Oleh:Peter Tukan*
PERIBAHASA yang diwariskan para leluhur kita sangatlah banyak dan salah satu di antaranya adalah: “Tong kosong nyaring bunyinya – orang bodoh banyak bicaranya (sok tahu)” disusul lagi dengan ungkapan lain, “ dia hanya tahu satu – bicara seribu; sedangkan orang lain, “tahu seribu – bicara satu”.
Ungkapan lain yang kita temui di dalam pergaulan setiap hari adalah:”setiap masa – ada orangnya, setiap orang ada masanya atau every time there is a person, every person has a time!”
Sayembara Logo PPS
GONJANG-ganjing – debat kusir, polemik, kritik konstruktif maupun destruktif seputar sayembara logo Provinsi Papua Selatan (PPS) telah merebak di banyak media dan berviral di media sosial (medsos), sejak diumumkan penyelenggaraan sayembara tersebut, hingga berakhirnya perlombaan itu dengan lahirnya pengumuman resmi para pemenang sayembara oleh Panitia Seyambara.
Dalam batas-batas tertentu, perdebatan dan diskusi itu merupakan sebuah kemustahilan di alam demokrasi zaman ini namun, tidak semua yang “nimbrung” berdiskusi, dan berpolemik di media online, media arus utama dan media social itu adalah pribadi-pribadi unggul yang memiliki kedewasaan dan kematangan pribadi dilandasi hikmah-kebijaksaaan dan tata krama ( sopan-santun) ketimuran; serta ditopang oleh pilar-pilar kecendikiawanan (intelektualitas) yang mumpuni.
Media dan media social dimanfaatkan bukan untuk menyuarakan hal-hal positif dan konstruktif demi kebaikan umum (bonum commune) , tetapi sebaliknya, media dijadikan tempat (wahana) untuk menyampaikan “pesan-pesan sponsor politik destruktif”, melampiaskan kekecewaan pribadi dan kelompok, atau juga media dijadikan sarana untuk memaksakan kehendak, sekaligus secara amat vulgar menelanjangi kebodohan diri sendiri di ranah publik.
Logo : Simbol dan Tanda Bermakna
KETIKA seseorang dengan tekun menciptakan logo (logo adalah unsur grafis yang meliputi huruf bergambar) maka dia dengan serta merta menampilkan simbol dan tanda yang sarat makna.
Seingat penulis, pada sekitar 40 tahun yang lalu, seorang ahli di bidang tanda dan simbol, Dr.Nikolaus Hayon,SVD mengatakan, Origenes (184/5-253/4) adalah orang yang pertama berusaha menyingkapkan arti tanda. Origenes melihat tanda sebagai sesuatu yang bukan saja dapat ditangkap oleh pancaindera manusia, melainkan juga yang dapat menyatakan atau menunjuk kepada sesuatu yang lain. Demikian juga St.Agustinus (354-430) menyatakan bahwa tanda adalah sesuatu yang bukan saja dapat diterima oleh pancaindera manusia, melainkan juga yang mewakili sesuatu yang lain. Dengan pengertian ini, kita lantas mengartikan tanda sebagai sarana yang menyatakan, menunjukkan atau mewakili sesuatu yang lain.
Misalnya, dengan melihat jejak kaki seekor binatang, kita tahu bahwa ada binatang tertentu yang telah melewati tempat itu. Jejak kaki bukan saja tanda yang dapat dilihat, melainkan juga menunjukkan sesuatu yang lain, yakni binatang. Dengan melihat asap, kita tahu bahwa pasti ada api. Asap bukan saja dapat dilihat, tetapi juga mewakili sesuatu yang lain yakni api. Dengan mendengar suara seekor binatang, kita bisa mengenal perasaan binatang itu. Suara seeokor binatang bukan saja dapat ditangkap dengan telinga, melainkan juga ia memberitahukan tentang sesuatu yang lain yakni bahwa seekor binatang sedang menderita atau sedang bergembira. Selanjutnya dengan melihat lampu merah pada lalu-lintas, kita tahu bahwa itu merupakan tanda larangan menyeberangi jalan. Lampu merah bukan saja dapat kita lihat, melainkan juga menyatakan: jangan menyeberang jalan!
