minat untuk mempelajari keterampilan tenun tradisional semakin merosot. Di beberapa daerah, jumlah pengrajin tenun tradisional terus menurun, menghadirkan risiko hilangnya warisan budaya ini. (bn)