Oleh: KIKI SYAHNAKRI
Baru-baru ini Presiden Prabowo telah melemparkan wacana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD. Berbagai tanggapan publik pun serentak bermunculan, baik yang pro maupun yang kontra.
Alasan mereka yang setuju pilkada dipilih kembali oleh DPRD, karena pilkada langsung yang telah kita jalani sejak Tahun 2005, dinilai sangat tidak efisien, cenderung menghamburkan uang negara, dan ternyata perilaku kepala daerah terpilih mayoritas sangat jauh dari harapan. Pengalaman lalu menunjukkan bahwa banyak kepala daerah terpilih yang harus berurusan dengan KPK. Alasan lain, dalam proses pemilihan mulai dari tahap penentuan calon sampai dengan penetapan calon terpilih, telah banyak menimbulkan konflik politik dan konflik sosial. Presiden Prabowo juga mencontohkan India, Malaysia dan Singapura yang pemilihan Kepala Daerahnya dilaksanakan oleh DPRD.
Sedangkan mereka yang menghendaki pilkada tetap dilaksanakan secara langsung, pada umumnya beralasan bahwa pemilihan langsung lebih demokratis daripada dipilih oleh perwakilan. Pemilihan langsung menunjukkan besarnya peran masyarakat dalam menentukan pemimpinnya serta menentukan kebijakan publik. Alasan lainnya: Untuk memutus rantai oligarki pimpinan partai, meningkatkan kualitas kedaulatan dan partisipasi rakyat, mewadahi seleksi kepemimpinan dari bawah, meminimalkan politik uang, serta meningkatkan kualitas legitimasi.
Sejak kemerdekaan, Indonesia pernah menerapkan beberapa sistem pemilihan kepala daerah. Pertama, sistem pengangkatan oleh pusat, yang digunakan sejak pemerintahan kolonial Belanda, penjajahan Jepang hingga awal kemerdekaan. Kedua, sistem penunjukan yang diterapkan menyusul Dekrit Presiden 1959. Ketiga, sistem pemilihan oleh perwakilan, dalam hal ini oleh DPRD, kemudian ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Keempat, sistem pemilihan oleh perwakilan (murni), kepala daerah dipilih secara murni oleh DPRD tanpa intervensi pemerintah pusat. Sejak 2005, pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung. Sedangkan pilkada langsung-serentak yang diselenggarakan sejak 2015, dimaksudkan untuk meminimalkan biaya sosial, politik maupun ekonomi.
Sistem Pemerintahan
Ketika para founding fathers merancang sistem pemerintahan negara, mereka mempertimbangkan karakteristik demografi Indonesia yang majemuk sangat luasmultidimensi (suku/ras, agama, budaya, bahasa, dll). Berdasar kemajemukkan tersebut, di bidang politik diprediksi akan terjadi multi partai. Prediksi ini terbuti dalam pemilu 1955 pendaftarnya terdiri dari 172 partai politik (parpol), pemilu 1999 (pemilu pertama setelah reformasi) diikuti oleh 48 parpol. Dengan kondisi seperti itu, maka sangat kecil kemungkinan ada parpol pemenang pemilu dengan angka lebih dari 50%. Olehkarenanya jika menggunakan sistem parlementer dapat dipastikan akan mengalami kesulitan dalam membentuk pemerintah, kalaupun dapat terbentuk namun pemerintah akan labil dan kabinet mudah dijatuhkan. Keadaan ini terbukti dari pengalaman Indonesia sendiri pada era 1950 – 1959. Begitu juga dalam penggunaan sistem presidensial, akibat tidak ada parpol yang memperoleh suara di atas 50%, maka kandidat Presiden terpaksa harus bertarung dengan menggunakan perahu koalisi yang rentan pecah. Posisi Presiden di Parlemen pun tidak cukup kuat, untuk menggulirkan roda pemerintahan pasti akan menghadapi hadangan politik yang cukup besar. Oleh karenanya presiden terpilih terpaksa harus memilih jalan politik “dagang sapi” untuk memagari posisi/kekuasaannya. Ongkos berkoalisi dan berdagang sapi ini tentu mahal, secara politik terpaksa harus berbagi kekuasaan sehingga tidak bisa membentuk kabinet ahli (zaken cabinet) yang sesungguhnya sangat diperlukan.Secara finansial harus nyawer parpol pendukung, untuk itu sangat mungkin akan menggunakan dana APBN. Dengan adanya masalah fundamental tersebut maka para founding fathers dengan arif-visioner tidak memilih sistem presidensial maupun parlementer. Mereka menentukan/menetapkan sistem pemerintahan khas Indonesia yang dirancangnya sendiri yang mereka sebut sebagai “Sistem Sendiri atau Sistem MPR”, disebut juga sebagai ”quasi presidensial” di mana Presiden dipilih oleh rakyat (langsung atau oleh perwakilan) dan dalam menjalankan roda pemerintahan kedudukannya di bawah satu lembaga/parlemen. Dalam Sistem Sendiri Presiden dipilih oleh MPR, berkedudukan di bawah MPR (sebagai mandataris MPR). Bersama-sama DPR bertanggung jawab kepada MPR selaku lembaga tertinggi negara dan pelaksana kedaulatan rakyat. Sedangkan Kepala Daerah dipilih oleh DPRD.
