Oleh: Yulianus Kebadabi Kadepa
Refleksi atas Nasehat dari Almarhum Uskup Keuskupan Timika, John Philip Sakril “Jangan pernah jual tanah hidupilah, dari hasil olah tanah Papua”
Nasehat dari almarhum Uskup Keuskupan Timika, John Philip Sakril, “Jangan pernah jual tanah, hidupilah dari hasil olah tanah Papua,” mengandung nasehat yang sangat kuat mengenai pentingnya menjaga tanah sebagai warisan alam yang tak ternilai harganya. Nasehat ini sangat relevan tidak hanya bagi masyarakat Papua, tetapi juga bagi kita semua dalam konteks global, yang semakin hari semakin kencang terutama di dunia yang semakin terfokus pada konsumsi dan eksploitasi sumber daya alam Papua. “Papua adalah perut bagi Negara-negara”
Refleksi Tentang Menjaga Warisan Alam Papua sebagai Tanggung Jawab dan Kehormatan
Tanah di Papua memiliki nilai yang jauh lebih dalam daripada sekadar sumber daya alam Papua. Bagi masyarakat adat Papua, tanah adalah bagian dari “mama” yang memberikan kehidupan sehari-hari dan identitas bagi masyarakat Papua dan sebuah warisan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Papua. Mengingat sejarah panjang perjuangan masyarakat adat Papua dalam mempertahankan tanah sebagai dapur hidup. Namun kini terjadi mulai eksploitasi luar, tanpa izin pemiliknya. Berdasarkan pengalaman yang terjadi di Papua masyarakat adat mereka menangis sedangkan yang punya memiliki berdasi panjang mereka hidup Santai menikmati dan mencari perutnya sendiri. Untuk masyarakat Papua pentingnya mengingatkan kita untuk menjaga dan melestarikan tanah tersebut.
Marilah kita menjaga tanah Papua dengan tidak menjual tanah, kita menjaga kedaulatan dan kontrol atas sumber daya alam yang menjadi jantung kehidupan masyarakat setempat Papua. Tanah bukan hanya sekadar barang yang dapat diperdagangkan; tanah adalah kehidupan yang terus menerus mendukung keberlangsungan hidup generasi demi generasi. Oleh karena itu, menjaga tanah adalah bentuk penghormatan terhadap nenek moyang dan warisan budaya yang telah terpelihara selama berabad-abad diatas tanah Papua.
Berkebun Sebagai Pilar Kemandirian dan Keberlanjutan bagi Orang Papua
“Hidupilah dari hasil olah tanah” adalah panggilan untuk bekerja dengan tanah, merawatnya, dan mengambil hasilnya secara bijaksana. Berkebun atau bertani merupakan cara yang sangat efektif untuk mencapai kemandirian ekonomi tanpa harus mengorbankan tanah, menjual tanah, dan melestarikan tanah. Ini bukan hanya soal bertahan hidup, tetapi juga tentang menjaga hubungan harmonis dengan alam. Dengan cara ini, masyarakat Papua bisa menjaga keberlanjutan ekosistem dan terus memperoleh manfaat dari tanah yang mereka olah, tanpa merusak oleh oknum-oknum tertentu yang mencari perutnya sendiri.
Berkebun di tanah yang telah diwariskan menjadi simbol dari kemandirian yang tidak bergantung pada eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan tampa izin marga, penghuni dan penjaga dusun.
Nilai Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Papua
Masyarakat Papua telah lama mengembangkan kearifan lokal dalam mengelola alam itu sendiri sebagai dapur hidup dan kehidupan dengan memanfaatkan sesuai dengan ekosistem masyarakat. Hal ini mencakup praktik bertani yang ramah lingkungan, menjaga keberagaman hayati, dan memelihara tanah agar tetap subur dan produktif. Hal ini mendorong kita untuk melanjutkan tradisi tersebut, agar generasi yang akan datang juga bisa menikmati hasil bumi tanpa merusak keseimbangan alam Papua.
Masyarakat Papua berpikir bahwa berkebun bukan hanya soal hasil akhir yang diperoleh, tetapi juga soal menjaga hubungan antara manusia dan alam. Ketika kita mengolah tanah dengan cara yang baik, kita berkontribusi pada pelestarian alam sekaligus menjaga kelangsungan hidup berbagai makhluk yang bergantung pada alam semesta.
Refleksi Singkat “Tentang Jangan Pernah Jual Tanah, Hidupilah dari Hasil Olah Tanah Papua
Nasehat yang terkandung dalam kutipan ini sangat relevan, terutama di tengah tren global yang cenderung mengeksploitasi sumber daya alam Papua demi keuntungan finansial. Banyak lahan yang kini dijual atau dipergunakan untuk kepentingan ekonomi di Indonesia yang tidak memperhatikan keberlanjutan dan dampaknya terhadap masyarakat lokal. Dengan semakin meningkatnya perusakan alam dan hilangnya tanah adat di berbagai tempat, nasehat almarhum Uskup keuskupan Timika John Sakril mengajak kita untuk berhati-hati dalam setiap keputusan yang berkaitan dengan tanah.
Memang, dalam dunia yang serba cepat dan seringkali terfokus pada keuntungan jangka pendek, berkebun dan mengolah tanah dengan cara yang berkelanjutan sering kali dianggap kurang menguntungkan. Namun, justru dari situlah kita bisa membangun kehidupan yang lebih stabil dan harmonis dengan alam. Berkebun bukan hanya memberi manfaat ekonomi, tetapi juga menjaga keutuhan ekosistem dan melestarikan budaya serta identitas lokal.
Dengan tidak menjual tanah dan memilih untuk hidup dari hasil olah tanah, kita tidak hanya menghargai warisan alam, tetapi juga memperkuat kemandirian dan keberlanjutan. Kita belajar untuk bergantung pada kemampuan kita sendiri, dan bukan pada sistem yang mungkin merusak alam demi keuntungan jangka pendek.
Kesimpulan
Dengan demikian, nasehat dari almarhum uskup Timika mengajak kita untuk lebih bijak dalam melihat tanah sebagai sumber kehidupan. Tanah adalah warisan yang harus dijaga, bukan untuk diperjualbelikan, tetapi untuk dimanfaatkan dengan bijaksana dan berkelanjutan. Melalui berkebun, kita tidak hanya bertani, tetapi juga menjaga keberlanjutan alam dan budaya kita, bagi orang Papua, memastikan bahwa kita bisa hidup berdampingan dengan alam, selaras dengan kearifan lokal yang telah diwariskan oleh nenek moyang.
Wisma Tiga Raja Timika