TIFFANEWS.CO.ID,- Kabar Duka. Pendiri Pusat Musik Liturgi (PML) Gereja di Yogyakarta Pastor Karl-Edmund Prier, wafat di Yogyakarta, Minggu (21/1/2024) dalam usia 87 tahun.
Pastor Karl-Edmund Prier dikenal sebagai perintis, maestro dan guru musik yang menerapkan inkulturasi dalam lagu-lagu baru gereja. Dia dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa bidang musik pada Mei 2023. Dia menulis 12 buku yang diwariskan bagi Gereja dan masyarakat.
Pastor Karl Edmund Prier SJ yang sapaan akrabnya Romo Prier, lahir pada 18 September 1937, asal Jerman. Pertama kali datang ke Indonesia pada 1964 dan mendirikan Pusat Musik Liturgi di Yogyakarta pada tanggal 11 Juli 1971 sebagai wadah inkulturasi musik liturgi.
Sebagai Direktur Pusat Musik Liturgi (PML) di Yogyakarta, kepemimpinannya penuh disiplin, ketekunan dan kemandirian. Hal inilah yang membuat PML terus berkembang dan menghasilkan banyak karya khususnya di bidang inkulturasi musik liturgi.
Berikut ini tulisan Johan Suban Tukan, setelah mendengar meninggalnya Romo Prier, hari ini Minggu subuh 21 Januari 2024. Artikel berjudul “Romo Prier Sebuah Pertemuan” ditulis dan dikirim ke Redaksi Warta Musik dan dimuat di tiffanews.
Romo Prier Sebuah Pertemuan” Oleh Johan Suban Tukan
Saya bertemu dengan romo Prier pertama kali ditahun 1973 ketika mengikuti kuliah Filsafat Teologi di Kentungan, Yogyakarta. Untuk ujian akhir mendapatkan gelar Sarjana Muda (kurikulum pada waktu itu) saya membuat paper tentang Musik Gereja dibimbing oleh romo Prier, sebagai salah satu syarat kelulusan.
Saya bertemu dengan romo Prier, ketika study di IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, menyelesaikan studi Sarjana Bahasa dan Sastra Indonesia, sedang kuliah, sore hari saya mengikuti kursus organ di PML tahun 1974 dan 1975 di bawah bimbingan romo Prier.
Dari Flores, bagaikan katak dalam tempurung, saya pikir saya sudah seorang musikus hebat. Tetapi setelah mengikuti kursus organ di PML, saya sadar bakat alamiah itu belum apa-apa. Di atas langit, masih ada langit. Iringan organ dengan achord statis C, F, G, sekarang diperbaiki dan ditingkatkan menjadi iringan berjalan dinamis dengan not balok.
Setelah kursus organ, saya dipercaya oleh romo Prier menjadi pembimbing organis kursus dasar di PML selama 1 tahun. Saya turut serta dalam diskusi-diskusi awal tentang musik Inkulturasi. Saya sadar diperlukan pengetahuan musik dan khususnya tentang Liturgi.
Selama bekerja di Jakarta, saya selalu mengikuti informasi dari PML melalui buku-buku terbitan PML dan Warta Musik. Saya berbangga dalam rangka perayaan 50 tahun PML, artikel ku berjudul “Untuk Mencapai Selera Musik Perlu Pendidikan” dimuat dalam buku Kenangan Perjalanan 50 Tahun PML, termuat dalam halaman 31-35.
Diakhir artikel itu saya mengutip Chris Lowney, Heroic Leadership ” Bagi Yesuit, mereka bertekun karena mereka sekaligus penuh kepercayaan, optimistis, bodoh, dan cukup rendah hati untuk berharap dan menantikan bahwa biji-biji upaya mereka akan tumbuh mekar dalam waktu, cara, dan tempat yang tidak dapat mereka ramalkan atau kendalikan”.
Artikel ini ditanggapi oleh romo Prier melalui WA tertulis ” Terima Kasih Johan atas artikelmu, namun terlalu meninggikan saya. Ketahuilah di PML kami bekerja dalam tim.” Itulah kerendahan hati romo Prier.
Dari Jakarta pun saya dua atau tiga kali, mengirim beberapa orang termasuk beberapa keponakan dan anak saya untuk mengikuti Penataran Dirigen Intensif di PML, antara lain Alfonsia Ema Tadon 2 kali penataran dan sekarang menjadi anggota koor di Paroki Sunter, juga Antonia Humiliata Tukan dan sekarang berhasil menjadi anggota paduan suara Vocalista Sonora di Yogyakarta.
Demikian juga, Merci Corebima yang kemudian menjadi dirigen di Kampung Duri, dan adiknya Ineke pernah mengikuti ujian organis di PML. Sedangkan saudara-saudara yang lain, cukup saja mereka mengerti apa itu musik Liturgi yang beda dari lagu Rohani dan hiburan lainnya.
Dalam rangka menyambut ulang tahun romo Prier 18 September 2023, saya menulis artikel setelah membaca tulisan romo Prier dalam rangka Pemberian Gelar Doktor Honoris Kausal dengan judul pidatonya “Hidup Untuk Musik”. Saya menanggapi tulisan itu dengan judul artikel “Musik Untuk Hidup”.
Artikel itu saya kirim ke romo Prier 14 September 2023, namun tidak ditanggapi lagi oleh romo Prier seperti tulisan pertama, mungkin romo sudah semakin lansia. Artikel itu pun saya kirim ke redaksi Warta Musik, tetapi tidak dimuat.
Diakhir artikel itu saya menulis, saya sendiri sangat senang dengan melodi mazmur tanggapan dari romo Prier ” Hendaklah langit bersukacita, dan bumi bersorak-sorai, dihadapan wajah Tuhan, karena Ia sudah datang” (Puji Syukur 806). Lagu ciptaan Pater Prier ini tahun 1967 menghidupkan hatiku ketika menanggapi bacaan pertama dalam perayaan Ekaristi.
Saya berterima kasih kepada PML dan romo Prier yang buku-buku musiknya dan Warta Musiknya selalu saya langganan dan aku baca. Itulah pertemuanku dengan romo Prier tanpa pertemuan fisik. Karena pertemuan dengan PML itulah, membuat saya selalu kritis terhadap beberapa organis yang main asal bunyi tanpa pengetahuan musik dan liturgi. Mereka lupa bahwa bernyanyi dan bermusik dalam Liturgi adalah doa, dan bukan show atau unjuk gigi.
Semoga jasa Romo Prier terus dilanjutkan oleh generasi muda masa depan Gereja Indonesia.
Jakarta, 21 Januari 2024