Demokrasi Perwakilan
Bung Hatta mengatakan bahwa prinsip demokrasi bagi bangsa Indonesia yang sangat majemuk multidimensi adalah “keterwakilan, bukan keterpilihan”. Maka founding fathers merancang dan menetapkan sistem demokrasi perwakilan sebagaimana bunyi sila ke-4 yaitu: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Merupakan sistem demokrasi ala Indonesia, berazaskan kolektifisme, mengusung nilai kebersamaan-kekeluargaa, disebut juga sebagai Demokrasi Pancasila.
MPR adalah lembaga tertinggi negara yang merepresentasikan kedaulatan rakyat. Maka keterwakilan segenap kelompok masyarakat dalam lembaga ini harus lengkap. Untuk itu, keanggotaannya terdiri dari anggota DPR (dipilh lewat pemilu) serta Utusan Daerah (UD) dan Utusan Golongan (UG) yang ditunjuk. Prinsip keterwakilan dalam MPR harus diimplementasikan dengan mengedepankan egalitarianisme. Sebagai contoh empiris, suku-suku di Papua, Dayak, Badui, Anak Dalam dan berbagai kelompok etnis/minoritas harus terwakili dengan cara “ditunjuk”, bukan dipilih, karena tidak mungkin mereka terwakili dengan cara pemilihan langsung melalui free fight ala sistem demokrasi liberal, sehingga kepentingan mereka dapat diperjuangkan di parlemen. Keterwakilan juga merupakan perekat bagi masyarakat/bangsa yang serba majemuk seperti Indonesia.
Sayangnya, sistem pemerintahan dan sistem demokrasi rancangan founding fathers yang cemerlang tersebut belum pernah dilaksanakan sepanjang sejarah kemerdekaan. Selama era Bung Karno, MPR selalu bersifat sementara (MPRS), dengan demikian terjadi kooptasi MPR oleh eksekutif. Pada era Pak Harto, keanggotaan MPR, dalam hal ini Parpol, UD dan UG dikendalikan oleh beliau, sehingga kooptasi MPR oleh eksekutf tetap berlangsung. Pada era reformasi MPR malah didegradasi menjadi lembaga tinggi negara yang sejajar dengan DPR dan lembaga kepresidenan. Agar MPR benar-benar menjadi lembaga tertinggi negara, terhindar dari kooptasi eksekutif, seharusnya penunjukkan UD dilakukan oleh lembaga yang memiliki pengaruh di daerah tersebut. Sebagai contoh di Papua dan beberapa daerah lainnya ada lembaga adat, maka biarkan lembaga adat tersebut yang menunjuk UDnya. Demikian juga penunjukkan UG, biarkan organisasi pembina golongan seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan organisasi semacam lainnya menentukan sendiri perwakilannya di MPR
Perlu difahami bahwa sistem demokrasi (apapun) bukan merupakan ide statis yang diletakkan di ruang hampa, melainkan harus ditempatkan dalam realitas atau disesuaikan dengan realisme kehidupan multiaspek dari masyarakat/bangsa, harus disesuaikan dengan tatanan sosial-budaya lokal/domestik. Pemaksaan sistem demokrasi liberal di Indonesia dapat diibaratkan melakukan transfusi darah dengan golongan darah yang berbeda. Akibatnya sangat parah, lambat atau cepat akan terjadi kerusakan sosial yang berpotensi bermuara pada perpecahan bangsa.
Prinsip Meritokrasi
Meritokrasi atau merit sistem, adalah sistem pemilihan pejabat/pimpinan dengan menggunakan tolok ukur integritas, wawasan, kemampuan, prestasi, pengalaman, bukan karena kekayaan atau kelas sosial. Meritokrasi dibutuhkan dalam setiap organisasi, baik yang bergerak di bidang politik, bisnis, olahraga, kemasyarakatan dan sebagainya, apalagi bagi organisasi pemerintahan. Meritokrasi akan menjamin terpilihnya orang yang tepat untuk menjadi pimpinan atau ditempatkan dalam suatu jabatan.
