Oleh: Peter Tukan*
PASTOR Izaak Bame – seorang rohaniwan menulis sepucuk “Surat Cinta”. Surat itu ditulisnya pada 23 Oktober 2023 dari Sorong, ibukota Provinsi Papua Barat Daya yang ditujukan kepada Apolo Safanpo – Penjabat Gubernur Provinsi Papua Selatan – seorang yang bukan rohaniwan (yang dalam Gereja Katolik disebut kaum awam – yaitu pribadi atau kelompok orang yang bukan pastor tertahbis dan bukan pula rohaniwan).
Surat Cinta tersebut sudah sangat luas berviral secara online dan karena itu, surat cinta ini tidak hanya dibaca oleh Apolo seorang diri yang kepadanya surat ini ditujukan atau dialamatkan, tetapi dibaca juga oleh publik sejagat media.
Kita tentu berharap, Apolo dalam kesibukannya menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan melayani masyarakat serta kesibukannya sebagai seorang tokoh awam anggota Gereja Katolik, masih mau meluangkan waktu untuk membaca surat cinta ini.
Jangan sampai, surat cinta ini dibiarkan berlalu begitu saja, atau hanya membaca judul suratnya saja, lantas ditinggalkan lantaran sibuk mengurus urusan lain yang jauh lebih penting dan lebih bermanfaat bagi banyak orang. Atau, jangan sampai surat ini tidak dibaca karena merasa bahwa surat ini memang tidak penting dan “tidak penting-penting amat” untuk dibaca.
Bagi Penulis, surat cinta Pastor Izaak ini cukup menarik untuk dibaca dan direnungkan, serta diberikan pertanyaan cerdas : Apakah benar bahwa judul surat cinta ini seirama dengan isi suratnya (judul menampakkan isi) ataukah, isi dan makna serta bobot surat cinta ini, justru “jauh panggang dari api?”
Anak Asli Untuk Anak Asli
SURAT cinta ini ditulis oleh Pastor Izaak yang adalah seorang Anak Asli Papua ditujukan kepada Apolo Safanpo yang juga adalah Anak Asli Papua. Jadi, bukan kepada siapa-siapa surat ini ditulis dan dialamatkan. Tetapi justru kepada sesama anak asli Papua.
Surat cinta ini ditulis dalam rangka “menanggapi” keberangkatan Apolo Safanpo ke Vatikan (21/10) dalam rangka berpartisipasi di dalam satu pertemuan diskusi terbatas terkait Pembangunan Papua menuju Papua Tanah Damai.
Beberapa point penting yang dipaparkan Pastor Izaak dalam surat cintanya itu menyatakan antara lain, bahwa Orang Asli Papua sedang mengalami penderitaan di tanah leluhurnya.
Selain itu, Pastor Izaak memperkenalkan dirinya: ”Saya Pastor Izaak Bame,Pr yang juga Ketua Komisi Kerawam (Kerasulan Awam-Red) Keuskupan Manokwari Sorong dan masyarakat asli Papua dari Sorong sampai Merauke menyampaikan Surat Cinta kepadamu,”.
Lebih lanjut Pastor Izaak menulis bahwa dirinya bersama seluruh rakyat asli Papua merasa sedih karena kepergian Apolo ke Luar Negeri hanya untuk menambah daftar kebohongan di dunia internasional terkait dengan situasi di tanah Papua yang tidak punya harapan di hari esok yang cerah.
Pastor Izaak juga mengatakan bahwa dalam berita yang dibacanya di media online Tiffanews.co.id pada 21 Oktober 2023, kepergian Apolo ke Luar Negeri untuk meyakinkan dunia internasional bahwa rakyat asli Papua hidup bersama Bangsa Indonesia penuh damai.
“Saat ini dari Merauke sampai Sorong rakyat Asli Papua tahu bahwa hidup mereka tidak ada harapan di hari esok tetapi Apolo bisa dengan leluasa bersaksi di dunia internasional bahwa Bangsa Indonesia telah membangun rakyat asli Papua dengan damai,” tulis Pastor Izaak Bame,Pr.
Merenungkan Surat Cinta
MEMBACA dan merenungkan tulisan Pastor Izaak Bame yang disebutnya sebagai “Surat Cinta” ini, Penulis hanya menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir. Mengapa?
Bayangkan saja, Pastor Izaak Bame sendiri — yang sedang berada di Sorong, Papua Barat Daya — belum atau malah tidak tahu sama sekali, apa topik diskusi yang dipresentasikan Apolo di hadapan para peserta diskusi di Vatikan saat itu, tetapi, dalam surat cintanya, Pastor Izaak sudah menyatakan bahwa Apolo berada di Vatikan hanya untuk menambah daftar kebohongan di dunia internasional terkait situasi di Tanah Papua. Pertanyaannya adalah, sejak kapan Pastor Izaak tahu bahwa Apolo saat berbicara di Vatikan, menambah daftar keberbohongan tentang Papua?
