Oleh Ferdy Hasiman
Pengamat Tambang & Energi Pada Alpha Research Database, Indonesia
Perusahaan minyak dan gas negara, Pertamina (Persero) perlu menjadi perintis dan pelopor menuju transisi energi ke depan. Transisi energi memiliki gaung besar setelah negara-negara maju mendorong penggunaan energi bersih baik untuk transportasi maupun kelistrikan. Selain itu, KTT Glasgow tahun 2021 juga mendorong dunia menuju transisi energi. Ini berimplikasi pada pengurangan energi karbon dan fosil di sektor otomotif dan kelistrikan nasional.
“Dengan target ambisius di tahun 2060, Pertamina harus melakukan konversi dari energi fosil ke energi terbarukan. Saat ini energi fosil masih mendominasi. Itu kelihatan dari produksi migas Pertamina di atas 500.000 barel per hari. Dengan cadangan minyak yang makin terkikis dan hanya tersisa belasan tahun, Pertamina wajib hukumnya perlahan melakukan proses transisi ke energi ramah lingkungan”
Dengan pengembangan energi baru terbarukan ini, kontribusi revenue (pendapatan) lebih besar. Saat ini kontribusi revenue dari fossil fuel Pertamina masih sekitar 82 persen. “Ke depan, saya berharap, bisnis baru di bidang energi baru terbarukan (renewable) dapat menurunkan kontribusi dari fosil menjadi 60 persen di tahun 2030. Revenue dari energi transisinya lebih besar dibandingkan fosil. Tahun 2060 target pendapatan dari energi baru terbarukan di kisaran 30-35 persen di tahun 2060 mendatang”
Pengembangan lini bisnis energi baru terbarukan ini sudah didorong Pertamina lebih jauh melalui Pertamina Goetermal Energi (PGE) yang sudah melakukan pencatatan saham di pasar modal tahun 2023. Pertamina sudah memahami sejak awal bahwa posisi Indonesia yang terletak di area cincin api, menjadi salah satu pusat energi panas bumi di dunia. Untuk itu, Pertamina mendirikan Pertamina Geotermal Energi (PGE) untuk mengembangkan panas bumi sejak tahun 1974. PGE sudah mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak tahun 2023 ini.
Dengan tercatat di bursa, laporan keuangnnya bisa diakses semua orang, lebih transparan dan masyarakat Indonesia mengetahui apa yang dilakukan Pertamina di sektor energi baru terbarukan. PGE sudah menemukan 70 wilayah panas bumi dan telah menghasilkan energi ramah lingkungan. Sejak tahun 2006, PGE telah berkontribusi 82 persen untuk kapasitas energi panas bumi terpasang di Indonesia. Ini menjadi komitmen bagi Pertamina untuk memberikan energi masa depan yang lebih hijau. Sampai tahun 2022, PGE telah memasok listrik lebih dari 2 juta rumah tangga di Indonesia dengan potensi pengurangan emisi mencapai 9,7 juta ton CO2 per tahun.
Dengan melihat ekspansi yang dilakukan PGE, saya yakin proses transisi menuju energi baru terbarukan sudah mulai berjalan. Pertamina di masa mendatang boleh berharap peningkatan revenuenya juga disumbangkan dari energi baru terbarukan. Inilah juga yang diungkapkan dalam Nikkei Forum tahun 2023. Untuk aspek new business building, melalui subholdingnya (PGE), Pertamina berupaya mengeksplorasi sumber daya energi baru yang diharapkan dapat memberi lebih banyak kontribusi revenue. Pertamina memiliki kewajiban memastikan energi bagi masyarakat available (tersedia), affordable (terjangkau) dan reliable (dapat diandalkan). Ini harus diseimbangkan agar bisa mengamankan energi nasional dan bisa melakukan konversi ke energi hijau.
Dalam 10 tahun atau belasan tahun ke depan memang, energi fosil memang tetap menjadi tulang punggung dan berkontribusi besar bagi revenue Pertamina. Ini tak boleh lepas dari peran Pertamina melakukan eksplorasi minyak dan gas di hulu dan pengolahan di sektor hilir melalui pembangunan kilang menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM), seperti solar, bensin, diesel dan avtur untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik. Indonesia tak boleh tergantung pada korporasi asing atau modal asing untuk mengamankan energi nasional.
Pertamina harus menjadi perusahaan yang dapat diandalkan untuk menjaga keamanan energi nasional. Untuk itu, pengolahan energi baru terbarukan, seperti yang dilakukan subholding Pertamina, PGE adalah langkah penting untuk mengamankan energi berbasis hijau di masa depan. Kita harus paham, mustahil melakukan konversi energi fosil ke energi hijau dalam waktu sekejab. Ini membutuhkan waktu dan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) untuk merealisasikan dekarbonisasi melalui pengembangan energi berbasis hijau. Pertamina tentu harus berupaya menahan laju penurunan alami lapangan minyak dan gas dengan melakukan injeksi dan memanfaatkan emisi karbon untuk meningkatkan produksi Migas. (*)