Catatan Orasi Ilmiah Guru Besar Universitas Cenderawasih
Oleh Akhmad Kadir
Antropolog Uncen, sekertaris LPPM.
Pada tanggal 7 Agustus 2023 Universitas Cenderawasih mengukuhkan empat maha terpelajar guru besar. Mereka adalah Professor Dr. Julius Ary Mollet, SE., MBA., MTDev. Dip.Led., Ph.D., bidang Ilmu ekonomi; Professor. Dr., Mesak Ick, SE., M.Si., bidang ilmu Ekonomi Regional; Professor Dr., Drs., Avelinus Lefaan M.S., bidang Sosiologi Pedesaan; Professor, Dr Frans Reumi., SH., MA., M.H., bidang Ilmu Hukum dan Masyarakat.
Sejak berdiri, Universitas Cenderawasih telah menjadi pioneer agen perubahan dan sumber inspirasi terbentuknya peradaban pendidikan di Papua. Berawal dari dibukanya sekolah Bestuur di Kota NICA Sentani yang kemudian menjadi Bestuurs Opleiding School (BOS) atau sekolah Pendidikan Pemerintahan.
Lalu BOS menjadi OSIBA (Opleiding School voor Inheemse Bestuurs Ambtenaren) atau sekolah pendidikan Pamong Praja yang berkedudukan di Holladia Binnen Abepura. Sekolah inilah kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Universitas Cenderawasih di Abepura (UNCEN), sebab pada tahun 1962 OSIBA menjadi “College for Law and Administration” (COLA).
Pada tahu 1963 COLA berganti nama menjadi Universitas Cenderawasih (Leontine E. Visser 2007). Pada era pendidikan Pamong Praja inilah yang kemudian melahirkan banyak tokoh-tokoh penting di Papua
Kehadiran empat Professor dengan latar displin ilmu yang berbeda tersebut, menjadi pilar yang berperan penting sebagai asset kemanusiaan dan pembangunan di Papua. Terutama dalam kemajuan pembangunan di Tanah Papua. Meskipun keempat professor berlatar displin ilmu yang berbeda, namun mereka nampaknya sepakat mengangkat issu yang sama yaitu masalah kemanusia “keterisolasian”, “kemiskinan” dan “ketermariginalan” bagi masyarakat adat Papua.
Catatan penting dari orasi ilmiah empat guru besar Universitas Cenderawasih menujukkan bahwa Unversitas Cenderawasih harus menjadi garda terdepan dalam memajukan tanah Papua, agar Papua sederajat dengan provinsi lain di luar Papua dan keluar dari zona ketermarginalan dan kemiskinan.
Pertama, orasi ilmiah yang disampaikan oleh Prof Mesak Ick, mengemukakan bahwa kekayaan sumber daya alam Papua belum mampu mengangkat Papua keluar dari zona miskin. Meskipun berada di zona “Ring of Fire” yang menempatkan Papua sebagai zona terkaya dalam hal mineral di dunia, namun belum banyak dinikmati oleh orang Papua.
Kebijakan percepatan pembangunan Papua sudah dimulai dari Era Presiden Soekarno sampai Presiden Joko Widodo, namun label lama masih melekat seperti daerah yang masih tertinggal, penduduk paling miskin, dan kualitas SDM yang sangat rendah. Setiap tahun dana triliunan digelotorkan untuk percepatan pembangunan di Papua. Ironisnya, kemiskinan perdesaan masih tertinggi di Indonesia.
Orasi ilmiah Professor Julius Ary Mollet, mengangkat issu pendekatan Green Economic. Prof. Ary Mollet membuka orasinya dengan mempertanyakan “Mengapa masyarakat Papua seolah-olah tidak berdaya dalam tantangan perubahan ekonomi yang dinamis. Masyarakat Papua “tidak berdaya ataupun hopeless” di sektor ekonomi pada era Otonomi Khusus Papua walapun sudah dilakukan dengan pendekatan kebijakan afirmasi.
