Oleh Benjamin Tukan
Dipahami secara gampang, pemilu proporsional terbuka adalah sistem pemilu dimana pemilih memilih langsung caleg, sedangkan proporsional tertutup pemilih hanya memilih partai politik.
Sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup itulah yang kini jadi pembicaraan publik karena masih menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Putusan itu pun akan bersifat tetap dan mengikat
Perbicangan soal sistem pemilu proporsional tebuka atau tertutup ini justru semakin ramai karena tahapan pemilu sedang berjalan dan waktu untuk pencoblosan pun semakin dekat. Ada perasaan menunggu dengan harap-harap cemas, karena terbuka dan tertutup ini akan menentukan siapa yang terpilih sebagai wakil rakyat, walau bukan satu-satunya penentu.
Di luar itu, perbincangan yang menyita perhatian ini pun datang dari para ahli hukum yang masih berdebat bahwa apakah MK memiliki kewenangan untuk menyidangkan perkara tersebut. Belum lagi pendapat yang mengatakan bahwa sistem pemilu sangat bergantung pada dinamika politik dan lebih pada pilihan bagi pembentuk UU untuk memilih sistem pemilihan mana yang lebih sesuai dan kompatibel.
Menunggu Keputusan
Apapun perbincangan saat ini, kenyataan bahwa MK sedang bersidang. Publik hanya menunggu keputusan dan bagaimana selanjutnya menjalankan keputusan itu. Jika MK putuskan terbuka, maka pemilu terjadi seperti tiga pemilu sebelumnya, jika tertutup maka diperlukan sosialisasi dan aturan-aturan baru lagi.
Bila tetap dengan proporsional terbuka, hal itu mestinya bukan sekedar melanjutkan tapi perlu pembobotan lagi. Bagaimana pun, sistem ini sudah melewati suatu koreksi yang penting yakni dibawa ke MK untuk disidangkan dan menjadi perbincangan publik dalam kurun waktu yang cukup lama. Pembobotan itu bisa merujuk pada alasan pemohon mengajukan uji materi ke MK dan perdebatan publik setelah itu.
Misalnya, salah satu hal yang menjadi kerisauhan terhadap praktik sistem proporsional terbuka selama ini yaitu sistem ini telah dibajak caleg pragmatis yang hanya mengandalkan modal (Uang) untuk menjual diri dan menjadi populer. Setelah terpilih caleg-caleg pragmatis tidak saja meninggalkan rakyatnya, tapi juga meninggalkan sesama caleg satu partai dan satu dapil yang telah menyumbang suara untuknya.
Padahal bila kita merunut ke belakang, saat diputuskan proporsional terbuka dalam pemilu 2004, hal yang dipikirkan ketika itu, adalah bagaimana hubungan tali mandat antara rakyat dan wakilnya mendapat tempat dalam pemilu dan sesudahnya. Rakyat mengenal siapa wakil rakyatnya, dan wakil rakyat pun mengenal rakyatnya. Dan ingat, saat hendak membenahi sistem pemilu, ketika itu juga dilakukan pembenahan partai politik.
Sebenarnya, sejauh perkembangan pemilu di Indonesia, sistem proporsional terbuka merupakan pilihan yang terbaik. Sistem yang mulai diperkenalkan pasca pemilu 1999 atau lebih tepatnya pemilu 2004 ini, telah melewati diskusi dan perdebatan yang panjang, hingga mengalami penyempurnaan pada pemilu 2009 hingga kini.
Bercermin dari pengalaman pemilu sebelumnya yang ditentukan dan didominasi partai politik, proporsional terbuka menghendaki siapa saja bisa ikut. Hak dipilih dan memilih mendapat ruang yang terbuka lebar. Ini pun bukan perseorangan murni, tapi tetap melalui partai dan nota bene harus menjadi anggota partai.
Proporsional terbuka membawa optimism di kalangan masyarakat, bahwa caleg yang dipilih akan mudah dikontrol, dan mudah pula membawa aspirasi. Orang memilih karena dia mengenal. Pada soal lain, menerima kekalahan caleg pilihannya pun suatu yang sudah mulai dibiasakan, karena sadar bahwa proporsional terbuka mendorong kandidat bersaing untuk kemenangan.
Mengingat kembali pelaksanaan pemilu 2004, pemilu pertama dengan proporsional terbuka (walaupun akan disempurnakan pada Pemilu 2009), ada kesadaran bahwa sistem ini hanya akan berjalan bila kepada pemilih diadakan pendidikan pemilih. Tak hanya itu, menyertai pendidikan politik, ada juga gerakan-gerakan yang masif digalakan untuk membatasi pergerakan politisi opurtunis. Kita kenal ketika itu, salah satunya adalah “gerakan politisi busuk”. Di luar gerakan itu, ada juga gerakan “tolak politik uang” alias ambil uangnya, jangan pilih orangnya.
Artinya apa? Orang tahu kalau warga yang masih dalam tahapan mobilisasi itu perlu diedukasi agar benar benar memilih orang yang berkualitas dan berintegritas. Orang tahu, bahwa sistem ini mudah dimanipulasi sehingga perlu disertai dengan tindakan lain , baik itu pendidikan politik warga maupun pembenahan partai politik.
Masih berhubungan dengan kerja-kerja politik yang mendukung hubungan tali mandat yang diyakni dapat dijamin dalam sistem proporsional terbuka, saat wakil-wakil rakyat ini duduk di parlemen (DPR/DPRD), dilanjutkan dengan kegiatan pemantauan wakil rakyat.
