TIFFANEWS.CO.ID,-Hutan mangrove merupakan habiat hidup berbagai biota, termasuk burung dan ikan. Tak hanya itu hutan mangrove pun dijadikan penyangga abrasi dan laboratorium edukasi.
Dengan tidak memberi perhatian serius terhadap hutan mangrove, termasuk yang ditunjukan dengan kasus terakhir penimbunan material di Teluk Youtefa menunjukan bahwa masa depan hutan mangrove sungguh terancam.
Penimbunan material ini menunjukkan bahwa usaha yang dilakukan masyarakat dan komunitas untuk merawat bakau dari kepunahannya, dengan sejekap rusak dan punah tertimbun material. Memang sulit untuk direhabilitasi lagi.
Menilik eksistensi Mangrove dalam bayang-bayang kepunahaan ini, Alfonsa Wayap mewawancarai dua narasumber yakni, Aktivis Lingkungan yang juga Pendiri Komunitas Rumah Bakau Jayapura, Abdel Gamel Naser dan Dosen Program Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan, FMIPA, Universitas Cendrawasih John Dominggus Kalor. Selasa, 18 Juli 2023.
Berikut petikan wawancara dengan Abdel Gamel Naser
(T) Apa yang terlintas dalam benak Anda ketika melihat hutan bakau ditimbun material ?
(J) Perasaan saya sangat sedih sekali. Apalagi ketika berjalan ke ujung bakau yang bersentuhan langsung dengan material timbunan. Saya pernah menulis begini,” hutan bakau di teluk di Port Numbay ini akan habis ketika tidak ada lagi yang peduli dengan satu komitmen untuk mempertahankannya.
(T) Apakah ini juga merupakan reaksi komunitas—rumah bakau— yang Anda gagas?
(J) Kami sedih karena di tempat lain teman–teman masih berjuang, mencari bibit kemudian menyemai dan menanam bakau. Kawasan bakau yang terus berusaha survive secara alami kini dengan gampangnya dirusak pihak lain.
(T) Jika sudah demikian, bagaimana komunitas Anda menginginkan kembalinya bakau itu seperti semula, terlepas dari siapapun pemiliknya?
(J) Pertama dibuka dulu persoalannya seperti apa agar semua jelas. Mengapa ada pihak yang berani menimbun sedemikian luas di kawasan konservasi? Dari sini, barulah bisa diketahui langkah yang bisa dilakukan. Upaya revitalisasi adalah satu cara untuk mengembalikan lokasi seperti semua. Ini sudah pernah kami lakukan sejak 2011 hingga sekarang di lokasi Mendug.
(T) Apa saja yang dilakukan komunitas Anda merawat bakau, terutama dari ancaman sampah, logam dan pengrusakan oleh ulah manusia?
(J) Kami pernah jalankan bersama teman – teman Greenpeace Indonesia. Aksi ini bertemakan “merawat yang tersisa”. Berangkat dari satu kesadaran bersama dengan melihat kawasan hutan bakau di teluk ini merupakan hutan yang tersisa. Juga memiliki nilai sejarah dan kearifan lokal yang patut dipertahankan. Hutan harus tetap ada dan jangan lagi berkurang akibat keserakahan manusia.
(T) Apakah akses jalan yang dibuka juga mempengaruhi berkurangnya bakau?
(J) Itu sudah pasti. Adanya akses jalan, ada lokasi kiri kanan jalan dengan sendirinya memiliki nilai yang sangat menjanjikan. Bagi pemilik modal ini adalah peluang dan kesempatan untuk “mengganggu” pemilik ulayat dan menjadi dilema karena pemilik lokasi selalu beralasan ekonomi.
(T) Tanggapan Anda kepada pemilik ulayat yang melepas wilayah bakau ?
(J) Menurut saya, aneh bagi saya,sebab, banyak ditemui ketika pemilik negeri ini justru “ngekos”— tinggal di indekos atau kontrak di tanahnya sendiri hanya karena alasan ekonomi, yang sudah saya sampaikan di atas.
(T) Apa yang Anda harapkan dari Pemerintah dengan kondisi hutan bakau seperti ini ?
