Oleh Emanuel Y.H. Bria,
Peneliti dan Kandidat Doktor di Sustainable Minerals Institute, the University of Queensland, Australia
Sejak 2021, bandul politik dunia cukup kuat bergerak dalam mendukung transisi energi dari dominasi fosil menuju energi bersih dan terbarukan. Kekuatan politik yang besar itu didorong oleh negara-negara adidaya seperti Inggris, Amerika Serikat, Tiongkok dan Uni Eropa. Saat Konferensi Para Pihak (COP) ke-26 di Glasgow bersama negara-negara yang lain, mereka berkomitmen untuk mencapai titik imbang antara jumlah emisi yang dilepaskan ke atmosfer dengan jumlah yang diserap dari atmosfer (NZE) pada 2050. Konferensi para pihak (COP) merupakan pengambilan keputusan tertinggi dari Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC).
Di penghujung tahun ini, dalam Konferensi Para Pihak yang ke-28 di Dubai, sejumlah komitmen kembali dilakukan. Salah satunya untuk mempercepat pengurangan emisi kendaraan darat lewat pembangunan infrastruktur dan pengadaan kendaraan beremisi rendah atau nol. Pemerintah Indonesia sendiri sejak tahun lalu berkomitmen untuk mendorong penjualan kendaraan listrik sebesar 25 persen dari total penjualan dunia pada 2030 dan terus berusaha untuk menyiapkan ekosistem kendaraan listrik dari hulu hingga hilir.
Gerakan global untuk melakukan dekarbonisasi berbagai kegiatan ekonomi terutama di sektor kelistrikan dan transportasi menunjukan komitmen dunia untuk menyelamatkan bumi dari krisis iklim. Namun dekarbonisasi juga berarti dunia membutuhkan pasokan mineral kritis utama seperti Lithium (Li), Graphite (C), Cobalt (Co) dan Nickel (Ni) untuk mendukung teknologi energi rendah karbon. Permintaan dunia terhadap mineral-mineral tersebut akan meningkat tajam selama beberapa dekade ke depan.
Saat ini Indonesia merupakan penghasil nikel terbesar di dunia. Total permintaan nikel dunia diperkirakan akan meningkat dari 2.9 juta metrik ton pada 2022 menjadi sekitar 5 juta metrik ton di 2030. Untuk memenuhi kebutuhan dunia tersebut, produksi nikel Indonesia diproyeksikan meningkat sekitar 45 persen pada 2030. Kebutuhan nikel untuk industri baja saat ini tetap menjadi yang tertinggi. Hal ini bisa dilihat juga dari jumlah smelter nikel Indonesia yang memproduksi Feronikel dan Nickel Pig Iron (NPI) yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan smelter untuk produksi nikel bagi industri baterai. Akan tetapi, pada 2030 kebutuhan nikel untuk industri baja diproyeksikan menurun sementara nikel untuk baterai akan meningkat sekitar dua puluh kali lebih besar dari sekarang. Dengan demikian, jumlah smelter nikel untuk industri baterai juga akan meningkat.
Sebagai bagian dari Belt and Road Initiative (BRI), Indonesia dan Tiongkok mulai merintis kerjasama program hilirisasi nikel Indonesia pada 2013 di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun hanya pada masa pemerintahan presiden Joko Widodo terjadi perkembangan hilirasi nikel yang luar biasa dengan dukungan investasi dan teknologi dari Tiongkok. Perusahaan-perusahaan raksasa nikel Tiongkok seperti Tsingshan Group dan Huayou menjadi penggerak utama dari pertumbuhan pesat hilirasi nikel Indonesia. Kehadiran perusahaan-perusahaan Tiongkok di Indonesia dengan dukungan pendanaan dari lembaga-lembaga keuangan pemerintah Tiongkok telah menciptakan kesempatan bagi Indonesia untuk mengembangkan kapasitas industri di bidang nikel.
Meskipun demikian, saya memiliki sejumlah catatan umum yang mudah-mudahan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dan dunia usaha agar industri nikel Indonesia bisa lebih berkualitas dengan mengarus-utamakan praktek-praktek terbaik dunia terkait perlindungan lingkungan dan sosial serta penguatan tata kelola (governance) nikel.
Perlindungan Lingkungan dan Sosial
Ratusan perusahaan tambang dan smelter nikel saat ini beroperasi di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara. Daerah-daerah ini disebut sebagai Wallacea yang diambil dari nama naturalis Inggris Alfred Russel Wallace (1823-1913). Wallace menemukan apa yang sekarang disebut sebagai Wallace line, wilayah perbatasan biogeografi antara Asia dan Australasia (lihat gambar 1).
Wallacea merupakan salah satu lokasi yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia. Di sini terdapat ekosistem ultramafic dengan hutan, flora dan fauna yang endemik. Wallacea juga merupakan bagian dari coral triangle yang menyimpan 30 persen dari terumbu karang dunia. Dengan konteks ekosistem yang khas seperti ini, setiap kegiatan pertambangan dan industri smelter nikel wajib memperhitungkan dan memitigasi berbagai resiko dan dampak negatif yang mengancam rusaknya lingkungan salah satu wilayah yang justru punya peranan besar dalam menyerap karbon dunia. Tentu akan menjadi sebuah ironi, jika kegiatan industri nikel untuk dekarbonisasi dunia justru merusak ekosistem alam yang sudah berkontribusi besar dalam menyerap karbon dunia.
