Penulis : Ronny Imanuel Rumboy, ST – Jurnalis
TIFFANEWS.CO.ID – Pembangunan menuju Pilkada Papua Selatan Tahun 2024 menjadi isu yang sangat menarik untuk dibahas. Namun, jika pembangunan fisik dilakukan tanpa memperhatikan pembangunan manusia, hal ini menjadi masalah yang serius. Beberapa kandidat dalam pertarungan calon kepala daerah, termasuk Gubernur dan Wakil Gubernur, sering kali menggaungkan visi pembangunan di Papua Selatan.
Salah satu calon yang sering menjadi sorotan adalah Apolo Safanpo, mantan Penjabat Gubernur Provinsi Papua Selatan. Ia sering kali dibenturkan dengan isu pembangunan, terutama karena fokusnya pada pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) dianggap sebagai hal sepele dibanding gedung – gedung mewah.
Mengapa demikian ?
Slogan-slogan seperti “Saya Yang Bangun ini” dan “Saya Yang Bangun Itu” yang digaungkan salah satu kandidat menjadi cukup problematik, karena masyarakat dipaksa untuk mengakui bahwa pembangunan fisik bisa menutupi kenyataan bahwa banyak orang masih tidak mendapatkan pendidikan yang layak, guru-guru tidak dihargai, gaji honorer ditunda, dan pengusaha lokal terdesak oleh perusahaan besar yang terus masuk.
Pertanyaannya, apakah pendekatan seperti ini mampu menyelesaikan masalah mendasar? Jelas tidak.
Sebagai contoh, pemerintah memiliki program pembangunan infrastruktur di wilayah perkotaan untuk mendorong kemajuan perekonomian, tetapi sering kali kualitas pembangunan tersebut diabaikan. Pembangunan sering kali dilaksanakan tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya, termasuk kerusakan lingkungan. Fokus pada modernisasi wilayah perkotaan dapat memarjinalkan daerah pinggiran dan perkampungan, menciptakan kesenjangan sosial yang signifikan antara warga kota dan mereka yang tinggal di desa.
Pembangunan infrastruktur tanpa disertai pembangunan sumber daya manusia hanya akan menambah statistik masyarakat yang dianggap marjinal, berdasarkan indikator yang tidak jelas. Tidak semua lapisan masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan, dan masih ada kelompok yang terpinggirkan dari kemewahan modernisasi.
Pakar pembangunan Dunia Ketiga, Arief Budiman, mengemukakan dua hal yang dapat menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan: pertama, pertumbuhan ekonomi yang tinggi; dan kedua, kesinambungan pembangunan yang tidak menyebabkan kerusakan sosial dan lingkungan.
Sayangnya, pembangunan yang digencarkan oleh pemerintah di kabupaten masih mempersoalkan fisik dibanding manusianya.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah pembangunan berkesinambungan yang tidak hanya fokus pada peningkatan ekonomi maupun fisik tetapi juga pada kualitas hidup masyarakat yang akan berdampak pada pola pikir dan kesadaran mereka. Pendekatan ini tidak hanya harus dilakukan secara formal, tetapi juga secara kultural.
Tindakan yang diperlukan adalah berposisi di tengah masyarakat, menjadi pemantik, dan bergerak bersama mereka untuk bangkit, maju, dan berdaya. Program-program pembangunan tidak bisa sepenuhnya dilakukan dengan pendekatan top-down, tetapi juga memerlukan pola bottom-up. Pendekatan ini tidak hanya reaktif, tetapi juga harus responsif, sehingga masyarakat merasa didukung dan tidak sendirian dalam mengatasi masalah yang ada.
Aktor pengembangan masyarakat harus memiliki perencanaan, pendekatan, dan strategi yang terstruktur. Upaya ini juga berfungsi sebagai sarana edukasi dan transfer ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Harapannya, masyarakat menjadi lebih sadar dan cerdas dalam menyikapi berbagai keresahan yang dihadapi, serta mampu memecahkan masalah internal dan membangun komunitas yang mandiri.
Dengan demikian, pembangunan yang dilakukan tidak hanya sebatas pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan berkesinambungan yang menghasilkan masyarakat yang berkualitas dan berdaya, tanpa merusak tatanan sosial dan ekologi. (Ron)