Seperti juga Prof Mesak Ick, dan Prof Ary Molet, Professor Dr., Drs. Avelinus Lefaan mempertanyakan apakah dana triliunan sudah mensejahterakan masyarakat Papua terutama mereka yang tinggal di pedesaan. Menurut Prof Lefaan, setiap tahun pemerintah pusat mengalokasikan dana Otsus Papua dan Papua Barat kurang lebih 3,8 triliun, tambahan dana infrastruktur sekitar RP 1.4 triliun, dan alokasi dana desa mencapai hampir 4 triliun.
Sementara, Professor Dr., Frans Reumi, SH., M.A., M.H., mengajukan tesis mengenai Pluralisme Hukum dan Peradilan Adat dalam Kerangka Otonomi Khusus.
Keempat professor Universitas Cenderawasih yang dikukuhkan tersebut memberi berbagai alternatif untuk menjawab persoalan kemanusiaan di Papua.
Professor Mesak Ick misalnya, menawarkan ide dan gagasan dalam pengelolaan pembangunan dengan pendekatan Model Contextual Agro-Based Cluster yaitu klaster berbasis Agro (Agro Based Cluster) dan Klaster Agro Kontekstual, melalui penguatan koperasi dan pemasaran produk. Koperasi merupakan keharusan bagi petani, sementara pemasaran produk bisa menjadi titik lemah tapi juga bisa menjadi titik terkuat apabila dimanejemenkan dengan baik dan benar.
Dengan mengutip pandangan Andry (2021), Professor Mesack Ick mengemukakan bahwa untuk mencapai keberhasilan dalam contextual agro-based cluster dalam pembangunan di Papua, maka diperlukan tata kelola penguasaan tanah adat, sistem kepecayaan, ekologi , sistem mata pencaharian, kearifan lokal, dan etos kerja.
Professor Ary Mollet, menawarkan pendekatan green economic (ekonomi hijau) merupakan solusi alternatif pemberdayaan masyarakat di tanah Papua. Melalui pedekatan ekonomi hijau masyarakat Papua dapat hidup sejahtera melalui pengembangan komoditi kakao, kopi dan juga sagu yang tidak merusak lingkungan, tapi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Bahwa green economic sejalan dengan konsep pembangunanan yang berkelanjutan.
Professor Avelinus Lefaan menawarkan pendekatan partisipatif dan kearifan lokal dalam pembangunan di Papua. Dengan menggunakan fislosopi tas “Noken”, Prof. Lefaan menekankan perlu ada perubahan pendekatan pembangunan dari pendekatan yang berorientasi pada pertumbuhan dengan distribusi uang dan politik bantuan material, menjadi pendekatan partisipatif dan swakarsa warga masyarakat desa dengan mengarus utamakan pembangunan Sumber Daya Manusia.
Sementara, Prof. Frans Reumi menawarkan pendekatan “Pluralisme Hukum” dan “Peradilan Adat” dalam pengelolaan pembangunan khususnya pada masyarakat adat Papua. Berbagai persoalan dalam masyarakat dapat diselesaikan dengan pengakuan peradilan adat sebagai bagian dari tata kelola kearifan lokal masyarakat adat Papua. Bahwa kebijakan pemberian UU Otomomi Khusus bagi Papua diharapkan menjadi semangat yang dapat berperan penting dalam kemakmuran masyarakat adat Papua, terutama pada tata kelola pemerintahan, pelayanan publik dan pemberdayaan bagi seluruh masyarakat
Pertanyaannya kemudian bagaimana melihat relasi kuasa daerah (Papua) dan pusat (negara), yang menyebabkan orang Papua belum berdaya dari segi ekonomi. Mengapa dana yang begitu besar belum mampu mengangkat masyarakat Papua dari belenggu kemiskinan dan ketidakberdayaan. Otonomi Khusus sebagaimana dikemukakan Budi Kleden (2008) adalah gagasan yang memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengatur dirinya menjadi sebuah masyarakat yang memiliki ketahanan ekonomi, identitas budaya dan struktur politis yang demokratis.
Sumbangsih “orasi ilmiah” keempat guru besar tersebut telah memberi atmosfir akademik yang sangat berguna. Selamat, semoga capaian yang sangat membanggakan dari empat Guru Besar Universitas Cenderawasih di penghujung tahun 2023 dapat menempatkan Uncen sebagai garda terdepan dalam pembangunan di tanah Papua. Semoga Uncen terus berperan sebagai asset pembangunan kemanusiaan.(*)