“Any time, every time, you can damn the prime minister and so long as it is a lie and a criminal lie, damming him. So long as it is not a libel, go ahead” (Lee Kuan Yew).
Pemerintah Provinsi Papua Selatan (PPS) di bawah kepemimpinan Penjabat Gubernur Dr.Ir.Apolo Safanpo,ST.,MT telah membentuk Pantia Sayembara Logo PPS. Kini, panitia lomba sedang bekerja keras menyelenggarakan sayembara pembuatan logo PPS itu yang bakal dijadikan lambang resmi Pemerintah PPS.
Hal yang sedang terjadi terkait lomba pembuatan lambang PPS adalah gonjang-ganjing: diskusi, polemik, perdebatan, kritik konstruktif dan destruktif dari dan oleh pihak-pihak tertentu yang “peduli” pada sayembara logo PPS ini.
Muncul diskusi, tukar pikran, kritik dan debat malahan sampai debat kusir di ranah publik seputar sayembara logo tersebut. Ada warga yang melakukan debat dan kritik secara santun, tetapi ada pula warga melakukannya secara kurang santun dengan menyerang lembaga dan/atau pribadi orang tertentu yang mungkin saja membawa juga agenda dan pesan politik tertentu yang dialamatkan terutama kepada penyelenggara atau Tim Jurinya.
Banyak orang lupa bahwa, memberikan kritik itu adalah hak setiap orang dan dapat dikatakan wajib hukumnya di dalam alam demokrasi zaman ini, namun kritik yang diberikan itu kadang kala tidak ditopang secara kokoh oleh pilar-pilar budaya ketimuran, dan tata-krama kesopan-santunan, serta tidak menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tidak menegakkan rasa keadilan dan tidak berdiri di atas fondasi keadaban.
Bagaimanapun juga, kritik apapun yang diberikan haruslah tetap mengindahkan petuah para leluhur kita: ”Peyek yo peyek, nanging ojo diremet-remet – begitu ya begitu, asal jangan begitu”.
Apa Kata Panitia Sayembara
Media online Tribun Papua (10/4) memberitakan bahwa, Pemerintah PPS membuka sayembara logo dengan total hadiah uang Rp100 Juta bagi para pemenang lomba sebagai bentuk penghargaan kepada yang memenangkan perlombaan itu.
Kepala Biro Pemerintahan PPS, Eko Wador menjelaskan bahwa pendaftaran lomba dibuka pada 6 April sampai degan 12 April 2023. Persyaratan untuk peserta lomba antara lain, warga PPS dibuktikan dengan KTP; logo yang dibuat wajib mewakili empat kabupaten yang ada di PPS. Setiap warna dan garis memiliki makna yang dapat diterjemahkan (dijelaskan).
Begitu pula, setiap desain mampu menggambarkan ciri khas dan jati diri PPS, latarbelakang sejarah, adat-istiadat dan budaya, nilai-nilai luhur dan kearifan lokal, keberagaman dalam bingkai NKRI dan sebagainya.
Ada ketentuan lain yaitu bahwa di dalam Tim Penilai itu, terdapat satu orang yang mewakili setiap kabupaten di PPS. Tim penilai akan mengambil lima karya terbaik dan setiap peserta wajib mempresentasikan karyanya.
“Panitia berhak untuk melakukan perbaikan dan penyesuaian terhadap karya pemenang,” kata Eko Wador.
Fenomena Kantor Berita RMOL Papua
Fenomena pemberitaan Kantor Berita RMOL Papua seputar sayembara logo PPS yang harus kita bedah secara cerdas adalah pemberitaan RMOL-Laporan RMOL Network pada Kamis,20 April 2023,Pkl.22.16. (Catatan: Fenomena adalah kejadian atau peristiwa yang dapat diamati).
Tentang sayembara logo PPS itu, RMOL menampilkan judul berita/opini : ”Tak Tahu Balas Budi, Jhon Gluba Gebze Tak Dilibatkan Dalam Proses Sayembara Logo PPS”.