Kawasan industri di Pulau Obi, Halmahera, dan Sulawesi terletak di daerah-daerah terpencil dengan tingkat ekonomi dan sumber daya manusia yang rendah. Masyarakat setempat hidup sebagai petani dan nelayan subsisten. Dalam rentang waktu kurang dari satu dekade, tambang dan industri smelter nikel hadir di kampung-kampung mereka dalam jumlah yang masif. Bukan hanya itu, kegiatan industri nikel juga telah menyebabkan migrasi populasi besar-besaran dari Tiongkok dan wilayah lain di Indonesia ke sana sehingga turut melahirkan berbagai persoalan yang serius seperti konflik sosial, tekanan terhadap masyarakat adat dan lokal, bertumbuhnya kantong-kantong wilayah yang kumuh di sekitar kawasan industri nikel yang menciptakan masalah kesehatan masyarakat, lingkungan dan seterusnya.
Perubahan pemanfaatan lahan dari wilayah pertanian menjadi industri nikel yang bersifat padat modal dan teknologi dengan kebutuhan kualifikasi sumber daya manusia yang tinggi, menyebabkan para petani dan nelayan lokal sulit untuk alih profesi dan mengambil bagian di dalam industri tersebut secara maksimal. Tidak mengherankan jika tingkat pertumbuhan ekonomi di provinsi-provinsi penghasil produk nikel tersebut tinggi namun angka kemiskinan juga meningkat. Kita harapkan persoalan-persoalan sosial di atas dapat diselesaikan oleh pemerintah pusat dan daerah serta industri.
Terlepas dari berbagai kendala yang dihadapi, pengalaman PT. Vale Indonesia di Sorowako, Sulawesi Selatan selama lima dekade terbilang berhasil di dalam membangun kapasitas sumber daya manusia daerah dan mempekerjakan lebih dari 80 persen orang Luwu Timur di perusahaannya. Pengalaman ini dapat dilihat sebagai salah satu contoh yang baik bagi dunia industri nikel Indonesia. Dunia usaha perlu menyadari bahwa bisnis yang berkelanjutan hanya bisa berjalan jika mereka turut berkontribusi secara positif bagi pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat setempat.
Penguatan Tata Kelola Industri Nikel
Saat ini terdapat sekitar 260 an perusahaan nikel yang beroperasi di Indonesia baik yang besar maupun kecil. Namun dari ratusan perusahaan nikel tersebut tidak sampai sepuluh perusahaan yang membuka data keuangan dan kepemilikan perusahaan kepada publik baik melalui laporan keuangan di website perusahaan, bursa efek Indonesia,maupun lewat mekanisme transparansi seperti Extractive Industries Transparency Initiative (EITI). Mayoritas perusahaan tambang nikel di Indonesia masih beroperasi di dalam kegelapan. Ke depan, untuk memperkuat tata kelola industri nikel di Indonesia, pemerintah perlu mendorong perusahaan-perusahaan tersebut untuk menjadi lebih terbuka dan menjalankan praktek pertambangan nikel yang bertanggungjawab.
Selain itu, masalah tata kelola lain yang cukup serius adalah interface antara perusahaan-perusahaan tambang nikel yang besar dengan yang kecil serta pasokan ore nikel ke smelter-smelter oleh tambang-tambang ilegal yang merusak hutan, lingkungan hidup dan merugikan keuangan negara.
Kasus korupsi di Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara yang melibatkan sejumlah pejabat kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) setidaknya menunjukan dua tipologi resiko korupsi yang bisa diidentifikasi:
Pertama, sub-contracting dari PT. Aneka Tambang (Antam) ke perusahaan-perusahan kontraktor yang tidak melalui mekanisme due dilligence yang ketat dan terbuka. Ke depan perusahaan tambang nikel yang besar seperti Antam bisa mengambil inisiatif untuk membuka kepada publik terkait aturan dan praktek pelaksanaan sub-contracting sebagai upaya di dalam memitigasi resiko terjadinya korupsi dan kegiatan tambang ilegal oleh perusahaan-perusahaan kontraktornya.
Kedua, pasokan ore nikel ke smelter (khususnya standalone smelter) oleh perusahaan-perusahan yang melakukan tambang nikel ilegal dengan menggunakan dokumen-dokumen palsu yang disetujui oleh pejabat ESDM. Pola seperti ini kerap terjadi karena tidak adanya proses due dilligence yang ketat dan terbuka oleh smelter-smelter dan proses pasokan ore nikel ke smelter-smelter tersebut masih berada di dalam kegelapan sehingga lolos dari pengawasan publik.
Untuk memastikan adanya perbaikan tata kelola dalam rantai pasok nikel, pemerintah Indonesia perlu mendorong public disclosure rantai pasok nikel mulai dari mulut tambang hingga smelter sehingga setiap ore nikel yang dipasok ke smelter dapat dipastikan legalitasnya untuk menghindari kerugian keuangan negara akibat korupsi serta pemenuhan tanggungjawab sosial dan lingkungan.
Indonesia memiliki peranan yang besar untuk menyelamatkan dunia dari krisis iklim lewat industri nikel. Pada saat yang sama industri nikel juga berpotensi untuk menjadikan Indonesia sebagai pemain ekonomi yang penting di dalam rantai pasok kendaran listrik dunia.
Akan tetapi, jika pemerintah dan dunia usaha tidak mendorong pembangunan industri nikel yang inklusif, kebijakan dan praktek industri yang bertanggungjawab secara lingkungan dan sosial serta memperkuat tata kelolanya, maka bukan tidak mungkin industri nikel hanya akan memperkaya masyarakat kota dan berpendidikan tinggi serta pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dunia, sementara masyarakat lokal di Wallacea sekedar menerima kutukan berbagai persoalan sosial dan lingkungan yang diakibatkan oleh industri ini.*****