Apolo terbukti berbohong seandainya ketika peserta diskusi di Vatikan bertanya, siapakah Ketua Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Keuskupan Manokwari Sorong? Dijawabnya: Pastor John Bunay,Pr.
Jawaban yang benar adalah: Ketua Komisi Kerawam Keuskupan Manokwari Sorong adalah Pastor Izaaak Bame,Pr sedangkan Pastor John Bunay,Pr adalah Koordinator Sekretariat Keadilan-Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Keuskupan Jayapura.
Begitu pula seandainya Apolo ditanya, apakah benar bahwa Pemerintah Indonesia telah membangun sebuah jembatan yang lazim disebut “Jembatan Merah” menghubungkan pusat Kota Jayapura dengan wilayah Koya, guna semakin memperlancar arus lalulintas angkutan darat menuju Kabupaten Keerom dan pintu perbatasan RI dengan Papua New Guinea? Maka, Apolo akan menjawab:Ya, Benar!
Apakah dari pertanyaan itu, Apolo harus menjawab:Tidak, sementara realitas membuktikan bahwa “Jembatan Merah” itu memang benar-benar ada dan mungkin saja sudah pernah dilalui kendaraan yang ditumpangi Pastor Izaak Bame.
Atau, apakah Apolo harus menjawab bahwa Pemerintah Indonesia tidak pernah membangun sebuah “jembatan merah” padahal, infrastruktur jembatan itu memang benar-benar ada di depan mata kita?
Seharusnya, ketika mengetahui bahwa Apolo yang juga adalah seorang politisi awam dalam Gereja Katolik ditugaskan Negara untuk berpartisipasi mendiskusikan Papua Tanah Damai maka, Pastor Izaak Bame selaku Ketua Komisi Kerawam Keuskupan Manokwari Sorong mendukung penuh apa yang dikerjakan Apolo sebagai perwujudan amanat Konsili Vatikan II tentang Politisi Katolik: ”Gereja berpendapat bahwa layak dipuji dan dihormati karya mereka yang – demi melayani manusia – membaktikan diri kepada kepentingan Negara dan menerima beban tugas-tugas Negara.”
Justru atas amanat Konsili Vatikan II itulah maka pernyataan Apolo di Bandara Internasional Jakarta (21/10) kepada media massa sebelum meninggalkan Tanah Air Indonesia adalah :”Kami mendapat tugas dari Negara…..”
(Catatan: Penulis sangat percaya, tempo hari ketika Pastor Izaak Bame menerima penugasan dari Uskup Keuskupan Manokwari Sorong untuk memimpin Komisi Kerawam maka, tindakan paling pertama yang dia lakukan adalah mengambil waktu yang cukup untuk duduk dengan tenang membaca, memahami dan mendalami Dekrit Konsili Vatikan II Tentang Kerasulan Awam dan berbagai literatur, serta dokumen seputar Kerasukan Awam sebelum dia melaksanakan tugasnya sampai pada ketika menulis Surat Cinta kepada Apolo).
Sebaliknya, apabila Pastor Izaak Bame dalam Surat Cinta itu menulis bahwa orang asli Papua sedang mengalami penindasan di tanah leluhurnya maka, pertanyaan cerdas yang harus dikedepankan adalah : Siapa atau kelompok/institusi mana yang menindas? Siapa atau kelompok mana saja yang ditindas? (sebut nama satu demi satu). Mengapa ditindas? Sejak kapan ditindas? Dimana mereka ditindas? Apa saja akibat dari penindasan itu? Mana saja bukti penindasan? Dan lebih dari itu yang harus ditanya adalah: Apa jalan keluar (solusi) yang sudah dilakukan oleh Pastor Izaak bersama masyarakat sekitar untuk menghentikan penindasan? Apa yang sudah dilakukan Pastor Izaak dan masyarakat sekitar agar penindasan itu tidak terulang kembali?
(Catatan bagi orang Kristen: Kita tidak boleh hanya membantu korban yang dirampok para penyamun dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho dengan mengobatinya sampai sembuh tetapi harus melangkah lebih jauh dari itu yaitu bersama-sama masyarakat di sekitarnya bahu- membahu menciptakan keamanan di sepanjang jalur jalan Yerusalem ke Yerikho agar tidak terjadi lagi perampokan oleh para penyamun yang beraksi di wilayah itu}
Bagaimanapun juga, kita dituntut untuk harus berbicara (menulis) hal-hal yang benar sesuai fakta di lapangan yang dapat ditangkap pancaindera: dicium aromanya, dilihat dengan mata telanjang, diraba dan dirasakan sendiri.
Begitu pula, jika pada kesempatan diskusi di Vatikan itu, Apolo diminta “berbagi pengalaman” (Sharing) tentang kehidupan masyarkat Papua dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara Indonesia maka dirinya akan berbicara apa adanya sesuai fakta di lapangan. Dia juga tidak akan mungkin menutupi-nutupi kekurangan dan ketidakberhasilan pembangunan di Tanah Papua sekaligus bersama-sama mencari jalan penyelesaiannya (solusi) untuk perbaikan demi kesejahteraan hidup seluruh rakyat di Tanah Papua.