Judul tulisan ini membuat mata terbelalak, terasa sangat menohok dan terkesan tendensius (berpihak), karena didahului kalimat “Tak Tahu Balas Budi” dan disusul kalimat “Tak Dilibatkan”.
Kita tidak tahu, apakah kalimat “Tak Tahu Balas Budi” ini murni dikatakan oleh nara sumber berita dalam hal ini Jhon Gluba Gebze (JGG) sendiri atau semata-mata opini atau pendapat pribadi dari penulis berita/opini ini.
Namun, jika ditelusuri dan dicermati secara sungguh-sungguh dari awal hingga akhir tulisan ini maka, patut diduga, kalimat awal dalam judul tulisan ini datang dari Penulis berita RMOL Papua itu sendiri bukan dari nara sumber Jhon Gluba Gebze.
Jika ditelusuri secara cermat maka terdapat sekurang-kurangnya 14 paragraf (alinea) tulisan ini.
Paragraf pertama: ”Tak tahu balas budi, istilah tersebut dinilai sangat tepat untuk menggambarkan sikap dari pejabat Gubernur Provinsi Papua Selatan, Dr.Ir.Apolo Safanpo,MT yang dinilai tidak menghargai tokoh pendiri Provinsi Papua Selatan Drs Johanes Gluba Gebze, dengan tidak melibatkan Sang konseptor Provinsi Papua Selatan tersebut dalam proses penyusunan logo Provinsi Papua Selatan”.
Pertanyaan cerdas adalah: Apakah penulis RMOL ini sudah benar-benar yakin bahwa Gubernur Apolo memang seorang yang tidak tahu balas budi?
Apakah dengan “tidak melibatkan” JGG dalam proses sayembara ini dengan serta merta berarti Gubernur Apolo “tak tahu balas budi?” Apakah tindakan “balas budi” seorang Gubernur Apolo kepada JGG diukur dari “tidak dilibatkannya” JGG ke dalam kepanitiaan lomba logo PPS?
Kata-kata “Tidak dilibatkan” yang tertulis pada paragraf pertama, terdapat juga pada paragraf lainnya di dalam keseluruhan berita RMOL. Jika dihitung, setidaknya terdapat empat kali kata “Tak dilibatkan” ditulis dalam berita RMOL, yaitu pada, judul berita, paragraf pertama, kelima, dan paragraf ketujuh.
Namun sebaliknya, penulis berita RMOL pada paragraf lainnya, secara tidak sadar “mengakui” bahwa JGG justru dilibatkan dalam proses sayembara logo PPS tersebut. RMOL sendiri mengutip pernyataan JGG pada wawancara tersebut.
Saya catat di bawah ini kalimat yang menunjukkan (mengindikasikan) bahwa JGG memang dilibatkan dan terlibat dalam proses sayembara logo tersebut.
Paragraf 9 : “Menurut keterangannya Drs Jhon Gluba Gebze, mengakui baru dihubungi oleh salah satu panitia sehari setelah pengumuman 5 besar logo calon pemenang, itu pun setelah panitia mendapatkan kritik dari masyarakat”. (Catatan: Huruf hitam tebal dibuat sendiri oleh Peter Tukan penulis oponi ini dengan tujuan untuk menegaskan saja).
Camkanlah baik-baik berita RMOL bahwa JGG sendirilah yang mengakui bahwa dia dihubungi. Terlepas dari dihubungi pada awal, atau pada pertengahan atau pada akhir dari sayembara logo itu namun, patut dicamkan bahwa JGG dihubungi oleh panitia. Itu berarti JGG dengan cara tertentu dilibatkan (dengan sengaja dilibatkan, dengan tahu dan mau dilibatkan oleh Pantia).
Terserah, keterlibatan dan pelibatan JGG, apakah dalam bentuk mengikutsertakan JGG secara fisik sebagai anggota kepanitian lomba ataukah JGG secara fisik berada di luar kepanitiaan lomba tetapi tetap dimintai pendapatnya.