Filosofi pemilihan tidak langsung atau pemilihan oleh dewan perwakilan adalah: ”Untuk menentukan pemimpin yang akan memimpin jutaan/puluhan juta/ratusan juta rakyat, tidak bisa diserahkan kepada mereka yang tidak tahu. Melainkan harus menyerahkannya kepada mereka yang tahu tentang kriteria pemimpin yang dibutuhkan, seluk-beluk organisasi yang akan dipimpinnya, serta karekteristik calon yang diajukan”. Maka pemilihan pemimpin/pejabat oleh dewan perwakilan yang merupakan orang-orang pilihan yang pasti lebih mengerti dari pada masyarakat umum, tentu akan lebih menjamin terimplementasikannya prinsip meritokrasi.
Mekanisme pengambilan keputusan dalam Demokrasi Pancasila dilakukan dengan mengedepankan ”musyawarah-mufakat”. Pengambilan keputusan ini didasarkan pada kualitas ide/rasionalitas, bukan kuantitas suara. Ide rasional dan cemerlang yang muncul dari kelompok minoritas, dapat menjadi keputusan bersama. Sehingga melalui mekanisme ini akan didapatkan keputusan yang mengandung “hikmat kebijaksanaan/kearifan”.
Dengan demikian sistem demokrasi perwakilan dan pemilihan tidak langsung merupakan pilihan yang sangat tepat bagi bangsa Indonesia yang sangat majemuk, karena dapat menjamin terselenggaranya prinsip meritokrasi dan yang lebih fundamental karena didasarkan pada kultur dasar masyarakat/bangsa Indonesia yang berifat kolektif, kekeluargaan, bukan bersifat individual sebagaimana Masyarakat Barat.
Kesiapan Pemilihan Tidak Langsung
Untuk melaksanakan pemilihan tidak langsung, diperlukan kesiapan yang cukup matang, bila tidak, hasilnya akan tetap buruk. Untuk itu, diperlukan anggota DPR, MPR, dan DPRD yang berkualitas. Idealnya mereka yang berintegritas atau memiliki karakter yang patut dibanggakan, memiliki kompetensi unggul di bidangnya masing-masing, serta patut menjadi teladan. Namun sangat disadari bahwa dalam kondisi kekinian sangat sulit mendapatkan anggota yang berkualitas seperti itu. Maka untuk sementara harus dicari mereka yang berkualifikasi ”cukup” berintegritas dan memiliki kompetensi di bidang masing-masing
Untuk mendapatkan anggota DPR, MPR dan DPRD yang berkualifikasi seperti di atas, kunci keberhasilannya ada pada Partai politik (Parpol). Sangat disadari pula bahwa dalam kondisi parpol-parpol saat ini, rasanya tidak mungkin dapat dihasilkan anggota DPR dan DPRD seperti yang diharapkan. Untuk itu, langkah awal yang mutlak diperlukan atau merupakan conditio sine qua non adalah melakukan ”reformasi parpol”. Inti sarinya adalah: Parpol harus bersifat ”terbuka”, jangan menjadi parpol ”dinasti”. Langkah berikutnya adalah melaksanakan fungsi-fungsi parpol dengan sebagaimana mestinya. UU No 2/2008 pasal 11 menyebutkan lima fungsi parpol sbb: a. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; b. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; c. Penyerap, penghimpun, dan penyalurkan aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; d. Partisipasi politik warga negara Indonesia; e. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Sebaliknya, parpol jangan dijadikan kendaraan politik “berbayar” bagi para pencari kekuasaan, atau mereka yang ingin menjadi Kepala Daerah, anggota DPR dan DPRD, juga Presiden/Wakil Presiden
Mekanisme pemilihan calon anggota DPR dan DPRD, Kepala Daerah maupun Presiden/Wakil Presiden jangan ditunjuk atau ditentukan oleh Ketua Parpol, melainkan harus dilakukan oleh satu komite/dewan pemilih yang dibentuk di setiap parpol (semacam Wanjak di TNI). Proses pemilihan/penunjukkan calon mutlak harus menggunakan ”prinsip meritokrasi”.
Letjen (Purn) Kiki Syahnakri: Intelektual TNI, Mantan Panglima Darurat Militer di Timor Timur 1999, Mantan WAKASAD.