(J) Ya. Pemerintah perlu tegas menjalankan aturan yang ada. Jika itu menjadi kawasan konservasi, maka sampaikan juga ke public agar pemodal paham. Ketika mereka membeli dan ingin merubah lokasi tersebut maka mereka bisa berfikir dua kali.
==================
Wawancara dengan John Dominggus Kalor
(T) Sebagai akademisi, apakah Anda melihat kasus hutan bakau ditimbun material merupakan indikasi kegagalan dalam memproteksi kawasan hutan lindung?
Ini merupakan kegagalan kolektif semua komponen masyarakat, pemerintah, dan lain-lain. Sekarang dilirik banyak orang untuk pengembangan kawasan wisata dan bisnis, di saat yang sama masyarakat pemilik hak ulayat hanya mengandalkan peningkatan/pemasukan ekonomi dari Sewa/Jual tanah kawasan mangrove.
Ekosistem mangrove sendiri merupakan rumah dan habitat untuk berbagai jenis biota perairan dan termasuk ikan. Satu-satunya kawasan ekosistem mangrove di pesisir Kota Jayapura, ditemukan dan tersebar di Teluk Youtefa.
(T) Seberapa luas kerusakan yang terjadi dalam kurun satu dekade?
(J) Menurut penelitian saya dan juga kawan-kawan “Ekosistem Mangrove Teluk Youtefa,” mencatat kerusakan terhadap ekosistem mangrove dalam kurun waktu satu dekade meningkat dengan sangat cepat yang disebabkan adanya konversi ekosistem, pembangunan infrastruktur, pengembangan kawasan perkotaan, pembangunan jalan, pembangunan jembatan, pengembangan kawasan wisata, dan penangkapan yang berlebihan.
(T) Bagaimana dengan lahan yang tersisa?
(J) Luas ekosistem mangrove yang tersisa di teluk ini hanya 233,12 hektare. Dan mempengaruhi berkurangnya luas area mangrove hingga pada kerapatan jarak tumbuh mangrove. Terdapat 7 speses mangrove sejati dan 3 speses mangrove asosiasi yang ada di hutan tersebut.
(T) Kita tahu fungsi bakau selain penyangga abrasi, juga tempat biota laut dan ikan misalnya yang menjadikan mangrove sebagai rumah untuk berkembang biak dan bernilai tinggi. Apa komentar Anda?
(J) Jenis ikan pelagis di perairan Teluk Youtefa nilainya sangat tinggi. Terdapat 36 famili dan 79 spesies ikan yang hidup perairan tersebut. Sumber daya perikanan ini harus dikelola secara berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan dan peningkatan ekonomi masyarakat Kota Jayapura dan masyarakat lokal yang mendiami tiga desa adat di Teluk Youtefa yaitu Desa Enggros, Desa Tobati, dan Desa Nafri.
(T) Bagaimana dengan eksistensi mangrove untuk bisa dipertahankan sebagai laboratorium edukasi?
(J) Ekosistem mangrove adalah laboratorium dan tempat belajar bagi masyarakat kota Jayapura. Lokasi ini bisa saja lenyap diwaktu-waktu mendatang. Untuk itu, perlu komitmen bersama yang super serius untuk menjaganya.
(T) Bagaimana pandangan Anda terhadap pebisnis yang mengincar kawasan mangrove sebagai tempat bisnis ?
(J) Pebisnis dan peneliti punya sudut padang yang berbeda. Pembisnis lebih tertarik pada berapa banyak rupiah yang dapat dihasilkan dari Ekosistem Mangrove dan Kawasan Teluk Youtefa.
Sedangkan peneliti lebih pada bagaimana Ekosistem Mangrove dan Kawasan Teluk Youtefa dapat diwariskan kepada berapa generasi mendatang.
(T) Apakah perlu perubahan pradigma bepikir bagi pebisnis terhadap kebelangsungan lingkungan?
(J) Ya, sudut pandang mesti dirubah, sehingga ada perubahan model menjadi bisnis yang ramah lingkungan.
( Alfonsa Wayap)