Oleh: Ronny Imanuel Rumboy (Jurnalis)
TIFFANEWS.CO.ID – Ditengah derasnya arus informasi yang terus bergerak tanpa jeda, media sosial kini menjelma menjadi ruang yang mempengaruhi cara berpikir masyarakat, membentuk opini publik, hingga menumbuhkan narasi baru yang kadang tidak disadari mengandung benih diskriminasi. Di Papua, salah satu narasi yang mengemuka akhir-akhir ini adalah soal “Pembatasan Perkawinan Antar Ras”, khususnya ketika seorang putra atau putri Orang Asli Papua (OAP) menikah dengan non-OAP.
Narasi yang menyatakan bahwa menikahi orang dari ras lain sebagai bentuk “pengkhianatan terhadap identitas Papua” atau “tidak menjaga kemurnian ras Melanesia” kini ramai dibicarakan, bahkan dilontarkan secara terbuka di media sosial. Meski dibungkus dengan semangat “nasionalisme lokal”, narasi semacam ini nyatanya telah menimbulkan perpecahan, rasa takut, dan tekanan sosial terhadap mereka yang memilih menikah di luar garis rasial tertentu.
Media Sosial Facebook salah satunya menjadi sarana paling dominan bagi sesama OAP untuk saling “adu pendapat” tentang hal tersebut yang menyebabkan beberapa ketersinggungan diantara para putra putri cenderawasih ini.
Salah satu dari sekian banyak akun Facebook mulai melancarkan hal ini, seperti pada 26 Oktober 2024 lalu, sebuah akun menuai pro-kontra dan mendapat 3ribu komentar serta 19ribu tanggapan. Isi dari perdebatan juga bermacam-macam mulai dari perkawinan menurut agama, takdir Tuhan, hingga beberapa oknum yang dianggap mudah tergoda oleh kemolekan lawan jenis diluar OAP, bahkan tuduhan liar tentang faktor ekonomi sebagai alasan hubungan itu dilakukan.
Diskriminasi rasial biasanya diasosiasikan dengan tindakan mayoritas terhadap minoritas. Namun yang jarang dibahas adalah bentuk diskriminasi internal, ketika satu kelompok mendiskriminasi sesamanya hanya karena perbedaan pilihan hidup atau darah campuran. Dalam konteks Papua, diskriminasi ini seringkali berwujud dalam ujaran kebencian terhadap sesama OAP yang menikahi non-OAP.
Seperti dinyatakan oleh UU Otsus dan definisi menurut Majelis Rakyat Papua (MRP), bahwa definisi OAP hanya diberikan kepada individu yang memiliki ayah dan/atau ibu asli Papua. Pernyataan ini memperkuat garis batas yang kaku terhadap identitas, seolah menegaskan bahwa darah campuran otomatis menggugurkan “keaslian”. Ini menjadi sumber tekanan bagi banyak warga Papua, terutama generasi muda hasil pernikahan lintas ras yang tumbuh dan dibesarkan di tanah Papua namun dianggap “bukan bagian dari kami”.
Menikah Bukan Pengkhianatan
Perkawinan adalah urusan personal dan dilindungi oleh Undang-Undang. Dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 dijelaskan bahwa, “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Tidak ada satu pun pasal dalam hukum nasional yang menyatakan seseorang tidak boleh menikah hanya karena berbeda ras.
Namun kenyataan di lapangan berkata lain. Banyak anak muda OAP menghadapi stigma, perundungan daring, hingga ancaman dikucilkan karena menikahi orang dari ras lain — apakah itu suku Jawa, Ambon, Tionghoa, bahkan ras campuran lainnya di Indonesia. Dalam sebuah diskusi daring yang diadakan oleh komunitas pemuda Papua, beberapa peserta berbagi pengalaman bagaimana mereka dilecehkan secara verbal karena menikahi orang yang “tidak menjaga identitas Papua”.
Platform seperti Facebook, TikTok, dan Twitter menjadi arena utama penyebaran narasi “penjaga ras” ini. Tagar-tagar seperti #JagaRasPapua atau #PapuaUntukPapua atau #StopKawinCampur kerap dijumpai bersama konten yang menyuarakan penolakan terhadap pernikahan lintas ras. Dalam beberapa video viral, tampak sejumlah individu secara terbuka menyatakan bahwa perempuan Papua yang menikah dengan laki-laki dari luar ras Melanesia telah “menjual diri”.
Apa yang dilupakan adalah bahwa narasi semacam ini dapat melahirkan diskriminasi struktural yang berbahaya. Ketika sebuah komunitas dibatasi oleh garis-garis etnis yang sempit, maka ruang untuk kemanusiaan, cinta, dan keterbukaan akan semakin menyempit pula.
Perlu Refleksi: Apakah Kita Hanya Melawan Rasisme yang Datang dari Luar?
Selama ini, isu rasisme terhadap OAP seringkali menjadi perhatian nasional dan internasional. Kita menyaksikan solidaritas muncul saat ada kasus diskriminatif dari luar Papua terhadap masyarakat Papua. Tapi apakah kita juga berani bersikap kritis ketika rasisme itu justru datang dari sesama OAP?
Apakah kita akan terus membela nilai-nilai hak asasi manusia hanya ketika kita menjadi korban, ataukah kita juga mampu mengoreksi diri saat ternyata kita menjadi pelaku?
Papua adalah rumah bagi keberagaman. Menolak seseorang karena darah campuran atau karena pilihan pasangannya adalah bentuk eksklusivisme yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Justru Papua bisa menjadi teladan nasional tentang bagaimana identitas bisa dibangun tanpa harus mendiskriminasi yang lain.
Saatnya kita melawan diskriminasi dalam segala bentuk — tidak hanya yang datang dari luar, tetapi juga yang diam-diam tumbuh dari dalam. Karena sejatinya, menjaga Papua bukan soal menjaga ras, tapi menjaga cinta, kebebasan, dan kemanusiaan itu sendiri. (Ron)