Pada posisi ini, Apolo tidak akan memanfaatkan kesempatan diskusi untuk mengeluh, mengeluh dan mengutuk tetapi yang dilakukan adalah memaparkan fakta pembangunan dan jika ada kekurangan atau kegagalan maka dia bersama rekan-rekan diskusi memberikan usulan mencari jalan penyelesaian yang baik dan bermartabat.
Mustahil bagi seorang Apolo Safanpo yang adalah anak asli Papua menjual dan menggadaikan sesama orang asli Papua di manca negara untuk suatu kepentingan yang tidak beradab dan tidak bermartabat.
Bahwa hari ini Papua berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia: Ya! Ini adalah fakta bukan fiktif (khayalan/mimpi). Bahwa mungkin hari esok ada cerita lain – itu baru terjadi esok. Hari ini adalah fakta (kenyataan) dan hari esok masih mimpi. Seorang Apolo tidak hidup dalam mimpi di siang bolong.
Kita bukan pada posisi membela secara buta. Wajib hukumnya bagi setiap orang untuk berbicara yang benar tentang kebenaran itu sendiri. UU Otonomi Khusus bagi Papua mengharuskan setiap orang (dari segala suku, agama, ras dan golongan) untuk memprioritaskan keberpihakan pada Orang Asli Papua yang lemah, terpinggirkan dan tidak beruntung. Tetapi harus dicamkan baik-baik bahwa mereka yang lemah, terpinggirkan dan yang tidak beruntung itu, tidak hanya terdapat pada Orang Asli Papua saja, masih terdapat begitu banyak orang yang bukan orang asli Papua di Tanah Papua juga bernasib yang sama.
Memprioritaskan tidak berarti mengabaikan yang lain. Memprioritaskan tidak berarti hanya saya atau kelompok saya saja. Memprioritaskan tidak berarti eksklusif, menutup diri dari yang lain.
Begitu pula, keberpihakan dalam semangat UU Otonomi Khusus untuk Papua haruslah dipahami sebagai sebuah tindakan keberpihakan yang didaktis-profetis-prospektif. Artinya, keberpihakn yang mendidik (didaktis) menuju kedewasaan dan kemandirian dalam kemitraan dengan orang lain (solidaritas-kolegialitas). Keberpihakan yang tidak mengabaikan “Suara Kenabian” (Profetis) dan Keberpihakan yang melihat, menatap dan melangkah ke masa depan (Prospektif) dimana masa lalu hanyalah sebagai “kaca spion” untuk sesewaktu menoleh untuk melihat yang ada di belakang- di masa lalu, tetapi harus cepat berpaling menatap ke depan. Apabila kita terus menerus hanya melihat ke belakang (masa lalu) maka kita akan menabrak masa depan yang hadir pada hari ini dan di sini.
Jika Apolo berbicara tentang “Papua Tanah Damai,” maka itu merupakan pelaksanaan dari komitmen (kesepakatan) para pemuka/pemimpin agama (Kristen,Katolik,Islam,Hindu dan Budha) di seluruh Tanah Papua (dari Sorong sampai Mereuke) yang dicetuskan pada tahun 2002. Pada Februari 2002 mereka berkomitmen bersama-sama bergandengan tangan, sehati dan sepikiran, berat sama dipikul-ringan sama dijinjing untuk “Membangun Papua Tanah Damai”.
Penutup
KETIKA pertama kali membaca dan mencermati kata demi kata “Surat Cinta”nya Pastor Izaak Bame,Pr itu, dengan serta-merta Penulis teringat dan merenungkan secara mendalam pendapat John Measheimer.
Dalam Buku “Bagaimana Demokrasi Mati” (How Democracies Die) karya Steven Levitsky & Daniel Ziblatt (Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama), John Measheimer dari Universitas Chicago menyatakan: ”Kebohongan” itu bagian dari politik. Ada kebohongan “selfish” dilakukan demi kepentingan personal. Ada pula kebohongan “Strategis” dilakukan atas nama kepentingan suatu kelompok atau bangsa.
“Dari kebohongan strategis itu, terdapat kebohongan “literal” yaitu pernyataan yang bertentangan dengan fakta,” kata John Measheimer.
Ketika untuk kedua kalinya membaca dan merenungkan isi “Surat Cinta”nya Pastor Izaak Bame ini, Penulis bergumam dalam hati:
“Oh… saya kira Surat Cinta ini paling tidak memunculkan makna dari kata Cinta atau Cintakasih yang sering dikotbahkan dan dihidupi Pastor Izaak Bame selama ini yaitu: cinta(kasih) itu sabar, baik hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakladilan tetapi karena kebenaran dan sabar menanggung segala sesuatu…….”(I Kor 13:4-8)
“Semoga Damai dan Keadilan membaharui wajah Bumi Cenderawasih – sorga kecil jatuh ke bumi – dan melimpahi semua penghuninya dengan Kegembitraan dan Kesejahteraan berlimpah!”
*Peter Tukan: Jurnalis