Di parlemen bermunculan kaukus dan pokja-pokja yang saban hari bisa menerima keluhan masyarakat. Hal ini menegaskan bahwa partisipasi masyarakat meningkat sehingga mendorong peningkatan kinerja partai dan parlemen.
Ada proses belajar bersama, baik itu di partai politik, wakil rakyat dan masyarakat untuk menghasilkan suatu perwakilan yang partisipasi, akuntabel, transparan dan representasi. Sayangnya dalam perkembangannya gerakan-gerakan membatasi ruang gerak politisi bermasalah, dan pendidikan politik warga semakin tidak dipedulikan dan nyaris tidak dilakukan.
Pragmatisme politik, barangkali kata yang tepat untuk menyebut gejala ikutan dalam tiga pemilu belakangan ini dengan sistem proposional terbuka. Seperti yang disebutkan di atas, terjadi pembajakan oleh sebagian politisi yang tak berintegritas. Tapi siapa yang disalahkan, kalau bukan dari aktor-aktor politik itu sendiri yang gagal melakukan pendidikan pemilih, termasuk partai politik sendiri yang gagal melakukan seleksi terhadap calegnya. Hal yang lebih banyak disibukan adalah partai politik menggelar serangkaian pelatihan untuk memenangkan kandidat, tanpa berani menyikirkan kandidat yang bermasalah. Padahal partai politik punya fungsi kepartaian yang bila dijalankan secara baik dan terukur, dapat meningkatkan kinerja partai.
Sekalipun absennya pendidikan pemilih, oleh perjalanan waktu masyarakat pun dengan sendirinya bisa belajar dan semakin dewasa menentukan pilihan politiknya. Jika mengamati fenomena perekrutan caleg di beberapa tempat untuk pemilu kali ini, partai pun mengalami kesulitan untuk mendapatkan caleg. Terangnya, orang tidak mau dibodohin lagi, tidak mau dijadikan mesin pengumpul suara, karena setelah suara diperoleh,mesin ditinggalin.
Dengan begitu orang sudah bisa melakukan tawar menawar dengan partai dan sesama kandidat. Salah satunya, dengan membuat kontrak politik tertulis maupun tidak tertulis diantara caleg satu partai dan satu dapil, bahwa siapa pun terpilih harus tetap memperhatikan masyarakat pemilih termasuk pemilih dari caleg yang tak terpilih. Pengalaman bahwa setelah pemilu terjadi pisah jalan, jangan terulang lagi. Tampaknya Pemilu 2024 ini pemilih dan bakal calon lebih selektif dan lebih arif dalam menentukan pilihan.
Jadi, perkembangan ini perlu diapresiasi dengan terus membenahi kekurangan yang terjadi, bukan memilih untuk menggantikan sistem itu. Kalau pun oleh pertimbangan satu dan lain hal setelah banyak soal dibenahi namun tidak kunjung membaik, maka dipikirkan waktu yang panjang untuk memperkenalkan sistem baru itu.
Tapi bagaimana kalau MK memutuskan proporsional tertutup untuk pemilu 2024 ini ? Jika itu yang diputuskan maka jelas dinamika pemilu akan berubah dan terjawab apa yang dirisaukan banyak kalangan. Caleg yang sadar bahwa ia tidak memiliki kedekatan hubungan dengan partai, pasti sangat kecil kemungkinan ia akan diprioritaskan untuk duduk sebagai wakil rakyat.
Belum pemilu, belum juga mendapatkan hasil suara, tapi dengan pikiran-pikiran semacam ini, bukan tidak mungkin banyak caleg akan mengurung niat untuk terlibat penuh dalam pemilu. Cukup dengan setor nama, itu pun sudah cukup untuk menaikan prestise dalam masyarakat, sekalipun tidak menjadi wakil rakyat.
Di luar mereka yang hanya mengandalkan modal uang dan kuasa, caleg-caleg dari kalangan masyarakat yang memiliki integritas mumpuni juga enggan untuk bertarung. Lebih baik tidak berbuat apa apa, daripada berbuat dan sadar akan tidak terpilih. Memperoleh banyak suara pun, besar kemungkinan untuk tersingkir dan suara menjadi sia-sia. Belum lagi perhatian pada caleg perempuan, yang sekalipun kabarnya sistem tertutup lebih memungkinkan partai politik memprioritaskan perempuan, tapi siapa yang menjamin itu. Sementara proporsional tertutup tidak juga menjamin tidak adanya politik uang,
Pemilu sebagai pesta rakyat dalam proporsional tertutup, mungkin saja tidak seramai pemilu sistem proporsional terbuka. Atau mungkin proporsional tertutup lebih ramai dan menggelegar, karena warga dimobilasi. Lantaran antara pemilih dan yang dipilih tidak saling kenal, pada hari pencoblosan, warga datang sekedar memenuhi kewajiban sebagai warga Negara.
Menggantikan sistem pemilu ke proporsional tertutup ibarat memutar balik jarum jam ke belakang, ke masa sebelum reformasi. Sekalipun begitu, untuk mempraktikannya masih butuh waktu untuk melakukan sosialisasi termasuk seiring dengan itu melakukan pembenahan di internal partai politik. Tidak bisa serta merta, apalagi semata menggampangkan persoalan.
Waktu menuju hari pencomblosan kurang lebih 11 bulan lagi. Kita masih bermain-main. (*)