Jadi, semua tanda mempunyai fungsi sebagai juru tunjuk, dan sebagai pembawa kabar. Tanda juga berfungsi mengajar.
Sebaliknya, simbol (syn-bolein) berarti menghubungkan kembali atau mempersatukan kembali dan menjadi tanda pengenalan kembali.
Nikolaus Hayon bercerita, pada jaman kuno ada satu kebiasaan. Jika seorang anak mau bepergian, sang ayah membelah sebuah dadu atau cincin atau papan menjadi dua bagian. Yang sebelah diberikannya kepada anaknya dan yang sebelahnya lagi dikirimnya kepada keluarga yang akan dikunjungi atau didatangi oleh anak itu. Untuk membuktikan bahwa dialah orang yang dinantikan, maka dua belahan tadi dihubungkan (symbalein). Jia cocok, maka menjadi jelaslah bahwa dialah orang yang sudah dinanti-nantikan kedatangannya.
Jadi Simbol berasal dari kata Yunani “symbalein” berarti menghubungkan kembali atau mempersatukan kembali dan menjadi tanda pengenalan kembali.
Nikolaus Hayon menandaskan bahwa arti simbol terletak dalam kenyataan bahwa ia mengungkapkan suatu kebenaran yang tersembunyi. Ia mewakili suatu realitas spiritual. Dapat juga kita katakana, simbol merupakan tanda yang menyatakan suatu kebenaran yang tidak tampak.
Camkanlah baik-baik bahwa tanda hanya memberikan informasi. Tiap simbol dapat disebut tanda, tetapi tiap tanda tidak dapat disebut simbol. Demikian asap tidak bisa disebut simbol api. Masuk akal jika dikatakan bahwa asap adalah tanda dari api.
Posisi JGG : Bapa Bagi Semua Kaumnya- Gembala Tradisi – Nabi Masa depan
Terkait dengan sayembara logo PPS, kita mengetahui bersama bahwa tokoh besar masyararakat adat wilayah adat Anim-Ha, Drs John Gluba Gebze telah bersuara menyampaikan pikiran dan gagasannya disertai usul-saran konstruktif agar logo PPS tersebut menampakkan arti dan makna yang sebenarnya dari sebuah tanda dan simbol masyarakat adat dan wilayah adat di Selatan Tanah Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Fakta membuktikan bahwa masyarakat adat di Selatan Tanah Papua sangat menyadari bahwa sejak dulu, sekarang maupun akan datatang, mereka tidak hidup sendirian- No man is an Island.
John Gluba Gebze (JGG) justru berada pada posisi ini. Beliau sudah benar-benar menampatkan dirinya pada tempat dan waktu yang tepat yaitu sebagai seorang “Bapa bagi kaumnya” yaitu : kaum adatnya di tanah Malind dan kaum Nusantara yang telah kawin-mawin, beranak-pinak di Tanah Malind.
Ketika seorang JGG yang adalah “Bapa bagi kaumnya” tampil berbicara di ranah publik, terbersit juga wajah kecendekiawanannya. Dia seorang cendekiawan besar di Tanah Selatan Papua, sembari memberikan kritik konstruktif (yang tentu saja dengan caranya yang khas dalam berbahasa). Dia juga mengakui bahwa, semua proses sayembara logo PPS diserahkan kepada wawenang Panitia Sayembara. Inilah sikap dan posisi yang tepat dan benar dari seorang JGG yang adalah juga seorang cendekiawan besar di Tanah Selatan Papua.