Terserah, apakah JGG dimintai pendapatnya itu dengan cara: bertemu fisik -bertatap muka langsung, ataukah dengan cara meneleponnya dengan menggunakan sarana komunikasi telepon selular, hal itu tidak menjadi masalah dan tidak perlu harus dipermasalahkan. Tetapi yang jelas dan benar adalah kalimat paragraph 9 menjadi bukti bahwa : JGG dilibatkan!
Paragraf 9 adalah paragraf pemungkas! Ini sebuah paragraph inti yang menolak mentah-mentah kalimat penulis berita RMOL bahwa JGG “Tidak dilibatkan” dalam proses sayembara tersebut.
Pada paragraf-paragraf terdahulu, penulis berita RMOL berulang kali menyatakan JGG tidak dilibatkan (opini pribadi) tetapi pada paragraf susulannya yaitu paragraph 9, penulis RMOL secara eksplisit maupun implisit mengakui bahwa JGG dilibatkan dengan menampilkan pernyataan dari JGG sendiri di dalam berita itu yaitu:”……. Drs Jhon Gluba Gebze mengakui baru dihubungi oleh salah satu panitia..”. (Catatan: Dihubungi berarti dengan tahu dan mau dilibatkan).
Masih pada paragraf 9 :”Namun ia tidak keberatan sekali terkait hal itu, karena hal tersebut semuanya murni kebijakan panitia”. Apa maksud kalimat ini?
Kalimat “ia tidak keberatan”. Yang dimaksudnya dengan kata “ia” dalam tulisan ini adalah JGG sendiri. Menyusul kata “tidak keberatan” berarti ia (JGG) setuju. Kata “terkait hal ini” dapat dipahami sebagai “ terkait “kegiatan sayembara” itu sendiri.
Dari kalimat tersebut diatas dapat saja kita pahami bahwa: JGG tidak keberatan terkait kegiatan sayembara itu; JGG setuju dengan kriteria yang diberikan panitia lomba; JGG setuju dengan kepanitiaan itu; JGG menyarahkan proses sayembara itu kepada Pantia lomba yang terbukti dengan kata-kata susulan dalam berita itu :”…….semuanya murni kebijakan panitia”.
Dengan menelusuri tulisan berita RMOL Papua ini, paling tidak kita dapat mengetahui bahwa penulis berita RMOL telah menampilkan opini/pendapat pribadinya sendiri sekaligus pendapat dari narasumber berita (orang yang diwawancarai) yaitu JGG sendiri.
Padahal, dalam hukum penulisan berita, wartawan sekali-kali tidak boleh memasukkan opini/pendapat pribadinya (beropini) dalam tulisan atau laporannya. Haram bagi seorang jurnalis memasukkan opini/pendapat pribadi dalam penulisan berita, kecuali dalam penulisan sebuah artikel “by name”.
Kita juga tidak mengerti, apakah tulisan RMOL ini adalah sebuah opini/artikel? Karena sebuah artikel harus menyertakan nama penulisnya (by name).
Jika penulis RMOL menjadikan tulisan ini sebagai sebuah berita lempang atau straight news (karya jurnalistik hasil liputan wartawan, maka paling tidak selain memuat unsur: kapan dan dimana kegiatan wawancara ini berlangsung, tetapi juga harus ada keberimbangan dalam mendapatkan narasumber penulisan berita.
Yang terjadi dari tulisan RMOL ini adalah, kita tidak tahu, kapan dan dimana berlangsungnya wawanrara dengan JGG? Juga tidak terdapat keberimbangan berita. Dalam tulisan ini, penulis hanya menyampaikan pendapat satu orang narasumber saja yaitu JGG, sementara penulis berita RMOL sendiri tidak melakukan konfirmasi kepada pihak penyelenggara kegiatan sayembara tersebut. Penulis RMOL tidak memberikan kesempatan dan ruang bagi penyelenggara (panitia) sayembara untuk berpendapat. Ternyata, berita RMOL ini timpang alias tidak berimbang.
