Oleh Titus Pekei
Mahasiswa Pascasarjana PKLH UNJ
Sulit menjelaskan kepada mereka yang tak sungguh mengenal Noken bahwa ada hubungan yang signifikan antara noken dan pelestarian lingkungan. Demikian juga soal ekonomi. Mereka yang tidak mengetahui tentang noken, akan memaksa agar noken segera diindustrikan untuk mendapat keuntungan besar. Padahal keuntungan besar tak menjamin ekonomi berkelanjutan. Justru yang namanya ekonomi berkelanjutan dapat dipelajari dari noken itu sendiri.
Mereka yang tidak mengenal Noken, barangkali bisa menerimanya jika noken dipandang sebagai tas rajutan alami dilawankan tas plastik penyumbang pencemaran lingkungan. Jika pengertian hanya sebatas itu, jelas bahwa persoalan lingkungan tak selesai karena, noken pengganti tas dijawabi dengan industrialisasi yang notabene akan merusak alam.
Itulah sebabnya, dalam beberapa kesempatan saya selalu mengatakan bahwa noken bukanlah tas sekalipun beberapa fungsinya menyerupai tas. Tujuan dari memahami noken dengan cara demikian, agar pembuat noken maupun pengguna noken tetap dalam suatu pandangan yang sama, bahwa noken mengandung nilai kearifan budaya termasuk pelestarian lingkungan.
Kita perlu memasuki sebuah pengalaman hidup mama dan bapa pembuat noken, sebelum kita dapat mengerti tentang noken secara keseluruhan .
Noken dibuat oleh mama-mama dan bapa-bapa pengrajin noken, dihasilkan dalam lingkungan kampung yang sungguh memelihara kearifan lokal. Baik dalam memperoleh bahan baku, maupun dalam proses pembuatannya, semua itu tidak terlepas dari nilai kearifan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang bersangkutan.
Contoh, seorang mama pembuat noken misalnya, saat mengambil bahan dari serat kulit kayu pohon nenduam, pohon nawa, atau anggrek hutan, secara sadar tahu tentang waktu tumbuhnya pohon-pohon itu. Mereka tahu tempat-tempat mana saja yang bisa diambil dan dimana tempat yang tidak bisa diambil atau ditunda.
Sederhananya, tidak serta merta bahan baku diambil dari pohon yang ada, karena bisa saja akan merusak ekosistem yang ada sekitarnya.
Bahan yang diambil dari pohon, tidak membuat pohon tersebut ditinggalkan, melainkan mereka terus memantau perkembangan dari pohon itu. Ketika sudah layak diambil maka mereka kembali ke tempat itu. Apa yang diambil disesuaikan dengan kebutuhan. Tidak berlebihan sehingga tidak terjadi penggundulan hutan.
Hingga menghasilkan noken, hal yang dikerjakan selalu tertuju pada penggunaan yang disepakati atau yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Ini berarti bahwa fungsi-fungsi dan makna-makna sangat diperhatikan. Tidak sekedar untuk memenuhi permintaan hanya sebagai pengganti tas.
Mama-mama penjual noken, tidak menjual noken hanya untuk dijadikan pengganti tas. Mereka tidak menjual untuk memudahkan orang memasukan barang belanja ke dalam noken, lalu sampai di rumah, noken dibuang.
Justru yang mereka bayangkan adalah para pembeli akan menggunakan noken sesuai kebutuhan dalam hidupnya. Sederhananya, noken akan dipakai berulang-ulang, tidak sekali dua kali saja.
Dengan demikian, maka noken menjadi warisan tak benda, yang mengandung di dalamnya makna-makna ekologis yang menunjang kehidupan umat manusia secara berkelanjutan. Noken berkaitan dengan pelestarian atau pemulihan lingkungan agar saling ketergantungan yang terancam diantara manusia dan organisme lain dapat dilindungi.
Sebagaimana ekologis dalam arti yang paling awal, berasal dari Bahasa Yunani “oikos”, yang berarti rumah atau tempat hidup dan “logos” yang bermakna ilmu. Dalam makna yang luas, ekologis berhubungan dengan saling ketergantungan alami dan harmonis dari komunitas. Ekologi juga merujuk pada saling ketergantungan alami di antara organisme, dan antara organisme dan lingkungan.
Tentu saja, kita tidak hendak menolak upaya Negara dalam mensejahterakan rakyat. Namun yang menjadi persoalan jika program-program kesejahteraan itu, justru mempertaruhkan masa depan umat manusia.
Contoh, kita sering mendengar orang bicara tentang prospek pasar dari noken dimana buntutnya adalah industrialisasi Noken.
Maka apa yang terjadi bila industri itu diadakan, tidak lain adalah pengambilan bahan-bahan baku tidak lagi mempertimbangkan segi keberlanjutan ekosistem. Semakin banyak dan semakin cepat bahan baku disediakan, maka mesin-mesin pembuat noken akan berproses menghasilkan ribuan noken. Singkat kata, dengan secara sadar sisi ekologis ditempatkan di bawah kepentingan ekonomi.
Ini tentu berbeda dengan yang ditunjukkan mama-mama dan bapa-bapa pengrajin noken. Yang dikerjakan selalu terarah pada keberlanjutan. Inilah kekuatan masyarakat yang relevan dipelajari saat ini untuk menjawab perubahan dan disorientasi.
Sebagaimana Ekonom Pembangunan peraih nobel, Amartya Sen, berpandangan, kemakmuran sebuah bangsa dapat tercapai bila berbasis pada kekuatan masyarakat dalam kebebasan. Di sini kita perlu memberi tempat pada masyarakat, pada manusia sebagai pelaku yang berjuang mengatasi hidupnya.
Itulah sebabnya, dalam hubungan noken dan pelestarian lingkungan, maka perlu dipikirkan beberapa hal ini. Pertama, masih perlunya untuk mengkampanyekan pengenalan noken pada anak-anak dan remaja Papua. Mereka adalah pewaris yang harus bangga dengan noken. Dengan mengenal, mereka tahu tentang nilai-nilai hidup masyarakat termasuk nilai-nilai dalam menjaga lingkungan. Pendidikan nilai di sekolah harus disertai dengan pendidikan noken.
Kedua, apa yang dipelajari oleh anak dan kaum remaja Papua, harus terkoneksi dengan kelompok-kolompok pembuat noken. Artinya yang dipelajari tidak saja cara pembuatan tapi juga kearifan yang melingkupinya. Mereka harus berada dalam lingkungan noken yang ramah. Mereka tidak boleh tercerabut dari akar budaya mereka, atau asing dengan ilmu yang dipelajari.
Ketiga, perlu lagi memberi tempat pada pemberdayaan kelompok-kelompok noken. Kehidupan kampung,demikian juga pemerintah kampung termasuk pemerintah distrik yang dekat dengan masyarakat, mestinya memiliki program kerja yang berhubungan dengan pemberdayaan kelompok-kelompok noken. Ini jauh lebih penting daripada menghadirkan mesin-mesin untuk memproduksi noken dalam jumlah massal.
Keempat, bagi pemerintah sebagai regulator, perlu mulai mengevalusi perda-perda noken dan mengarahkan lagi pada kearifan lokal dan upaya melestarikan lingkungan. Bahkan bukan tidak mungkin kesadaran akan lingkungan dan budaya harus menjadi bagian dari indikator kinerja. (*)