Saya mengutip pernyataannya yang disiarkan di media online RMOL: ”Namun ia tidak keberatan sekali terkait hal itu, karena hal tersebut semuanya murni kebijakan panitia ( Berita RMOL Papua seputar sayembara logo PPS -Laporan RMOL Network pada Kamis,20 April 2023,Pkl.22.16.)
Apa makna pernyataan JGG itu? Jawabannya adalah: pernyataan JGG bermakna bahwa memang sudah waktunya proses sayembara tersebut diserahkan kepada Panitia Sayembara yang adalah orang-orang muda hasil didikan dan binaannya semasa dia masih memimpin Kabupaten Merauke yang wilayah pemerintahannya adalah wilayah Provinsi Papua Selatan hari ini selama periode 2001-2010.
Dengan segala kelebihan dan keterbatasan, pantia lomba logo PPS yang adalah anak-anak kesayangannya dan kader-kadernya tempo doeloe itu sudah bekerja!
Jika semua anggota Panitia Lomba Logo PPS adalah kader-kadernya JGG yang hari ini berada dalam lingkup birokrasi pemerintahan Provinsi Papua Selatan maka, suara kritik konstruktif dari JGG kepada panitia sayembara adalah suara kenabian seorang “Bapa bagi kaumnya” sembari menyadari ungkapan ini: ”setiap masa – ada orangnya, setiap orang ada masanya – every time there is a person, every person has a time!”
Sulit bagi pihak-pihak lain untuk mengadu-domba antara Panitia sayembara dengan Bapak JGG untuk sebuah kepentingan politik instant dan murahan. Panitia sayambera adalah anak-anak asuh JGG masa lalu dan JGG hari ini adalah “Bapak bagi kaumnya”.
Posisi JGG pada konteks sayamberaa ini adalah sebagai “Bapak bagi kaumnya” yang di atas pundaknya terpikul marwah dari tanda dan simbol PPS yang harus memiliki makna yang mendalam, bermakna kultural dan spiritual karena memang, bagaimanapun juga tanda dan simbol itu sendiri bermakna kultural dan spiritual.
Pada titik ini, JGG adalah “Bapak bagi kaumnya – Gembala Tradisi dan Nabi Masa Depan” di Selatan Tanah Papua. Itu berarti, dia adalah gembala yang mambawa dan menuntun masyarakat adat dalam tradisi dan budaya Selatan Tanah Papua sekaligu nabi yang memberikan kritik konstruktif sekaligus meramalkan masa depan masyarakat di Selatan Tanah Papua.
Suara Cendekiawan
KETIKA sedang berlangsung dan pasca pelaksanaan lomba logo PPS, banyak pihak bersuara di berbagai media, baik media massa arus utama, media online maupun media social (medsos) seperti facebook, Instagram,dan sebagainya, termasuk para Sarjana dan Cendekiawan, baik yang berkarya di lembaga eksekutif, legislative, lembaga masyarakat adat, perusahaan bisnis, organisasi kemasyarakatan maupun di lembaga perguruan tinggi (dosen).
Patut dicatat baik-baik bahwa, banyak orang menamatkan studi di Perguruan Tinggi tetapi mereka tidak berhasil menjadi cendekiawan. Mereka hanya menjadi seorang sarjana yang (mungkin) sangat ahli dalam bidang studinya, seperti bidang studi ilmu hukum. Di sisi lain, terdapat cukup banyak orang, yang walaupun tidak belajar di perguruan tinggi atau tidak menamatkan studi sebagai sarjana, tetapi mereka tampil dalam masyarakat sebagai cendekiawan.
Pendapat dan saran mereka tentang solusi persoalan dalam masyarakat (seperti sayembara logo) diterima oleh banyak orang. Kita tentu berharap agar banyak orang berhasil menjadi sarjana (seperti sarjana hukum dan selanjutnya mengajar di perguruan tingg) sekaligus dia juga berhasil muncul sebagai cendekiawan di dalam lingkungannnya.