Paragraf 14 sebagai paragraf terakhir ditampilkan saran JGG kepada Panitia sayembara :”….segera dilakukan proses ulang semua tahapan pembuatan logo Provinsi Papua Selatan”.
Tentu saja kalimat usulan JGG ini secara implisit dijawab pihak panitia lomba yang kita tahu dari pernyataan Panita lomba logo PPS yang disiarkan media online Tribun Papua : “Panitia berhak untuk melakukan perbaikan dan penyesuaian terhadap karya pemenang,” kata Eko Wador.
Itu berarti, untuk memroses ulang semua tahapan lomba seperti yang diusulkan JGG dalam tulisan RMOL ini, agaknya sulit dilakukan. Namun, demikian, perbaikan dan penyesuaian terhadap karya pemenang, merupakan sebuah kemustahilan!
Penutup
MENGAKHIRI ulasan singkat dan sederhana ini, saya mengutip pernyataan Lee Kuan Yew dalam pidatonya di Parlemen Singapura, 23 Fabruari 1977:
“Any time, every time, you can damn the prime minister and so long as it is a lie and a criminal lie, damming him. So long as it is not a libel, go ahead – Kapan pun, setiap saat, Anda dapat menghujat perdana menteri dan selama itu bukan dusta atau dusta kriminal, anda tidak akan apa-apa. Anda dapat mengatakan apapun. Anda dapat menulis buku mengenainya, menghujatnya. Selama itu bukan fitnah, silahkan!“
Dengan mencermati tulisan RMOL Papua ini, patut diduga, penulisnya terindikasi melakukan fitnah tidak hanya kepada pribadi Gubernur PPS Apolo Safanpo tetapi juga menfitnah jajarannya.
RMOL tidak melakukan wawancara berimbang kepada penyelenggara/panitia lomba. Sepertinya patut diduga, penulis berita RMOL Papua punya agenda politik tertentu untuk mengadu-domba Pj.Gubernur PPS Apolo Safanpo bersama jajarannya di Pemprov Papua Selatan dengan tokoh besar masyarakat adat Papua Selatan, Jhon Gluba Gebze.
Bagaimana mungkin seorang Apolo Safanpo “tak tahu balas budi” kepada JGG, padahal baru saja sekitar dua minggu lalu, JGG dan Apolo bertemu – bak seorang anak bungsu yang telah bertahun-tahun lamanya hidup terpisah dari sang ayahnya? Hanya Tuhan, JGG dan Apolo saja yang tahu semuanya ini!
Paragraf 6 tertulis:”……….Drs Jhon Gluba Gebze seperti tak ada harganya di mata rezim Apolo Safanpo dan jajarannya”.
Penulis berita dari RMOL Papua perlu ekstra hati-hati. Akibat dari tulisan ini, penulis dapat saja setiap saat digugat dan diproses hukumkan, tidak hanya oleh Apolo Safanpo sebagai pribadi, tetapi juga sebagai penjabat Gubernur PPS sekaligus digugat oleh semua jajaran Pemprov Papua Selatan. Jajaran Pemprov Papua Selatan itu adalah seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemprov Papua Selatan.
Kita semua tentu berharap agar para penulis berita dan/atau opini di berbagai media tidak melakukan “politik kebohongan dan kebohongan politik”.
John Measheimer (Universitas Chicago) menyatakan: “Kebohongan” ialah bagian dari politik. Ada kebohongan “selfish” – dilakukan demi kepentingan personal. Ada pula kebohongan “strategis” – dilakukan atas nama kepentingan suatu bangsa. Dari kebohongan strategis itu terdapat kebohongan “literal” yaitu penyataan yang bertentangan dengan fakta. (Buku: “Bagaimana Demokrasi Mati” Penerbit PT Gamedia, 2021).
*Peter Tukan: Wartawan, Juni 1983 – sekarang.