Syed Hussein Alatas mengatakan, pengetahuan mengenai suatu pokok permasalahan tertentu atau memiliki suatu gelar tertentu (seperti gelar Sarjana Hukum) belumlah membuat orang itu menjadi cendekiaean (intelektual) walaupun hal ini sering kali berdampingan; banyak didapat para pemegang gelar dan professor yang tidak memusatkan diri untuk mengenbangkan bidang mereka atau berusaha menentukan pemecahan atas masa tertentu di bidangnya.
Sebaliknya, orang yang tanpa kualifikasi akademis dapat menjadi seorang intelektual (cedekiawan) apabila ia memanfaatkan kemampuan berpikirnya dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai pokok bahasan yang diminatinya. Filsuf Inggris, Herbert Spencer, tidak mempunyai kualifikasi akademis tetapi dialah salah seorang intelektual terkemuka pada zamanya. (Intelektual Masyarakat Berkembang, hal 12-13).
Syed Hussein Alatas selanjunya mengatakan bahwa banyak harapan yang diletakkan di atas pundak kaum cendekiawan (intelektual), antara lain, diharapkan cendekiawan itu mampu menilai suatu masalah secara kontekstual, mendalam dan sinambung.
Cendekiawan harus mampu melihat pohon-pohon dan sekaligus hutannya pula. Cendekiawan harus memiliki kehalusan pekerti (tahu sopan-santun dalam berbiacar dan menulis menuangkan buah pikirannya) dan sadar akan keterbatasannya.
Kembali ke lomba logo PPS, terlihat dan terbaca serta terdengar banyak Sarjana nimbrung berdebat, berdiskusi dan memberikan kritik konstruktif maupun destruktif atas penyelenggaraan dan hasil sayembara logo PPS itu, tetapi realitas membuktikan bahwa para Sarjana yang melakukan atau terlibat diskusi dan debat itu, bukanlah seorang cendekiawan.
Ada Sarjana (contoh Sarjana Hukum) yang berkoar-koar memberikan kritik destruktif dan berdebat kusir tentang sayembara logo PPS, tetapi ternyata dia bukan Cendekiawan. Mengapa? Karena dia tidak berhasil memenuhi harapan bagi seorang cendekiawan yaitu: dia kurang (malahan tidak) memiliki kehalusan pekerti – tidak tahu sopan-santun dalam berbicara dan/atau menulis – menuangkan buah pikirannya dan dia sendiri tidak sadar akan keterbatasannya.
Sarjana yang disebut terakhir inilah yang oleh papatah tua mengatakan:”Tong kosong nyaring bunyinya. Tahu satu- bicara seribu”.
Penutup
KITA patut menegaskan: Tidak perlu sembunyikan bahwa hasil sayembara logo PPS ini belum memenuhi semua harapan. Belum juga sempurna. Banyak saran dan harapan belum juga dapat tertampung dan dipenuhi. Semua ini butuh perbaikan dan penyempurnaan di masa yang akan datang. Hidup ini berproses-tidak sekali jadi. Tetapi, menyampaikan usul-saran dan kritik kepada panitia lomba secara santun, adil, beradab dan bertanggungjawab merupakan sebuah kemustahilan!
Tak ada gading yang tak retak; tak ada pula mawar tanpa duri. Jauh berjalan banyak dilihat- lama hidup banyak dirasakan!
Logo PPS hasil sayembara ini sekali-kali tidak membebaskan kita semua dari kewajiban untuk saling mengoreksi secara etis dan saling menyempurnakan dalam semangat persaudaraan sejati, sembari terus-menerus mencari “Kehendak Tuhan Sang Pencipta langit dan bumi” serta terus berupaya memenuhi harapan para penggagas lahirnya PPS dan tekun menjaga dan melestarikan warisan leluhur di Selatan Tanah Papua yang termaktub di dalam logo (tanda dan simbol) penuh makna
*Peter Tukan: Wartawan, Mantan Kepala Biro Lembaga Kantor Berta Nasional (LKBN) ANTARA Papua.